Dewan 'Kejar' Sikap PLN
Lembaga DPRD Buleleng akhirnya terusik juga atas keterlambatan operasional Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atau solar cell di Desa Bondalem, Kecamatan Tejakula.
Soal PLTS di Desa Bondalem
SINGARAJA, NusaBali
Lembaga dewan pun berencana mengundang pihak PLN guna mengetahui persoalan yang ada. Masalahnya, keterlambatan PLTS beroperasi dkarena PLN belum keluarkan izin.”Ya nanti kita agendakan rapat dengan pendapat dengan PLN. Apa sih masalahnya, karena sampai saat ini PLN belum juga keluarkan izin operasinya,” kata Ketua DPRD Buleleng, Gede Supriatna menyikapi belum beroperasinya PLTS di Desa Bondalem, Rabu (11/4).
Pembangunan PLTS di Desa Bondalem guna mengurangi biaya listrik PLN yang ditanggung pengelola PAM desa. Selama ini, sumber air yang dikelola oleh PAM desa adalah air bawah tanah. Sehingga untuk mengangkat air sumur bawah tanah itu, PAM desa menggunakan tenaga listrik. Setiap bulan untuk satu sumur bisa membayar biaya listrik hingga Rp 10 juta. Di Desa Bondalem, kini tercatat ada enam sumur bor, tiga di antaranya adalah bantuan dari Pemkab Buleleng. PLTS yang dibangun dengan dana Rp 1.010 miliar, untuk satu titik sumur bantuan dari Pemkab Buleleng.
PLTS tersebut dengan 77 panel, mampu menghasilkan daya sebesar 23 kWh. Sedangkan pemakaian daya untuk satu titik sumur diperkirakan 15 kWh. Izin PLN diperlukan, karena operasional PLTS itu memakai sistem kWh Exim (eksport import) dengan jaringan listrik PLN. Namun, sampai memasuki pertengahan bulan April, PLN belum juga keluarkan izin. “Tentu ini menjadi beban masyarakat Bondalem, padahal Pemkab sudah berusaha meringkan beban masyarakat. Nanti kita akan tanyakan, seperti apa prosesnya perizinan itu, apa kendalanya. Kita minta agar segera izin itu dikeluarkan,” tegas Ketua DPRD, Gede Supriatna.
Sebelumnya, warga Desa Bondalem, juga mempertanyakan operasional dari PLTS tersebut. Masalahnya, PLTS itu tidak kunjung dioperasikan kendati pembangunanya sudah rampung Pebruari 2018. “Memang banyak warga kami yang mempertanyakan itu, tetapi menurut informasi, pengoperasionalan itu harus menunggu izin dari PLN,” kata Kepala Desa (Perbekel) Desa Bondalem, Ngurah Sadu Adnyana.
Menurut Perbekel Ngurah Sadu, pihaknya sudah menjelaskan kepada warga, terkait kendalam pengoprasian tersebut. Warga sendiri lanjut Ngurah Sadu, minta agar PLN bisa secepatnya memberikan izin pengoprasian PLTS tersebut. Sehingga dapat mengurangi beban listrik untuk mengangkat air dari sumur. “Kami sampaikan seperti itu, kalau memang perlu izin, ya PLN mesti segera ditindaklanjuti,” ujarnya.
Kepala Bidang (Kabid) Air Minum Penyehatan Lingkungan (AMPL) Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Buleleng, Gede Suharjono sempat menjelaskan, karena PLTS itu memakai sistem On Grid dengan jaringan PLN, jadi harus ada izin dari PLN. Beberapa komponen di dalamnya harus disesuaikan dengan PLN. Dengan sistem On Grid, maka ada kWh Exim, dimana daya yang dihasilkan oleh PLTS akan masuk ke jaringan PLN, kemudian dikeluarkan seperlunya untuk membangkitkan mesin pengangkat air. Nantinya kelebihan daya yang tidak dimanfaatkan, tersimpan oleh PLN. “Sisanya ini dapat dipakai sebagai cadangan, karena bisa jadi PLTS itu tidak menghasilkan daya akibat cuaca mendung, sehingga ini dapat mengurangi beban listrik,” jelasnya.
