Panitia Nyepi Banten Gelar Dharma Tula
Satu minggu menjelang Dharma Santi, Panitia Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1940 provinsi Banten menggelar Dharma Tula pada Sabtu (14/4) di Wantilan Pura Eka Wira Anantha, Serang.
JAKARTA, NusaBali
Tak tanggung mereka mendatangkan pedarma tula dari Bali, Ida Pandita Mpu Jaya Acharyananda.Menurut Ketua Panitia Perayaan Nyepi I Saka 1940 di provinsi Banten, I Wayan Sukma Harijaya atau biasa disapa Wayan Hari, Dharma Tula merupakan rangkaian peringatan hari raya Nyepi yang nantinya ditutup dengan Dharma Santi pada Sabtu (21/4). Tema yang mereka angkat dalam Dharma Tula adalah Ritual Dalam Era Global Perspektif Teologi Siwaisme.
"Tema tersebut kami pilih, karena saat ini masih sering terjadi perdebatan tentang upakara atau ritual yang dilakukan," ujar Wayan Hari kepada NusaBali, Minggu (15/4).
Acara Dharma Tula dipandu Jro Mangku Gede Made Sudiada dan dihadiri umat Hindu dari banjar se provinsi Banten. Jumlahnya mencapai 500 orang. Mereka sangat antusias mengikuti Dharma Tula itu. Bahkan waktu yang disediakan dari pukul 09.00-12.00 WIB terasa kurang, Alhasil waktu ditambah satu jam menjadi pukul 13.00 WIB baru selesai.
Dalam Dharma Tula, Ida Pandita terlebih dahulu menjelaskan konsep teologi Siwaisma. Menurutnya, konsep itu menganut sistem Tripurusa. Dimana masuk dalam tatanan Prama Siwa atau Tuhan yang full Nirgunan Brahman, yang tidak terpikirkan, terbayangkan dan terwujudkan.
Kemudian dia menjelaskan konsep Sadha Siwa atau Tuhan yang semi Nirguna dan Saguna Brahman. Artinya sudah mulai ada sedikit bayangan positif-negatif sehingga ada penciptaan, maka mulailah adanya acara atau upakara. Lalu memaparkan konsep Siwa, Tuhan telah memiliki sifat sang maha pencipta, pemelihara dan pemrelina.
"Ketika kita berada dalam konsep Siwa inilah, akhirnya umat melakukan pendekatan dengan cara Yantram, Mantram, Mandala dan Aksara. Selanjutnya menimbulkan Niyasa simbol berupa banten, upakara, arca karena merupakan Niyasa," kata Ida Pandita Mpu Jaya Acharyan
Bagaimana sifat dari Niyasa tersebut, ada yang merupakan Ragante Twi, ada bersifat vering atau persembahan yang lewat persembahan itulah Tuhan memberikan waranugrahanya, ada yang bersifat pensucian, ada yang bersifat hovefully permohonan dan sebagainya.
Bagaimana menyikapi agar tidak ada kesan upakara memiskinkan umat. Strateginya ada tiga yaitu Kanista, Madyama, Utama. Itupun masih dibagi sembilan lagi. "Prinsipnya sesuaikan dengan kemampuan," ucap Ida Pandita Mpu Jaya Acharyananda. *k22
Tak tanggung mereka mendatangkan pedarma tula dari Bali, Ida Pandita Mpu Jaya Acharyananda.Menurut Ketua Panitia Perayaan Nyepi I Saka 1940 di provinsi Banten, I Wayan Sukma Harijaya atau biasa disapa Wayan Hari, Dharma Tula merupakan rangkaian peringatan hari raya Nyepi yang nantinya ditutup dengan Dharma Santi pada Sabtu (21/4). Tema yang mereka angkat dalam Dharma Tula adalah Ritual Dalam Era Global Perspektif Teologi Siwaisme.
"Tema tersebut kami pilih, karena saat ini masih sering terjadi perdebatan tentang upakara atau ritual yang dilakukan," ujar Wayan Hari kepada NusaBali, Minggu (15/4).
Acara Dharma Tula dipandu Jro Mangku Gede Made Sudiada dan dihadiri umat Hindu dari banjar se provinsi Banten. Jumlahnya mencapai 500 orang. Mereka sangat antusias mengikuti Dharma Tula itu. Bahkan waktu yang disediakan dari pukul 09.00-12.00 WIB terasa kurang, Alhasil waktu ditambah satu jam menjadi pukul 13.00 WIB baru selesai.
Dalam Dharma Tula, Ida Pandita terlebih dahulu menjelaskan konsep teologi Siwaisma. Menurutnya, konsep itu menganut sistem Tripurusa. Dimana masuk dalam tatanan Prama Siwa atau Tuhan yang full Nirgunan Brahman, yang tidak terpikirkan, terbayangkan dan terwujudkan.
Kemudian dia menjelaskan konsep Sadha Siwa atau Tuhan yang semi Nirguna dan Saguna Brahman. Artinya sudah mulai ada sedikit bayangan positif-negatif sehingga ada penciptaan, maka mulailah adanya acara atau upakara. Lalu memaparkan konsep Siwa, Tuhan telah memiliki sifat sang maha pencipta, pemelihara dan pemrelina.
"Ketika kita berada dalam konsep Siwa inilah, akhirnya umat melakukan pendekatan dengan cara Yantram, Mantram, Mandala dan Aksara. Selanjutnya menimbulkan Niyasa simbol berupa banten, upakara, arca karena merupakan Niyasa," kata Ida Pandita Mpu Jaya Acharyan
Bagaimana sifat dari Niyasa tersebut, ada yang merupakan Ragante Twi, ada bersifat vering atau persembahan yang lewat persembahan itulah Tuhan memberikan waranugrahanya, ada yang bersifat pensucian, ada yang bersifat hovefully permohonan dan sebagainya.
Bagaimana menyikapi agar tidak ada kesan upakara memiskinkan umat. Strateginya ada tiga yaitu Kanista, Madyama, Utama. Itupun masih dibagi sembilan lagi. "Prinsipnya sesuaikan dengan kemampuan," ucap Ida Pandita Mpu Jaya Acharyananda. *k22
Komentar