Eugemonia Moralitas
Teruna-teruni Bali diharapkan menjadi tulang punggung pakraman, penerus tongkat estafet budaya, dan berperan aktif mengisi ruang, waktu, dan patrum Bali. Untuk dapat berperan aktif membutuhkan karakter yang bersumber pada nilai, norma, dan etika Hindu.
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Tanpa orientasi jelas, dikhawatirkan alur pikir, rasa, dan tindakan mereka tidak seirama dengan realita. Realita kekinian tidak persis sama dengan realita agrikultur; realita industrial tidak sejalan dengan ipteks; realita ipteks tidak selalu runut dengan era digital; dan era agrikultur sering bertabrakan dengan era nano.
Fenomena teruna-teruni kurang melek terhadap moral budaya Bali semakin mengemuka. Apresiasi mereka terhadap unsur-luar (foreign attributes) sungguh tinggi, sedangkan pemahaman terhadap unsur-dalam (native entities) tampak lemah. Mereka lebih apresiatif terhadap musik pop ketimbang sekar rare atau sekar agung, jukut undis dengan salad, es bir dengan bir bintang, ayam betutu dengan fried chicken, pecel lele dengan anjing panas (baca hot dog)! Akibatnya, identitas budaya Bali yang adiluhung menjadi tersamar atau kadang tercerabut akar. Eugemonia moral unsur-luar telah menunjukkan dominasi posisi terhadap unsur-dalam budi dan daya krama Bali. Dalam teori Gramsci, dominasi posisi unsur-luar pada unsur-dalam dapat terjadi, apabila teruna-teruni berhubungan semakin longgar dengan nila,norma, dan etika budaya asalinya. Ditengara teruna-teruni telah menyerap sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, mengasah ideologi cita rasa asing, kebiasaan moral lain, prinsip religius dan politik praktis, serta sifat hubungan sosial bebas hambatan.
Berdasarkan pemikiran Gramsci, hegemoni merupakan dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin. Kelompok masyarakat yang dihegemoni tidak merasa ditindas atau bahkan mereka merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi. Bagaimana itu bisa terjadi? Unsur-luar melakukan pencekokan pada unsur-dalam menggunakan ideologi. Masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran masyarakat kelas bawah, sehingga mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas dominan.
Kehidupan sosial-religius dan kultural di gumi Bali sering beralih, bergeser, berubah atau menurun. Fenomena demikian merupakan contoh efek negatif dari proses eugemonia. Oleh beberapa krama Hindu, beragama Hindu dipersepsi rumit dan mahal, memerlukan tahapan panjang, menyiapkan sarana ritual yang rumit, dan rangkaian acara yang seakan tidak ada jedanya. Lalu, mereka-mereka itu mencari pembenar untuk melonggarkan keketatan tersebut. Pilihannya kadang mengarah pada konversi agama. Alternatif lain berupa pergeseran antara pembuatan menjadi pembelian sarana ritual; pemertahanan menjadi pengalihfungsian lahan; pelestarian tergantikan oleh eksploitasi alam dan budaya; kearifan lokal tergusur oleh modernisme; keteguhan diganti dengan kemerosotan moral remaja, dan seterusnya.
Dominasi nilai-luar atas nilai-nilai-dalam akhirnya berubah menjadi doktrin. Teruna-teruni yang telah didominasi akan mengikuti nilai-luar secara sadar. Mereka tidak merasa nilai-dalamnya dimarginalkan. Misalnya, ‘pasar modern‘ marak dan menyebar hampir ke seluruh pelosok pakraman. Pasar modern ini mengambil bentuk sebagai mini market.
Teruna-teruni senang menggunakan ruang mini market untuk berkencan, begadang, bersantai, dan sebagainya. Mini market dan nilai-luar inilah yang mengawali kemerosotan moral teruna-teruni Bali. Kalau tidak dikendalikan dengan bijak, niscaya mereka akan terjerumus semakin dalam. Akibatnya, nilai-dalam terancam dan tidak mustahil tergerus. Waspadailah hal itu, apabila tidak maka kita semua akan kehilangan. 7
1
Komentar