Pedagang Es Keliling jadi Penjabat Bupati
“Tidak pernah saya bayangkan bisa jadi Bupati atau menyandang gelar Doktor. Dulu, bisa lulus SMA saja sudah sangat saya syukuri karena itu saya lalui dengan penuh perjuangan ,” ucap I Ketut Rochineng mengawali perbincangan santainya dengan NusaBali jelang main tenis di lapangan GOR Ngurah Rai, Denpasar, akhir pekan lalu.
DENPASAR, NusaBali
Ya, di awal tahun 2018 ini, dua moment istimewa memang tengah dirasakan I Ketut Rochineng. Pertama, pada 21 Februari, dia dilantik sebagai Penjabat Bupati Gianyar oleh Gubernur Bali Made Mangku Pastika. Tak berselang lama yakni pada 10 Maret 2018, pria 59 tahun ini diwisuda sebagai penyandang gelar Doktor Ilmu Hukum Universitas Udayana. “Jabatan Bupati dan gelar Doktor yang saya raih sekarang ini, bukanlah datang begitu tapi melalui proses dan kerja keras,” ucapnya.
Rochineng pun menceritakan kehidupan masa kecilnya di kampung halaman Desa Patemon, Kecamatan Seririt, Buleleng yang berbanding terbalik dengan kehidupannya sekarang.
Rochineng merupakan anak keempat dari delapan bersaudara buah hati pasangan Nyoman Cawi (alm) yang kesehariannya sebagai Pegawai Mantri Kesehatan dengan Ni Nyoman Seneng (alm tahun 2018). “Mungkin banyak yang tidak tahu, bahwa masa kecil saya hingga SMA penuh pejuangan karena keluarga saya tergolong miskin. Ayah saya meninggal saat usia saya 8 tahun,” kenangnya.
Ditinggal sang ayah sebagai tulang punggung keluarga, tentu dirasakan berat bagi keluarga ini, terutama sang ibu yang harus menghidupi delapan anaknya itu. “Tapi kami tidak patah semangat untuk berjuang hidup. Kakak-kakak saya akhirnya pilih merantau ke luar daerah. Syukurlah, mereka sekarang sudah sukses-sukses, ada yang jadi perawat dan polisi,” ujarnya.
Di saat kakak-kakaknya memilih merantau, Rochineng kecil dan adik-adiknya saat itu masih bersama sang ibu. Rochineng bersekolah di SDN 1 Desa Petemon dan SDN 2 Bubunan yang tamat pada tahun 1970. Kemudian melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Seririt (tamat tahun 1973). Sempat mengenyam pendidikan di SMAN 1 Seririt, Rochineng remaja akhirnya memilih berhenti sekolah karena tidak ada biaya. “Saya tidak bisa melanjutkan ke kelas II. Saat itu saya pilih jualan es lilin keliling berjalan kaki dan jadi buruh bangunan. Masa-masa itu, saya tidak pernah tidur di rumah, ya karena saya juga memang tidak punya rumah sendiri. Saya tidurnya di rumah tetangga, rumah saudara mapun rumah teman-teman sekolah,” kenang Rochineng yang kini menempati rumah mewah di Jalan Buana Taman No 5 Padangsambian, Denpasar Barat.
Nah, di saat rutinitas keseharian berjuang hidup dengan berjualan es keliling berjalan kaki, Rochineng akhirnya bisa melanjutkan sekolah SMA berkat bantuan salah satu keluarganya di Desa Patemon. “Bapak Nyoman Mudra (almarhum) salah satu keluarga saya, kasian melihat saya berhenti sekolah. Itu berawal ketika beliau melihat hasil ulang saya yang rata-rata dapat nilai 9 dan 10. Akhirnya beliau minta saya melanjutkan sekolah lagi,” kenangnya.
Meski ada yang membiayai sekolah, namun rutinitas sebagai penjual es keliling tetap dilakoni Rochineng usai sekolah. “Saya bahkan jualan es ke desa tetangga seperti Desa Bubunan,” imbuhnya.
