UU Ini Tegaskan Peran Palang Merah
Indonesia akhirnya secara resmi memiliki Undang-undang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan, yang mengatur kegiatan kemanusiaan pada masa perang, pasca perang, hingga kebencanaan.
Putra Bali Ikut Andil Lahirnya UU Kepalangmerahan
DENPASAR,NusaBali
Salah seorang putra Bali, Ketut Sustiawan, ikut andil dalam lahirnya UU Kepalangmerahan, yang diwarnai perdebatan soal lambang Red Cross atau Bulan Sabit Merah.UU Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan ini sudah mulai disosialisasikan. Khusus untuk Bali, sosialisasi dilakukan di Gedung Wiswa Sabha Utama Kantor Gubernur, Niti Mandala Denpasar, Kamis (29/3) pagi. Ketut Sustiawan, putra Bali asal Singaraja, Buleleng yang kini duduk di Komisi IX DPR RI (membidangi masalah kesehatan dan ketenagakerjaan), tidak bisa hadir dalam sosialisasi tersebut.
Acara sosialisasi UU 1/2018 dihadiri oleh pengurus PMI Pusat, pengurus PMI Kabupaten/Kota se-Bali, Muspida Provinsi Bali, dan stakeholder. Sosialisai tersebut menghadirkan dua narasumber yaitu Dr Made Wiryani SH MH dengan materi ‘Aksi di Bali terkait RUU Kepalangmerahan’ dan Rapiudin Hamarung dari PMI Pusat dengan sajian materi ‘Sosialisasi UU Nomor 1 Tahun 2018’.
Terungkap, UU 1/2018 tentang Kepalangmerahan ini diterbitkan karena banyaknya terjadi penyalahgunaan lambang Palang Merah di Indonesia. Selama ini, semua pihak baik individu maupun kelompok dapat dengan bebas menggunakan lambang Palang Merah. Karenanya, lambang yang sejatinya memiliki karakter ‘netral’, tidak dianggap lagi kenetralannya.
“Dalam perjuangan pengesahaan RUU Kepalangmerahan menjadi UU, PMI Provinsi Bali beserta jajaran PMI Kabupaten/Kota se-Bali telah berusaha maksimal dengan berbagai aksi dan kegiatan mulai dari penggalangan tandatangan, kampanye, aksi simpatik, sampai dengan aksi turun kejalan untuk menggelorakan pengesahan RUU menjadi UU Kepalangmerahan,” ungkap Ketua PMI Bali, I Gusti Bagus Alit Putra, dalam kata sambutannya yang dibacakan Sekretaris PMI Bali Nyoman Puasa Aryana saat acara sosialisasi tersebut.
Setelah melalui perjalanan panjang sekitar 12 tahun sejak awal masuk Prolegnas DPR RI pada 2005, akhirnya RUU Kepalangmerahan disahkan menjadi UU Nomor 1 tahun 2018 oleh Presiden Jokowi. “Dengan pengesahan tersebut, maka PMI Provinsi Bali menginisiasi untuk melakukan sosialisasi UU tersebut baik bagi jajaran PMI maupun lintas sektor terkait, sehingga dapat dipahami tata aturan penggunaan lambang Palang Merah maupun batasan-batasannya,” imbuh Alit Putra yang juga Wakil Ketua DPRD Bali dari Fraksi Demokrat.
Sementara, Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengapresiasi lahirnya UU 1/2018 tentang Kepalangmerahan ini. Pastika menyebutkan UU Kepalangmerahan ini akan menegaskan kedudukan, fungsi, dan peran PMI (Palang Merah Indonesia) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, baik sebagai lembaga yang mendukung tugas pemerintah untuk menyediakan berbagai pelayanan Kepalangmerahan maupun sebagai anggota gerakan PMI.
Pastika mengatakan, UU Kepalangmerahan ini akan memberikan perlindungan hukum kepada Sukarelawan PMI maupun sukarelawan kemanusiaan dari organisasi lainnya. “Dengan UU tersebut, maka pelayanan PMI kepada masyarakat yang membutuhkan akan lebih profesional, berkualitas, cepat, tepat, dan lebih luas. UU tersebut dapat meningkatkan kemampuan dalam upaya kesiapsiagaan penanganan bencana, mengingat PMI mempunyai tugas mulai yaitu membantu pemerintah dalam sambutannya yang dibacakan Karo Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Setda Provinsi Bali, AA Gede Griya.
