Tiap Kecamatan Wajib Tampilkan Magoak-goakan
Sembilan (9) kecamatan se-Kabupaten Buleleng unjuk kebolehan dalam parade budaya HUT ke-414 Kota Singaraja, Jumat (30/3).
Parade Budaya Serangkaian HUT ke-414 Kota Singaraja, Kemarin Siang
SINGARAJA, NusaBali
Dalam parade budaya untuk HUT ke-414 Kota Singaraja yang jatuh 30 Maret 2018 ini, masing-masing kecamatan wajib menunjukkan potensi daerahnya, baik menyangkut pakaian khas, tarian, maupun tradisi mereka. Selain itu, tiap kecamatan juga diwajibkan menyuguhkan pragmentari ‘Magoak-goakan’ yang diamainkan 60-100 orang.
Parade budaya HUT ke-414 Kota Singaraja mengambil start di Tugu Si-nga Ambara Raja, Jumat siang pukul 14.00 wita. Seluruh peserta harus menunjukkan kebolehannya di depan panggung utama. Dari Tugu Singa Ambara Raja, parade budaya menempuh rute Jalan Veteran Singaraja-Jalan Gajah Mada Singaraja, Jalan Dr Sutomo Singaraja-Jalan Ahmad Yani Singaraja-hingga finish di Jalan Dewi Sartika Singaraja.
Parade budaya kemarin siang dibuka Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana, didampingi Ketua DPRD Buleleng Gede Supriatna, Wakil Bupati Buleleng Nyoman Sutjidra, dan Kadis Pariwisata Buleleng Putu Tastra Wijaya. Pembukaan ditandai dengan bunyi cengceng.
Dalam parade budaya kemarin, Kecamatan Banjar mendapat kesempatan pertama untuk unjuk potensi, dengan menonjolkan kawasan Bali Aga yang meliputi 5 desa bertetangga SCTPB: Desa Sidetapa, Desa Cempaga, Desa Tigawasa, Desa Padawa, dan Desa Banyuseri. Selain menyajikan pragmen tari ‘wajib’ Magoak-goakan, kontingen Kecamatan Banjar menampilkan kepiawaian mereka dalam maulat-ulatan, seperti ngulat sokasi.
Sedangkan Kecmaatan Busungbiu yang mendapat nomor urut 2 dalam parade, menampilkan salah satu tari khas daerahnya, yakni Tari Magrumbungan. Tarian ini menggambarkan semangat petani dalam mengolah lahan. Sementara Kecamatan Seririt yang kebagian nomor urut 3, menampilkan atraksi ektrem yakni ‘perang api’ menggunakan prakpak danyuh (dauk kelapa kering menyala). Selain itu, Kecamatan Seririt juga menampilkan keterampilan tenun Endek yang saat ini masih bertahan di Desa Kalianget, sebagai salah satu produk unggulan industri pertenunan di Buleleng.
Sebaliknya, Kecamatan Tejakula yang dapat nomor urut 4 dalam parade budaya, tampil beda dengan nuansa klasik pakaian khas Desa ‘Baliaga’ Sembiran. Selain itu, mereka juga menampilkan kesenian Wayang Wong Tejakula yang sudah diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda.
Sementara, Kecamatan Gerokgak menampilkan akulturasi kebudayaan melalui tradisi Gebug Ende. Tradisi yang awalnya berasal dari Karangasem ini juga diadopsi warga Kecamatan Gerokgak yang sebagian besar adalah pendatang dari Gumi Lahar. Selain itu, Kecamatan Gerokgak juga menampilkan atraksi sejumlah pemuda menmgenakan kostum berbahan barang bekas sampah plastik hingga daun kering.
Lain lagi Kecamatan Kubutambahan, yang dapat nomor urut 6 dalam parade budaya kemarin. Kecamatan Kubutambahan menampilkan Deeng khas Buleleng, selain juga kesenian Gambuh Ni Diah Tantri (dari Desa Bila). Sedangkan Kecamatan Sawan menampilkan kerajinan bikin gong, dengan menerjunkan sejumlah pande gong dalam parade budaya. Sebaliknya, Kecamatan Buleleng menampilkan tari Barong Bangkung dan tradisi Magebeg-gebegan Kepala Sapi---yang rutin dilaksanakan saat Malam Pangurpukan Nyepi. Sementara Kecamatan Sukasada juga menampilkan tari Rejang Renteng dari Desa Padangbulia dan kerajinan tenun khas Desa Selat.
Ketua Panitia Parade Budaya HUT ke-414 Kota Singaraja, Putu Tastra Wijaya, mengatakan dalam parade budaya kali ini setiap kecamatan diwajibkan suguhkan atraksi Magoak-goakan, sebagai upaya untuk mengingat kembali semangat perjuangan Raja Panji Sakti melalui Pasukan Goak-nya dalam mempertahankan Buleleng. “Kami juga lebih menekankan kreativitas masing-masing kecamatan dengan menampilkan tradisi, pakaian adat, seni, budaya, dan produk budaya berupa tenun yang dapat diproduksi dan diimplementasikan dalam fashion,” jelas Putu Tastra yang juga Kadis Pariwisata Buleleng.
Sementara itu, Bupati Agus Suradnyana dalam sambutannya mengatakan parade budaya ini merupakan upaya untuk tetap menjaga eksistensi budaya lokal. “Parade budaya kali ini sudah cukup baik, namun ada bebrapa catatan yang harus menjadi perhatian panitia. Dilihat dari temanya, ini sudah bagus. Tapi, kalau kita bicara masalah penggalian kearifan lokal seluruh Kecamatan mungkin harus ada selingan-selingan apa yang ada di sana,” kata Agus Suradnyana.
“Boleh saja menampilkan Magoak-goakan untuk menghormati HUT Kota Singaraja, tapi tidak harus itu yang ditonjolkan oleh masing-masing kecamatan. Esensi kearifan lokalnya harus dielaborasi, itu baru namanya parade budaya,” lanjut politisi PDIP yang juga mantan Ketua Komisi III DPRD Bali tiga periode ini. *k23
Komentar