'Ranperda Tajen' Harus Dikaji Ulang Lebih Mendalam
Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Atraksi Budaya Tradisional Bali yang diusulkan DPRD Bali masih menuai kontroversi karena di dalamnya ada penyebutan kata sabung ayam alias tajen.
DENPASAR, NusaBali
Menurut Ketua PHDI Bali, Prof Dr IGN Sudiana MSi, perlu kehati-hatian dalam memutuskan ranperda tersebut. Karena tajen yang digadang-gadang sebagai atraksi budaya Bali, di dalam pelaksanaannya di lapangan masih saja dijadikan sarana perjudian oleh sekelompok orang. Sedangkan tajen dengan tabuh rah mempunyai makna dan filosofi yang berbeda.
“Tajen dalam satuan tafsir sering memakai 'toh' (taruhan uang, red). Sedangkan tabuh rah tidak pakai toh. Biasanya hanya dilakukan tigang paratan (tiga kali babak, red),” ujarnya, Rabu (11/4).
Karena itu, tabuh rah yang merupakan salah satu bentuk yadnya dalam upacara keagamaan di Bali harus dibedakan pengertiannya dengan tajen. Sepanjang tajen mengandung unsur perjudian, otomatis ranperda itu gugur. Sebab menurutnya, melegalkan perjudian melanggar Undang-Undang. “Tidak saja bertentangan dengan Undang-Undang, melainkan bertentangan juga dengan ajaran Agama Hindu,” tegasnya.
‘Ranperda Tajen’ jika tidak dikaji lebih mendalam, menurutnya, juga bisa menimbulkan kontroversi di kalangan umat beragama lainnya di Indonesia. Namun, ‘Ranperda Tajen’ yang diusulkan yakni lebih menekankan pada atraksi budaya, boleh dibuat. Asalkan melalui pengkajian yang melibatkan semua pihak, mulai dari akademisi, tokoh agama, dan budayawan.
Prof Sudiana menyarankan, dalam pembuatan perda perlu dipikirkan lebih jauh apa manfaat ke depannya. Sehingga, tidak menimbulkan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat. “Harus dikaji secara mendalam lagi, sepanjang tajen itu sebagai atraksi budaya tidak isi toh, itu masih memungkinkan dibuatkan perda. Kalau ada toh-nya, otomatis perdanya gugur, karena bertentangan dengan Undang-Undang,” terangnya. *ind
Menurut Ketua PHDI Bali, Prof Dr IGN Sudiana MSi, perlu kehati-hatian dalam memutuskan ranperda tersebut. Karena tajen yang digadang-gadang sebagai atraksi budaya Bali, di dalam pelaksanaannya di lapangan masih saja dijadikan sarana perjudian oleh sekelompok orang. Sedangkan tajen dengan tabuh rah mempunyai makna dan filosofi yang berbeda.
“Tajen dalam satuan tafsir sering memakai 'toh' (taruhan uang, red). Sedangkan tabuh rah tidak pakai toh. Biasanya hanya dilakukan tigang paratan (tiga kali babak, red),” ujarnya, Rabu (11/4).
Karena itu, tabuh rah yang merupakan salah satu bentuk yadnya dalam upacara keagamaan di Bali harus dibedakan pengertiannya dengan tajen. Sepanjang tajen mengandung unsur perjudian, otomatis ranperda itu gugur. Sebab menurutnya, melegalkan perjudian melanggar Undang-Undang. “Tidak saja bertentangan dengan Undang-Undang, melainkan bertentangan juga dengan ajaran Agama Hindu,” tegasnya.
‘Ranperda Tajen’ jika tidak dikaji lebih mendalam, menurutnya, juga bisa menimbulkan kontroversi di kalangan umat beragama lainnya di Indonesia. Namun, ‘Ranperda Tajen’ yang diusulkan yakni lebih menekankan pada atraksi budaya, boleh dibuat. Asalkan melalui pengkajian yang melibatkan semua pihak, mulai dari akademisi, tokoh agama, dan budayawan.
Prof Sudiana menyarankan, dalam pembuatan perda perlu dipikirkan lebih jauh apa manfaat ke depannya. Sehingga, tidak menimbulkan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat. “Harus dikaji secara mendalam lagi, sepanjang tajen itu sebagai atraksi budaya tidak isi toh, itu masih memungkinkan dibuatkan perda. Kalau ada toh-nya, otomatis perdanya gugur, karena bertentangan dengan Undang-Undang,” terangnya. *ind
Komentar