Yang menarik, kenangnya, saat SMA, dirinya merupakan jago adu panco yang kerap menang melawan teman-teman di sekolah. “Biasanya yang menang dapat hadiah uang, ya sekedar untuk beli tipat cantok waktu itu,” kenangnya.
Semangat Rochineng menjalani kehidupannya saat masa SMA pun makin terlecut ketika dia mengenal sosok gadis cantik yang sekarang menjadi istrinya, Ni Made Sri Ardiani. Ceritanya, ketika kelas II SMA, Ardiani yang berasal dari Desa Bubunan, pindah tinggal ke Desa Patemon dan satu sekolah dengan Rochineng di SMA Negeri 1 Seririt. "Saya sejak kelas II SMA sekitar tahun 1974 kenal dengan Bapak (Rochineng, red) dan baru menikah pada tahun 1986,” kenang Ardiani menimpali kisahnya bersama sang suami tercinta.
Secara blak-blakan, Ardiani yang kini menjadi guru di SMPN 2 Denpasar pun mengaku jatuh hati dengan Rochineng muda karena kepintaran dan kejujurannya. “Bapak (Rochineng, red) saat SMA orangnya pinter ulangannya rata-rata dapat nilai 9-10, jadi saya kagum. Bapak juga tanpa malu-malu mengaku kalau dia berjualan es lilin dengan berjalan kaki. Nah, sikap jujur mengakui keadaan itu juga yang membuat saya makin jatuh hati,” ucap Ardiani sambil tersenyum.
Singkat cerita, Ardiani pun akhirnya menjadi pelanggan setia Rochineng, sang penjual es keliling. “Setiap hari saya tunggu-tunggu dagang esnya lewat, dan saya pasti beli. Selain es lilinnya memang enak, saya juga ingin ketemu pedagangnya, he…he..he..,” kenang Ardiani sambil menatap mesra ‘mantan’ pacar yang kini menjadi suaminya. “Setelah resmi berpacaran, bapak akhirnya menjadi bodyguard saya, jadi saat SMA gak ada yang berani mendekati saya,” imbuh wanita kelahiran 20 Oktober 1959 yang dikaruniai seorang putra, Gede Rai Ardian Machini Yasa SH MKn.
Dan, perjalanan karir Rochineng pun dimulai selepas lulus SMA. Berawal ketika seorang pejabat Departemen Kehutanan di desanya menawarinya untuk mengikuti Pendidikan Kehutanan di Madiun dan Bogor, Jawa Barat. "Tamat Pendidikan Kehutanan saya langsung dipekerjakan keliling Bali sebagai Tenaga Penyuluh Kehutanan," ujarnya.
Pertama kalinya, sekitar tahun 1978, Rochineng menjadi penyuluh di Kecamatan Payangan, Gianyar. Lanjut bertugas di Kecamatan Kubu (Karangasem), Nusa Penida (Klungkung), serta sejumlah daerah lainnya hingga karirnya berubah pada tahun 2008 menjadi Sekretaris Dinas Kehutanan Provinsi Bali. Selanjutnya pada tahun 2009 diangkat Gubernur Bali Made Mangku Pastika menjadi Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Bali hingga sekarang. “Nah, kalau akhirnya saya sekarang dipercaya sebagai Penjabat Bupati Gianyar. Sepertinya saya sedang melakukan napak tilas, sebab saya dulu pernah bekerja di daerah Payangan (Gianyar). Tentu harapan saya di Gianyar ini saya bisa menjalankan amanah sebagai pemimpin dengan baik," harap kakek tiga cucu, Ni Putu Raysa Ayu Warmini Kirei (6 tahun), Made Kiandra Arka Dylan Machini (4 tahun) dan Ni Komang Rayna Lani Adriana (7 bulan). *isu
Rochineng pun menceritakan kehidupan masa kecilnya di kampung halaman Desa Patemon, Kecamatan Seririt, Buleleng yang berbanding terbalik dengan kehidupannya sekarang.