Menurut Suharjono, PLTS yang dibangun dengan sistem ON Grid dengan PLN, karena pemanfaatan PLTS sangat tergantung dari cuaca. Sehingga ketika musim penghujan atau tidak ada sinar matahari, praktis PLTS tidak bisa menghasilkan tenaga listrik. Sehingga, pemanfaatan air bawah tanah masih sangat tergantung dengan PLN. “Kalau PLTS mandiri, biayanya tinggi, karena harus ada baterai penyimpanan. Nah kita belum sampai kesana. Sekarang ini masih pilot project untuk satu titik sumur bor saja. Kalau ini berhasil, nanti bisa dilanjutkan secara bertahap,” ujarnya. *k19
SINGARAJA, NusaBali
Lembaga dewan pun berencana mengundang pihak PLN guna mengetahui persoalan yang ada. Masalahnya, keterlambatan PLTS beroperasi dkarena PLN belum keluarkan izin.”Ya nanti kita agendakan rapat dengan pendapat dengan PLN. Apa sih masalahnya, karena sampai saat ini PLN belum juga keluarkan izin operasinya,” kata Ketua DPRD Buleleng, Gede Supriatna menyikapi belum beroperasinya PLTS di Desa Bondalem, Rabu (11/4).
Pembangunan PLTS di Desa Bondalem guna mengurangi biaya listrik PLN yang ditanggung pengelola PAM desa. Selama ini, sumber air yang dikelola oleh PAM desa adalah air bawah tanah. Sehingga untuk mengangkat air sumur bawah tanah itu, PAM desa menggunakan tenaga listrik. Setiap bulan untuk satu sumur bisa membayar biaya listrik hingga Rp 10 juta. Di Desa Bondalem, kini tercatat ada enam sumur bor, tiga di antaranya adalah bantuan dari Pemkab Buleleng. PLTS yang dibangun dengan dana Rp 1.010 miliar, untuk satu titik sumur bantuan dari Pemkab Buleleng.
PLTS tersebut dengan 77 panel, mampu menghasilkan daya sebesar 23 kWh. Sedangkan pemakaian daya untuk satu titik sumur diperkirakan 15 kWh. Izin PLN diperlukan, karena operasional PLTS itu memakai sistem kWh Exim (eksport import) dengan jaringan listrik PLN. Namun, sampai memasuki pertengahan bulan April, PLN belum juga keluarkan izin. “Tentu ini menjadi beban masyarakat Bondalem, padahal Pemkab sudah berusaha meringkan beban masyarakat. Nanti kita akan tanyakan, seperti apa prosesnya perizinan itu, apa kendalanya. Kita minta agar segera izin itu dikeluarkan,” tegas Ketua DPRD, Gede Supriatna.
Sebelumnya, warga Desa Bondalem, juga mempertanyakan operasional dari PLTS tersebut. Masalahnya, PLTS itu tidak kunjung dioperasikan kendati pembangunanya sudah rampung Pebruari 2018. “Memang banyak warga kami yang mempertanyakan itu, tetapi menurut informasi, pengoperasionalan itu harus menunggu izin dari PLN,” kata Kepala Desa (Perbekel) Desa Bondalem, Ngurah Sadu Adnyana.
Menurut Perbekel Ngurah Sadu, pihaknya sudah menjelaskan kepada warga, terkait kendalam pengoprasian tersebut. Warga sendiri lanjut Ngurah Sadu, minta agar PLN bisa secepatnya memberikan izin pengoprasian PLTS tersebut. Sehingga dapat mengurangi beban listrik untuk mengangkat air dari sumur. “Kami sampaikan seperti itu, kalau memang perlu izin, ya PLN mesti segera ditindaklanjuti,” ujarnya.
Kepala Bidang (Kabid) Air Minum Penyehatan Lingkungan (AMPL) Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Buleleng, Gede Suharjono sempat menjelaskan, karena PLTS itu memakai sistem On Grid dengan jaringan PLN, jadi harus ada izin dari PLN. Beberapa komponen di dalamnya harus disesuaikan dengan PLN. Dengan sistem On Grid, maka ada kWh Exim, dimana daya yang dihasilkan oleh PLTS akan masuk ke jaringan PLN, kemudian dikeluarkan seperlunya untuk membangkitkan mesin pengangkat air. Nantinya kelebihan daya yang tidak dimanfaatkan, tersimpan oleh PLN. “Sisanya ini dapat dipakai sebagai cadangan, karena bisa jadi PLTS itu tidak menghasilkan daya akibat cuaca mendung, sehingga ini dapat mengurangi beban listrik,” jelasnya.
Menurut Suharjono, PLTS yang dibangun dengan sistem ON Grid dengan PLN, karena pemanfaatan PLTS sangat tergantung dari cuaca. Sehingga ketika musim penghujan atau tidak ada sinar matahari, praktis PLTS tidak bisa menghasilkan tenaga listrik. Sehingga, pemanfaatan air bawah tanah masih sangat tergantung dengan PLN. “Kalau PLTS mandiri, biayanya tinggi, karena harus ada baterai penyimpanan. Nah kita belum sampai kesana. Sekarang ini masih pilot project untuk satu titik sumur bor saja. Kalau ini berhasil, nanti bisa dilanjutkan secara bertahap,” ujarnya. *k19
1
Komentar