Desa + Tradisi, Apa Otomatis Desa Adat?
Dalam istilah Sibernetika Talcot Parsons, desa lebih dipandu oleh teori kekuasaan. Sedangkan, tradisi dipandu oleh teori nilai. Apakah mungkin desa dan tradisi diinteraksikan, sehingga mewujud sebagai desa adat yang berdaulat, berdikari, dan berkepribadian sesuai dengan konsep Tri Sakti-nya Bung Karno?
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Mengikuti pemikiran Parsons, desa lebih fokus pada subsistem ekonomi dan politik. Sedangkan, tradisi lebih konsen pada subsistem sosial dan budaya. Idealnya, interaksi antara desa dan tradisi bersifat timbal balik dan mutualistis. Artinya, kekuasaan desa jangan sampai melemahkan tradisi. Sebaliknya, tradisi jangan sampai membebani desa. Lalu bagaimana strateginya?
Apakah desa adat sudah berhasil merumuskan strategi budaya? Apakah kristalisasi nilai dapat membentuk subsistem politik dan ekonomi desa adat? Apakah Tri Hita Karana sudah diterjemahkan dalam berdemokrasi di desa adat? Apakah desa adat sudah mandiri di bidang ekonomi dengan berdirinya LPD? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut masih gamang. Namun kritikan berikut perlu direnungkan. Mochtar Lubis pernah berujar bahwa wajah lama tak karuan di kaca, sedangkan wajah baru belum jua jelas. Senada dengan itu, warisan leluhur menjadi tak karuan sekarang ini, sedangkan kesejahteraan pakraman semakin menjauh?
Jika menggunakan basis identifikasi Mochtar Lubis, di desa adat sering muncul budaya feodal. Misalnya, sekelompok orang menyebut dirinya lebih tinggi dari lainnya. Representasi kekuasaan disimbolkan dengan acara sosial yang besar. Di ranah politik, muncul juga gaya otoritarian. Misalnya, elite masyarakat menggunakan kekuasaan untuk memaksakan kehendak. Koentjaraningrat menyebut mereka-mereka itu memiliki mentalitas yang tidak mengutamakan mutu, tidak hemat, suka menerabas, tidak percaya diri, kurang disiplin, dan kurang bertanggungjawab. Karakter yang tidak menghargai kearifan tradisi akan menghasilkan ekonomi yang tidak efisien dan berbiaya tinggi.
Akibatnya daya saing rendah dan kesenjangan sosial semakin melebar.
Melihat persoalan transformasi budaya ini, maka harus dilakukan identifikasi nilai-nilai tradisi yang positif. Sambil mengurangi karakter negatif, nilai-nilai tradisi signifikan untuk mencapai tujuan harus diperkuat. Caranya, mungkin lewat revolusi, pembangunan, reformasi atau restorasi. Transformasi budaya sering lambat, karena peradaban berjalan cepat. Menurut Alvin Toffler, gelombang pertanian berlangsung antara 8.000 tahun sebelum masehi hingga sekitar tahun 1.700 setelah masehi. Gelombang kedua, budaya industri, sampai pertengahan abad 20, sekitar 300 tahun. Gelombang ketiga, budaya teknologi tinggi, komputer, satelit, dan sebagainya diduga akan berlangsung lebih singkat.
Budaya Bali sangat potensial untuk menjadi jangkar dalam membangun budaya yang kokoh. Budaya Bali merupakan aktivitas berbudaya yang unik. Akar kebudayaannya sangat kuat tertanam. Khasanahnya sangat beraneka ragam dan kaya filosofi. Budaya eda ngaden awak bisa, depang anake ngadanin, terkesan polos dan lugu, namun diterima sebagai nilai yang introspektif. Ajaran-ajaran mengenai filsafat, etika, kepemimpinan, tergolong kaya. Misalnya, usada Bali mengandung filsafat pengobatan tradisional yang bebas efek samping. Juga, ajaran budi pekerti yang tertuang dalam Tri Kaya Parisudha sangat diyakini. Ajaran kepemimpinan Hastha Brata juga diadopsi sebagai kepemimpinan fenomenal oleh banyak kalangan.
Selanjutnya...
1
2
Komentar