Rochineng merupakan anak keempat dari delapan bersaudara buah hati pasangan Nyoman Cawi (alm) yang kesehariannya sebagai Pegawai Mantri Kesehatan dengan Ni Nyoman Seneng (alm tahun 2018). “Mungkin banyak yang tidak tahu, bahwa masa kecil saya hingga SMA penuh pejuangan karena keluarga saya tergolong miskin. Ayah saya meninggal saat usia saya 8 tahun,” kenangnya.
Ditinggal sang ayah sebagai tulang punggung keluarga, tentu dirasakan berat bagi keluarga ini, terutama sang ibu yang harus menghidupi delapan anaknya itu. “Tapi kami tidak patah semangat untuk berjuang hidup. Kakak-kakak saya akhirnya pilih merantau ke luar daerah. Syukurlah, mereka sekarang sudah sukses-sukses, ada yang jadi perawat dan polisi,” ujarnya.
Di saat kakak-kakaknya memilih merantau, Rochineng kecil dan adik-adiknya saat itu masih bersama sang ibu. Rochineng bersekolah di SDN 1 Desa Petemon dan SDN 2 Bubunan yang tamat pada tahun 1970. Kemudian melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Seririt (tamat tahun 1973). Sempat mengenyam pendidikan di SMAN 1 Seririt, Rochineng remaja akhirnya memilih berhenti sekolah karena tidak ada biaya. “Saya tidak bisa melanjutkan ke kelas II. Saat itu saya pilih jualan es lilin keliling berjalan kaki dan jadi buruh bangunan. Masa-masa itu, saya tidak pernah tidur di rumah, ya karena saya juga memang tidak punya rumah sendiri. Saya tidurnya di rumah tetangga, rumah saudara mapun rumah teman-teman sekolah,” kenang Rochineng yang kini menempati rumah mewah di Jalan Buana Taman No 5 Padangsambian, Denpasar Barat.
Nah, di saat rutinitas keseharian berjuang hidup dengan berjualan es keliling berjalan kaki, Rochineng akhirnya bisa melanjutkan sekolah SMA berkat bantuan salah satu keluarganya di Desa Patemon. “Bapak Nyoman Mudra (almarhum) salah satu keluarga saya, kasian melihat saya berhenti sekolah. Itu berawal ketika beliau melihat hasil ulang saya yang rata-rata dapat nilai 9 dan 10. Akhirnya beliau minta saya melanjutkan sekolah lagi,” kenangnya.
Meski ada yang membiayai sekolah, namun rutinitas sebagai penjual es keliling tetap dilakoni Rochineng usai sekolah. “Saya bahkan jualan es ke desa tetangga seperti Desa Bubunan,” imbuhnya.
Yang menarik, kenangnya, saat SMA, dirinya merupakan jago adu panco yang kerap menang melawan teman-teman di sekolah. “Biasanya yang menang dapat hadiah uang, ya sekedar untuk beli tipat cantok waktu itu,” kenangnya.
Semangat Rochineng menjalani kehidupannya saat masa SMA pun makin terlecut ketika dia mengenal sosok gadis cantik yang sekarang menjadi istrinya, Ni Made Sri Ardiani. Ceritanya, ketika kelas II SMA, Ardiani yang berasal dari Desa Bubunan, pindah tinggal ke Desa Patemon dan satu sekolah dengan Rochineng di SMA Negeri 1 Seririt. "Saya sejak kelas II SMA sekitar tahun 1974 kenal dengan Bapak (Rochineng, red) dan baru menikah pada tahun 1986,” kenang Ardiani menimpali kisahnya bersama sang suami tercinta.
Secara blak-blakan, Ardiani yang kini menjadi guru di SMPN 2 Denpasar pun mengaku jatuh hati dengan Rochineng muda karena kepintaran dan kejujurannya. “Bapak (Rochineng, red) saat SMA orangnya pinter ulangannya rata-rata dapat nilai 9-10, jadi saya kagum. Bapak juga tanpa malu-malu mengaku kalau dia berjualan es lilin dengan berjalan kaki. Nah, sikap jujur mengakui keadaan itu juga yang membuat saya makin jatuh hati,” ucap Ardiani sambil tersenyum.
