Angkat Kontroversi Perkawinan Pada Gelahang di Karangasem
Versi Wayan Artha Dipa, sistem perkawinan ‘Pada Gelahang’ di Karangasem masih menjadi kontroversi, karena pasca menikah pasutri bersangkutan menjadi krama adat di dua banjar berbeda, yakni di banjar pihak laki-laki dan banjar pihak perempuan
Wakil Bupati Karangasem I Wayan Artha Dipa Raih Gelar Doktor dengan Predikat Cumlaude
DENPASAR, NusaBali
Di tengah kesibukannya menjalankan tugas pemerintahan selaku Wakil Bupati Karangasem 2016-2021, I Wayan Artha Dipa SH MH, 62, mampu menyelesaikan desertasi untuk studi Doktornya (S3) Bidang Ilmu Agama dan Kebudayaan di Uni-versitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar, Rabu (11/4). Artha Dipa bahkan meraih gelar Doktor dengan predikat Cumlaude berkat suksesnya mempertahankan desertasi berjudul ‘Kontroversi Perkawinan Pada Gelahang pada Masyarakat Bali Hindu di Kabupaten Karangasem’.
Wayan Artha Dipa menyebutkan, sistem perkawinan ‘Pada Gelahang’ di Kabupaten Karangasem masih menjadi kontroversi. Sebab, sistem perkawinan ini dianggap masih tabu, karena ketika menikah, pasangan suami istri ini menjadi krama adat di dua banjar berbeda, yakni di banjar pihak laki-laki dan banjar pihak perempuan. Sebagian besar masyarakat Karangasem masih menolak sistem perkawinan ‘Pada Gelahang’ yang menimbulkan disintegrasi di masyarakat.
“Kalau Karangasem memang mau menerima sistem ini, mungkin dari zaman Belanda sudah banyak pakai sistem perkawinan Pada Gelahang. Tapi, dari zaman Belanda sampai sekarang, baru dua pasangan yang melaksanakan perkawinan sistem ini. Itu pun, yang satu sudah kembali normal, mepamit dari rumah bajangnya,” ujar birokrat asal Banjar Pakel, Desa Sangkan Gunung, Kecamatan Sidemen, Karangasem ini kepada NusaBali seusai sidang promosi Doktor di Aula Unhi Denpasar, Rabu kemarin.
Menurut Artha Dipa, kontroversi yang terjadi disebabkan oleh perubahan sosial dalam sistem adat, wacana hak waris perempuan, refleksi pengetahuan dan pengalaman, serta hukum perkawinan agama Hindu. “Bukan berarti masyarakat Karangasem anti terhadap perubahan, karena perubahan itulah yang kekal. Tapi, perubahan yang sifatnya evolusi,” jelas Artha Dipa.
“Apakah nanti sistem perkawinan Pada Gelahang ini akan bisa diterima? Tergantung evolusi, perkembangan masyarakat pada masa yang akan datang. Tapi, sampai pada hari ini kita sepakat bahwa masyarakat Karangasem belum bisa menerima atau masih menolak sistem perkawinan Pada Gelahang,” lanjut birokrat dan tokoh adat yang juga menjabat Ketua Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) Kabupaten Karangasem ini.
Disebutkan, pasangan Pada Gelahang di Karangasem mengalami suatu masalah, per-karanya bahkan sampai ke Mahkamah Agung (MA). Kasusnya berawal ketika orangtuanya meninggal, sedangkan ahli warisnya tidak mau menyerahkan harta kekayaannya, terutama sanggahnya. Kemudian, karena orangtuanya kaya, inilah yang diperkarakan, sehingga cenderung lebih banyak ke perdata.
“Sedangkan sanggahnya tidak menjadi titik sentral persoalan. Padahal, jika bicara waris di Bali, tidak saja waris material yang paling utama, melainkan juga mewariskan sanggah dan sebagainya,” papar Artha Dipa.
Bentuk kontroversi yang timbul, kata Artha Dipa, berpengaruh terhadap hak dan kewajiban adat, kedudukan dan status hukum, kondisi tak terprediksikan, dan tentunya aspek niskala. “Bentuk kontrovensinya itu seperti mebanjar, ayahan desa, termasuk masalah kematian di mana akan dilinggihkan? Apakah dilinggihkan di tempat yang berbeda? Jika demikian, maka tidak sesuai dengan prinsip perkawinan sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di mana perkawinan adalah ikatan lahir bathin, kekal abadi menuju masyarakat dan kesejahteraan. Jika dilinggihkan berbeda, kan tidak terjadi ikatan lahir bathin,” jelasnya.
“Begitu juga dari aspek niskala. Jika menikah, kemudian tidak mepamit (karena Pada Gelahang), akhirnya terjadi masalah di keluarga, terjadi ketidakseimbangan, seperti tak habis-habisnya dirundung malang. Ternyata setelah dilakukan upacara mapamit, walaupun sudah jadi Dewa Hyang, ada ketenteraman yang didapatkan setelah upacara mepamit itu,” lanjut Artha Dipa.
Sedangkan implikasi kontroversi terhadap agama adalah terjadinya redefinisi tradisi keagamaan, di mana masuknya pemikiran baru seiring terjadinya modernisasi. Kemudian, penguatan sistem keagamaan tradisional sebagai respons atas masuknya ide-ide keagamaan baru. Sementara implikasi terhadap budaya, terjadinya restrukturi-sasi sistem patrilineal, disintegrasi, dan integrasi sosial.
Lalu, apakah selamanya sistem perkawinan Pada Gelahang tidak bisa diterapkan di Karangasem? Menurut Artha Dipa, masih ada solusi dengan menikah masih satu hu-bungan keluarga atau kekerabatan yang masih memungkinkan.
“Sebagaimana kesimpulan secara umum, memang masyarakat masih menolak. Namun, solusi yang kita tawarkan Pada Gelahang niscaya bisa dilakukan jika perkawinannya itu di internal keluarga, misalnya satu merajan atau sanggah gede, atau satu klan, atau kekerabatan. Kalau keluar klan, agak sulit, karena di Bali masih kental dengan warih,” jelas Artha Dipa. *ind
Komentar