Hari Baik di Bali
Banyak orang berkomentar, setiap hari adalah hari libur di Bali. Kesan ini terutama dilontarkan oleh para pelaku industri turisme.
Mereka selalu bertemu dengan orang yang bersenang-senang, gembira ria, bercakap-cakap dalam balutan rasa senang, acap kali tak berpikir panjang mengeluarkan uang. Tetapi, tidak hanya mereka yang bekerja di bisnis wisata mengakui di Bali itu saban hari seperti libur. Tak sedikit pekerja dari Jakarta pindah ke Bali, dan mengaku senang bekerja di pulau ini. “Bekerja di Bali itu santai, tidak tegang seperti di Jakarta,” komentar mereka. “Bekerja di Bali itu tenang, tidak gaduh, dan tidak terburu-buru.” Banyak yang mengaku, bekerja di Bali itu seperti piknik saja.
Beberapa pekerja itu berpendapat, mencoba mencari alasan, mengapa bekerja di Bali bisa santai, yang dikerjakan pun banyak, dan beres. Mereka berpendapat, Bali itu memiliki banyak hari baik. Hari-hari baik inilah yang membuat orang-orang bekerja dengan santai, dan tetap tekun. Bali itu memberi semangat orang-orang bekerja untuk selalu bergairah. Hari-hari di Bali memberi mereka kegembiraan.
Bali memang punya banyak sekali hari baik. Bisa jadi semua hari di Bali, sepanjang tahun, punya hari baik. Tetapi, tak semua hari baik itu pas untuk mengerjakan sesuatu. Para petani Bali sejak dulu punya hari-hari baik untuk menandur benih, sesuai musim. Dengan memilih hari baik untuk menanam, hasil pun akan berlipat ganda. Hari baik menandur itu diikuti pula dengan hari baik untuk menyampaikan persembahan kepada Hyang Widhi. Maka muncullah hari-hari baik untuk melaksanakan upacara adat dan keagamaan.
Kendati setiap hari punya saat baik, tentu hari-hari itu juga punya saat-saat buruk. Pemilahan saat-saat buruk dan baik itulah yang menjadikan hari-hari itu menjadi hari baik (dewasa ayu) untuk menandur, memetik hasil, melaksanakan upacara, saat untuk ngaben atau saat untuk menikah. Karena sudah ditentukan, maka hari baik untuk ngaben tidak pantas untuk menikah. Saat-saat upacara potong gigi (metatah) tak akan disertai dengan hari baik untuk ngaben.
Itu dulu, belakangan acap kali hari baik untuk menikah juga disertai dengan upacara ngaben. Sebuah keluarga sedang melangsungkan ngaben orangtua mereka, di depan rumah mereka berlangsung pernikahan. Upacara pernikahan itu memang sudah direncanakan lama, orangtua meninggal lima hari lalu, dan langsung ngaben. Dua keluarga itu bertetangga, tapi beda banjar.
Di Bali, ada saat-saat musim upacara adat berlangsung silih berganti, sambung menyambung. Piodalan di pura berlangsung, beberapa hari kemudian ada upacara pernikahan. Di desa lain, di kota beda, sedang berlangsung pula upacara ngaben. Kegiatan-kegiatan ini berlangsung meriah, sehingga menyedot perhatian turis. Tidak keliru jika kemudian muncul komentar dari orang luar, orang Bali itu santai banget, bisa terus menerus menyelenggarakan upacara.
Dulu, hari-hari baik di Bali terasa berjalan tertib, teratur. Hampir tidak pernah terjadi saat upacara pernikahan berbarengan dengan upacara ngaben. Sekarang, orang-orang sibuk menyelenggarakan kegiatan pernikahan, di desa lain orang-orang juga sibuk menyelenggarakan ngaben.
Seorang suami meminta istrinya datang ke sebuah acara pernikahan. “Sampaikan Bli tak bisa datang, karena ke tempat orang ngaben,” ujarnya. Suami-istri itu terpaksa berbagi tugas. Si suami ke rumah orang ngaben, si istri ke acara pernikahan. Ada pula yang bersiasat lain. Agar mereka berdua bisa datang bersama-sama, mereka datang ke tempat ngaben mendahului, kemudian bareng pula ke tempat nikah keesokan harinya. Tergantung niat mereka, ke mana mereka mau berkunjung di hari puncak acara. Apakah ke tempat ngaben atau ke rumah orang menikah.
Jika hari baik (dewasa ayu) bisa tumpang tindih, adakah pertanda mencari hari baik tidak seketat dulu? Para sulinggih tentu menetapkan hari baik dengan cermat. Tapi kini muncul dugaan, penetapan hari baik itu semakin longgar. Jika benar longgar, itu disebabkan karena kebutuhan hari baik semakin banyak dan kian mendesak. Misalnya, sekarang semakin banyak dan dianggap praktis jika ngaben langsung saja. Dan hari baik acap kali tersedia. Jika hari baik ngaben itu mendekati atau bersamaan dengan hari baik pernikahan, maka bertumpang tindihlah hari baik itu. Hari ngaben pun bertabrakan dengan hari menikah. Duka karena ditinggal mati bercampur dengan saat-saat menikmati bahagia bagi pasangan yang menikah.
Jika hari baik semakin sering bisa dijumpai di Bali, tidak keliru jika muncul kesan semua hari di Bali adalah hari baik, yang membuat para pencari kerja dari luar Bali berbondong-bondong ke pulau ini. Hari baik itu bagi mereka adalah hari penuh rezeki, bergelimang pendapatan dan kemakmuran. Mereka kemudian berkabar kepada rekan-rekan mereka, “Ayo ke Bali ramai-ramai untuk menikmati hari baik buat plesir dan menimba rezeki.” Orang Bali juga senang semakin banyak hadir hari baik, karena mereka bisa menyelenggarakan upacara adat dan keagamaan kapan saja. *
Aryantha Soethama
Pengarang
Komentar