Singkat cerita, Ardiani pun akhirnya menjadi pelanggan setia Rochineng, sang penjual es keliling. “Setiap hari saya tunggu-tunggu dagang esnya lewat, dan saya pasti beli. Selain es lilinnya memang enak, saya juga ingin ketemu pedagangnya, he…he..he..,” kenang Ardiani sambil menatap mesra ‘mantan’ pacar yang kini menjadi suaminya. “Setelah resmi berpacaran, bapak akhirnya menjadi bodyguard saya, jadi saat SMA gak ada yang berani mendekati saya,” imbuh wanita kelahiran 20 Oktober 1959 yang dikaruniai seorang putra, Gede Rai Ardian Machini Yasa SH MKn.
Dan, perjalanan karir Rochineng pun dimulai selepas lulus SMA. Berawal ketika seorang pejabat Departemen Kehutanan di desanya menawarinya untuk mengikuti Pendidikan Kehutanan di Madiun dan Bogor, Jawa Barat. "Tamat Pendidikan Kehutanan saya langsung dipekerjakan keliling Bali sebagai Tenaga Penyuluh Kehutanan," ujarnya.
Pertama kalinya, sekitar tahun 1978, Rochineng menjadi penyuluh di Kecamatan Payangan, Gianyar. Lanjut bertugas di Kecamatan Kubu (Karangasem), Nusa Penida (Klungkung), serta sejumlah daerah lainnya hingga karirnya berubah pada tahun 2008 menjadi Sekretaris Dinas Kehutanan Provinsi Bali. Selanjutnya pada tahun 2009 diangkat Gubernur Bali Made Mangku Pastika menjadi Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Bali hingga sekarang. “Nah, kalau akhirnya saya sekarang dipercaya sebagai Penjabat Bupati Gianyar. Sepertinya saya sedang melakukan napak tilas, sebab saya dulu pernah bekerja di daerah Payangan (Gianyar). Tentu harapan saya di Gianyar ini saya bisa menjalankan amanah sebagai pemimpin dengan baik," harap kakek tiga cucu, Ni Putu Raysa Ayu Warmini Kirei (6 tahun), Made Kiandra Arka Dylan Machini (4 tahun) dan Ni Komang Rayna Lani Adriana (7 bulan). *isu
--------------------------------------------------------------------------------
Gelar Doktor untuk Motivasi Anak Muda Bali
BAGI Ketut Rochineng, usia tidak menghalanginya untuk menuntut ilmu. Buktinya, di usia yang sudah setengah abad lebih, kakek dari tiga cucu ini sukses meraih gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Udayana. Hebatnya lagi, birokrat yang masih menjabat sebagai Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Bali ini berhasil meraih Indeks Prestasi Komulatif (IPK) 3,86 dengan predikat Cum Laude.
Bagi Rochineng, motivasinya meraih gelar Doktor di usianya yang hampir 60 tahun ini, bukanlah untuk gagah-gagahan atau memperpanjang namanya dengan gelar, namun yang terpenting bisa menginspirasi keluarga termasuk anak muda Bali untuk terus belajar dan menuntut ilmu.
“Bagi saya, belajar tidak mengenal usia. Meski usia saya sudah tidak muda lagi, bahkan mau pensiun jadi PNS, tapi saya tetap belajar dan belajar. Ini juga untuk memotivasi keluarga saya dan anak muda Bali lainnya bahwa pendidikan itu penting untuk masa depan, tak hanya bagi diri sendiri, keluarga, tapi untuk bangsa ini,” ujar jebolan SMAN 1 Seririt (1976), lalu menyelesaikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Ngurah Rai (1989), S2 di Fakultas Hukum Unud (2004) dan S3 (Doktor) Universitas Udayana (2018).
