MUTIARA WEDA : Yadnya Sesa
Ia yang memakan sisa yadnya akan terlepas dari segala dosa, tetapi ia yang menyiapkan makanan hanya bagi dirinya sendiri, sesungguhnya makan dosa.
Yajna sishtasinah santo mucnyante sarva kilbishaih
bhunjate te tv agham papa ye panchanty atma karanat.
(Bhagawadgita, III: 13)
ORANG Bali biasanya menghaturkan Yadnya Sesa setelah selesai masak, yakni mempersembahkan hasil masakan ke hadapan Tuhan sebelum disantap. Boleh jadi teks di atas merupakan justifikasi pelaksanaannya. Agar makanan tersebut memiliki berkah, akan sangat baik dipersembahkan terlebih dulu. Orang Bali menyebut itu sebagai Lungsuran atau Prasadam. Dikatakan bahwa dosa seseorang bisa dihapuskan dengan memakan makanan yang telah dipersembahkan itu. Namun sebaliknya, jika seseorang memakan makanan yang sukla, yang belum dipersembahkan ke hadapan Tuhan, orang itu justru menambah dosanya.
Apa hubungannya antara makanan dan dosa? Apa bedanya makanan yang telah dihaturkan dengan yang belum? Apa pentingnya mempersembahkan makanan kepada Tuhan? Jika Tuhan adalah pemilik segala-galanya, maka apa pentingnya lagi mempersembahkan makanan kepada-Nya? Mengapa teks di atas menyatakan seperti itu? Jika memang harus dipersembahkan terlebih dahulu, lalu bagaimana denga hewan? Apakah hewan setiap hari memakan dosa oleh karena tidak bisa menghaturkan makanan ke hadapan Tuhan sebelum makan? Apa sebenarnya kebenaran di balik pernyataan di atas?
Jika direnungkan, sepertinya, makanan tidak dengan sendirinya membawa dosa atau secara inheren memiliki dosa, tetapi mengapa ketika memakannya justru dikatakan memakan dosa jika tidak dipersembahkan? Sepertinya ini hanya semata-mata masalah attitude. Pertama, saat makanan dimasak, berbagai faktor bisa mempengaruhi, baik fisik maupun psikis. Secara fisik mungkin terpapar racun, virus, dan yang sejenisnya. Yang lebih pokok, makanan itu dipengaruhi secara psikis oleh orang yang memasaknya. Pikiran orang yang memasak sangat mempengaruhi masakan itu. Jika pikiran mereka negatif, maka negatif pengaruhnya, demikian sebaliknya. Jika makanan ini dimakan, tentu juga akan mempengaruhi orang yang memakannya. Sehingga, dengan menghaturkannya ke hadapan Tuhan, makanan yang tercemar seperti itu bisa dihilangkan.
Kedua, saat makan, mungkin saja lupa dengan keberadaan Sang Diri Sejati, sehingga ada celah bagi pikiran untuk tidak terhubung dengan Yang Tertinggi. Untuk itu, dengan mempersembahkan makanan tersebut secara otomatis seseorang ingat dengan Tuhan sebagai Realitas Tertinggi. Di sini terjadi kontemplasi sehingga hubungan antara diri dengan Sang Diri Sejati tetap terjalin. Jika saat ini seseorang makan, maka makanan apapun yang dimakan pada prinsipnya adalah bagian dari dirinya yang suci. Para Bhakta menyebut makanan itu penuh berkah dari Tuhan. Dalam konteks lain, memakan-makanan seperi itu tidak bedanya dengan memakan badan Tuhan itu sendiri. Dosa yang dinyatakan seperti itu pun tidak pernah ada.
Ketiga, keserakahan juga mungkin dosa yang dimaksudkan. Jika seseorang menyiapkan sesuatu hanya untuk dirinya sendiri merupakan bentuk keserakahan. Apabila orang melakukannya, tentu dia memakan dosanya sendiri. Dengan menjadikan makanan itu sebagai persembahan, itu artinya dirinya mampu menyadari bahwa dirinya bukan apa-apa. Jika bukan karena rahmat Tuhan, dirinya tidak akan bisa tetap bertahan hidup. Semakin terlatih orang mengosongkan pikirannya, maka secara spiritual dirinya juga terus berkembang. Inilah mengapa dinyatakan bahwa dosanya akan terhapuskan. Dari sini, pesan yang dapat dipetik dari pelaksanaan yadnya sesa adalah pengosongan diri, penyerahan diri ke hadapan Tuhan. Memakan makanan bisa menghapus dosa dan sekaligus juga bisa menambah dosa.