Sementara itu, Ketut Sustiawan, anggota Pansus RUU Kepalangmerahan dari Komisi IX DPR RI, mengatakan perjuangan lahirnya UU Kepalangmerahan ini melalui jalan terjal di Pansus. Bahkan, sempat hampir terjadi voting saat pengambilan keputusan (ketok palu) UU Kepalangmerahan, 17 Oktober 2017 lalu. Argumentasi panjang di internal Pansus terjadi, mulai dari masalah lambang yang terkait dengan unsur agama sampai masalah erupsi Gunung Agung ikut jadi pertimbangan.
“Ada pro dan kontra di Pansus terkait masalah lambang, antara lambang Red Cross dan Bulan Sabit Merah. Kami berdebat dengan sesama anggota Pansus soal lambang ini,” jelas anggota DPR RI dari Fraksi PDIP Dapil Jawa Barat dua kali periode ini kepada NusaBali per telepon, Kamis siang.
“Tapi, kita patut bersyukur karena perdebatan itu bisa diselesaikan dengan disahkannya RUU Kepalangmerahan menjadi UU. Adanya bencana kemanusiaan erupsi Gunung Agung di Karangasem juga membuat UU Kepalangmerahan ini mendesak untuk disahkan,” lanjut Sustiawan.
Sustiawan menyebutkan, PMI sendiri sudah lahir tahun 1949 melalui Perjanjian Jenewa, Swiss, ketika Indonesia menyetujui perjanjian tersebut. Sebagai negara yang mengakui perjanjian di Jenewa, Indoneasia wajib memiliki UU Kepalangmerahan. Nah, dalam perjalanananya, pembentukan UU Kepalangmerahan ini sempat menuai kegagalan dalam 3 kali periode pembahasan (sejak 2005).
“Tiga kali dirancang untuk pembentukan UU ini, selalu gagal. Barulah di tahun 2017 kemarin bisa lolos dan ketok palu. Itu pun, hampir voting di Pansus yang dipimpin Ketua Pansus RUU Kepalangmerahan, Samsul Bahari (dari Fraksi Golkar DPR),” kenang Sustiawan.
Menurut Sustiawan, voting masalah lambang saja. Negara bisa bebas memilih sebuah lambang, yakni antara Red Cross (Palang Merah) atau Bulan Sabit Merah. “Tapi, dalam perdebatan kita melakukan pendekatan sosiologis dan psikologis kepada teman-teman di Pansus. Akhirnya, Red Cross jadi Lambang PMI. Sekarang lambang Palang Merah itu digunakan 180 negara,” jelas politisi PDIP asal Kelurahan Banjar Jawa, Kecamatan Buleleng yang juga Ketua Alumni 1982 SMAN 1 Singaraja ini.
Sustiawan mengisahkan, perdebatan lambang muncul dalam Pansus UU Kepalangmerahan, karena adanya penafsiran Palang Merah adalah Salib. Pansus sampai meminta Ketua Umum PMI yang juga Wakil Presiden, Jusuf Kalla (JK), berbicara dan menjelaskan bahwa lambang Red Cross bukan Salib. Red Cross sendiri berisi garis vertikal dan horizontal dengan ukuran yang sama. Sedangkan kalau Salib, garis ver-tikalnya panjang dan garis horizontalnya lebih pendek.
Ada juga tafsir Palang Merah adalah lambang negara Swiss. Padahal, kata Sustiawan, lambang Palang Merah adalah penghormatan kepada negara Swiss yang melahirkan Perjanjian Jenewa. “Palang Merah itu artinya kemanusiaan. Kalau lambang bendera Swiss, warna dasarnya merah, palangnya putih. Sementara Palang Merah dibalik, dasarnya putih, warna palang adalah merah,” papar Sustiawan.
Menurut Sustiawan, lahirnya UU Kepalangmerahan ini adalah sebuah kemajuan bagi Kepalangmerahan di Indonesia. Sebab, dengan UU Kepalangmerahan ini, aksi kemanusiaan akan dikuatkan posisinya. Di antaranya, boleh sama-sama bergabung dengan TNI-Polri ketika masa perang, pasca perang, dam bergabung dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Selama ini, BPBD bergerak sendirian, tidak bisa digabung bersama PMI.
Kini, PMI bisa dibiayai APBN (nasional) dan APBD (kalau di daerah). Penggunaan lambang pun tidak boleh lagi sembarangan. Berdasarkan UU 1/2018, ukuran lambang Red Cross detail diatur. “Ukuran lambang dipasang di lengan diatur detail. Yang paling mencirikan itu adalah hanya Palang Merah boleh melakukan kegiatan donor darah,” jelas alumnus ITB Bandung seangakatan dengan Sekretaris Kabinet, Pramono Anung Wibowo ini. *nat,ind
Komentar