Menariknya, dalam desertasinya, Rochineng juga mengangkat permasalahan yang bisa bermanfaat bagi Pemerintah Provinsi Bali dalam menyejahterakan masyarakatnya. Desertasi itu berjudul ‘Kewenangan Pengaturan Retribusi Daerah Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Provinsi Bali’. “Saya meneliti bahwa ada satu norma yang membatasi daripada keleluasaan pemerintah daerah dalam melakukan inovasi terhadap pemungutan retribusi daerah. Padahal dari ketentuan perundangan, khususnya di UUD, daerah memiliki atau menjalankan otonomi seluas-seluasnya dalam rangka untuk melakukan inovasi dalam pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri,” jelasnya.
Jadi, menurut Rochineng, retribusi daerah sebagai salah satu sumber pendapatan daerah sangat mungkin untuk bisa dikembangkan lagi. Selain yang diatur di dalam perundang-undangan juga bisa dilakukan inovasi terkait dengan potensi daerah itu sendiri. “Kita tahu Bali merupakan daerah pariwisata yang kunjungan pariwisata internasional cukup tinggi. Dari sektor pariwisata, Bali menyumbang devisa hingga Rp 40 triliun pertahun. Nah, kalau ada inovasi retribusi daerah, pendapatan daerah yang bersumber dari pariwisata itu bisa kita dapatkan sebagai pendapatan asli daerah. Itulah yang menjadi fokus temuan desertasi saya ini,” jelas Rochineng yang merupakan Doktor Ilmu Hukum ke-14 di universitas terbesar di Bali ini. 7 isu
-----------------------------------------------------------
Banyak Belajar dari Gubernur Pastika
DALAM banyak hal, terutama soal pengentasan kemiskinan, Rochineng mengaku banyak belajar dan termotivasi dari Gubernur Made Mangku Pastika. “Saya akui kalau urusan terhadap kemiskinan, beliau (Pastika) sangat luar biasa perhatiannya. Beliau itu kalau mengurusi orang miskin sangat fokus, tidak mau setengah-setengah dan harus berhasil,” kata Rochineng.
Rochineng menilai Gubernur Pastika dalam membantu warganya yang miskin, murni mengabdi atau ngayah sehingga kadang perhatiannya melebihi keperluan lain, apalagi keperluan pribadi atau keluarga. “Saya sebagai bawahannya di Pemprov Bali kan sering mendampingi beliau turun ke desa-desa dan kantong-kantong kemiskinan. Termasuk saat hari libur juga. Jadi saya sangat merasakan betul betapa tulusnya beliau dalam bekerja membantu orang miskin dan mencarikan solusinya. Jadi saya banyak belajar dari Pak Gubernur ,” ujar Rochineng yang mengaku baru mengenal Pastika setelah menjadi pejabat di Pemprov Bali.
Tak hanya soal kemiskinan, Rochineng menyebut mantan Kapolda Bali itu memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas dalam berbagai bidang termasuk ide-ide yang cemerlang. Rochineng menyebut pembangunan SMAN dan SMKN Bali Mandara, Program Simantri, Gerbangsadu hingga pembangunan Rumah Sakit Bali Mandara (RSBM) merupakan ide Gubernur Pastika yang sangat brilian dan terbukti telah dirasakan nyata manfaatnya oleh masyarakat Bali.
“Jujur saja ya, kalau beliau berbicara itu saya sangat senang sekali, pasti ada aja ilmu baru yang saya dapatkan dan nancap di pikiran saya. Dan yang sangat saya kagumi lagi apa ide yang dilontarkannya pasti terwujud. Misalnya soal pembangunan rumah sakit (RSBM) itu, sekarang kan benar-benar terwujud dan sudah beroperasi melayani masyarakat, termasuk warga miskin. Ini sangat luar biasa,” puji Rochineng yang sama-sama berasal dari Desa Petemon, Kecamatan Seririt, Buleleng. 7 isu
-------------------------------------------------------------------
SELANJUTNYA . . .
Komentar