Refleksi balik dari pesan ini adalah hendaknya, apapun yang bisa dinikmati, yang dimakan, baik oleh mulut maupun indera lainnya, jangan sampai memupuk keserakahan, tetapi justru harus dijadikan alat untuk spiritual melalui pengosongan diri. Yadnya sesa yang dilakukan sehari-hari dalam bentuk persembahan makanan sebelum dimakan akan mengalami perluasan, tidak hanya makanan yang dimakan mulut, tetapi apapun yang bisa dimakan oleh indera juga harus dipersembahkan terlebih dahulu. Apapun yang didengar, dikecap, dicium, diraba, dan dilihat mesti dipersembahkan terlebih dahulu. Dengan ini, apapun yang masuk ke dalam tubuh senantiasa dimurnikan, sehingga secara bertahap spiritual seseorang meningkat. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
(Bhagawadgita, III: 13)
ORANG Bali biasanya menghaturkan Yadnya Sesa setelah selesai masak, yakni mempersembahkan hasil masakan ke hadapan Tuhan sebelum disantap. Boleh jadi teks di atas merupakan justifikasi pelaksanaannya. Agar makanan tersebut memiliki berkah, akan sangat baik dipersembahkan terlebih dulu. Orang Bali menyebut itu sebagai Lungsuran atau Prasadam. Dikatakan bahwa dosa seseorang bisa dihapuskan dengan memakan makanan yang telah dipersembahkan itu. Namun sebaliknya, jika seseorang memakan makanan yang sukla, yang belum dipersembahkan ke hadapan Tuhan, orang itu justru menambah dosanya.
Apa hubungannya antara makanan dan dosa? Apa bedanya makanan yang telah dihaturkan dengan yang belum? Apa pentingnya mempersembahkan makanan kepada Tuhan? Jika Tuhan adalah pemilik segala-galanya, maka apa pentingnya lagi mempersembahkan makanan kepada-Nya? Mengapa teks di atas menyatakan seperti itu? Jika memang harus dipersembahkan terlebih dahulu, lalu bagaimana denga hewan? Apakah hewan setiap hari memakan dosa oleh karena tidak bisa menghaturkan makanan ke hadapan Tuhan sebelum makan? Apa sebenarnya kebenaran di balik pernyataan di atas?
Jika direnungkan, sepertinya, makanan tidak dengan sendirinya membawa dosa atau secara inheren memiliki dosa, tetapi mengapa ketika memakannya justru dikatakan memakan dosa jika tidak dipersembahkan? Sepertinya ini hanya semata-mata masalah attitude. Pertama, saat makanan dimasak, berbagai faktor bisa mempengaruhi, baik fisik maupun psikis. Secara fisik mungkin terpapar racun, virus, dan yang sejenisnya. Yang lebih pokok, makanan itu dipengaruhi secara psikis oleh orang yang memasaknya. Pikiran orang yang memasak sangat mempengaruhi masakan itu. Jika pikiran mereka negatif, maka negatif pengaruhnya, demikian sebaliknya. Jika makanan ini dimakan, tentu juga akan mempengaruhi orang yang memakannya. Sehingga, dengan menghaturkannya ke hadapan Tuhan, makanan yang tercemar seperti itu bisa dihilangkan.
Kedua, saat makan, mungkin saja lupa dengan keberadaan Sang Diri Sejati, sehingga ada celah bagi pikiran untuk tidak terhubung dengan Yang Tertinggi. Untuk itu, dengan mempersembahkan makanan tersebut secara otomatis seseorang ingat dengan Tuhan sebagai Realitas Tertinggi. Di sini terjadi kontemplasi sehingga hubungan antara diri dengan Sang Diri Sejati tetap terjalin. Jika saat ini seseorang makan, maka makanan apapun yang dimakan pada prinsipnya adalah bagian dari dirinya yang suci. Para Bhakta menyebut makanan itu penuh berkah dari Tuhan. Dalam konteks lain, memakan-makanan seperi itu tidak bedanya dengan memakan badan Tuhan itu sendiri. Dosa yang dinyatakan seperti itu pun tidak pernah ada.
Ketiga, keserakahan juga mungkin dosa yang dimaksudkan. Jika seseorang menyiapkan sesuatu hanya untuk dirinya sendiri merupakan bentuk keserakahan. Apabila orang melakukannya, tentu dia memakan dosanya sendiri. Dengan menjadikan makanan itu sebagai persembahan, itu artinya dirinya mampu menyadari bahwa dirinya bukan apa-apa. Jika bukan karena rahmat Tuhan, dirinya tidak akan bisa tetap bertahan hidup. Semakin terlatih orang mengosongkan pikirannya, maka secara spiritual dirinya juga terus berkembang. Inilah mengapa dinyatakan bahwa dosanya akan terhapuskan. Dari sini, pesan yang dapat dipetik dari pelaksanaan yadnya sesa adalah pengosongan diri, penyerahan diri ke hadapan Tuhan. Memakan makanan bisa menghapus dosa dan sekaligus juga bisa menambah dosa.
Refleksi balik dari pesan ini adalah hendaknya, apapun yang bisa dinikmati, yang dimakan, baik oleh mulut maupun indera lainnya, jangan sampai memupuk keserakahan, tetapi justru harus dijadikan alat untuk spiritual melalui pengosongan diri. Yadnya sesa yang dilakukan sehari-hari dalam bentuk persembahan makanan sebelum dimakan akan mengalami perluasan, tidak hanya makanan yang dimakan mulut, tetapi apapun yang bisa dimakan oleh indera juga harus dipersembahkan terlebih dahulu. Apapun yang didengar, dikecap, dicium, diraba, dan dilihat mesti dipersembahkan terlebih dahulu. Dengan ini, apapun yang masuk ke dalam tubuh senantiasa dimurnikan, sehingga secara bertahap spiritual seseorang meningkat. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar