Sumber Pendapatan Desa Adat Akan Diatur Perda
Tata pengelolaan dan penggunaan pendapatan desa adat, diatur lebih lanjut dalam awig-awig.
MANGUPURA, NusaBali
Panitia Khusus (Pansus) di DPRD Badung tengah mematangkan pembahasan Ranperda Pemberdayaan Desa Adat. Salah satu poin penting dala Ranperda tersebut adalah terkait sumber pendapatan desa.Hal itu terungkap dalam rapat pansus, Senin (16/4), di DPRD Badung. Selain masalah sumber pendapatan desa adat, dalam rancangan itu juga akan diperkuat mengenai susunan prajuru adat, bidang parhyangan, pawongan, dan palemahan desa adat.
Ketua Pansus Ranperda Pemberdayaan Desa Adat I Made Retha, menyatakan ranperda ini sangat penting karena menyangkut eksistensi dan keberadaan desa adat di Badung. Dia berharap dengan adanya Perda ini, desa adat semakin kuat dan terayomi dalam menjaga kelestarian seni, adat, budaya, dan agama Hindu.
Politisi Partai Demokrat itu menyatakan, salah satunya yang diatur dalam Ranperda adalah sumber pendapatan desa adat. Menurut Retha ‘dapur’ pundi-pundi desa adat ini harus betul-betul dibuatkan payung hukum, sehingga tidak dicap sebagai pungutan liar (pungli).
Berdasarkan Ranperda disebut ada beberapa sumber pendapatan desa adat. Di antaranya urunan krama, hasil pengelolaan kekayaan desa adat, hasil usaha LPD, bantuan pemerintah, pendapatan lainnya yang sah, dan sumbangan pihak ketiga yang tidak mengikat. Tata pengelolaan dan penggunaan pendapatan desa adat ini diatur lebih lanjut dalam awig-awig. “Pendapatan desa adat juga dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan penyelenggaraan kegiatan di desa adat,” tegas politisi asal Desa Adat Bualu, Kuta Selatan, itu.
Selain itu, juga mengemuka beberapa poin lainnya. Seperti terkait penamaan. Apakah akan menggunakan desa adat atau desa pakraman, kemudian bendesa adat atau kelian desa adat. “Kami minta istilah yang berbeda disinkronkan dulu. Karena ada menyebut desa adat ada pula menyebut desa pakraman,” kata salah seorang anggota pansus I Gede Wardana Erawan.
Sementara anggota Pansus I Made Sumerta juga menyoal masalah tapal batas desa adat. Sebab, ada beberapa desa, ‘palemahan’ desa saling seluk alias bercampur dengan desa adat yang lain. “Yang paling krusial itu, tanah ayahan desa ditempati non Hindu? Yang seperti ini aturannya harus jelas, karena syarat desa adat itu jelas ada Pura Kahyangan Tiga,” tegas Sumerta yang juga Bendesa Adat Pecatu.
Menanggapi hal itu, Retha menegaskan akan mengkaji persoalan-persoalan ini dengan tim ahli. “Kami harus hati-hati menangani persoalan seperti itu. Ke depan semua harus diatur, karena tantangan desa adat ke depan sangat berat,” tandasnya. *asa
Panitia Khusus (Pansus) di DPRD Badung tengah mematangkan pembahasan Ranperda Pemberdayaan Desa Adat. Salah satu poin penting dala Ranperda tersebut adalah terkait sumber pendapatan desa.Hal itu terungkap dalam rapat pansus, Senin (16/4), di DPRD Badung. Selain masalah sumber pendapatan desa adat, dalam rancangan itu juga akan diperkuat mengenai susunan prajuru adat, bidang parhyangan, pawongan, dan palemahan desa adat.
Ketua Pansus Ranperda Pemberdayaan Desa Adat I Made Retha, menyatakan ranperda ini sangat penting karena menyangkut eksistensi dan keberadaan desa adat di Badung. Dia berharap dengan adanya Perda ini, desa adat semakin kuat dan terayomi dalam menjaga kelestarian seni, adat, budaya, dan agama Hindu.
Politisi Partai Demokrat itu menyatakan, salah satunya yang diatur dalam Ranperda adalah sumber pendapatan desa adat. Menurut Retha ‘dapur’ pundi-pundi desa adat ini harus betul-betul dibuatkan payung hukum, sehingga tidak dicap sebagai pungutan liar (pungli).
Berdasarkan Ranperda disebut ada beberapa sumber pendapatan desa adat. Di antaranya urunan krama, hasil pengelolaan kekayaan desa adat, hasil usaha LPD, bantuan pemerintah, pendapatan lainnya yang sah, dan sumbangan pihak ketiga yang tidak mengikat. Tata pengelolaan dan penggunaan pendapatan desa adat ini diatur lebih lanjut dalam awig-awig. “Pendapatan desa adat juga dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan penyelenggaraan kegiatan di desa adat,” tegas politisi asal Desa Adat Bualu, Kuta Selatan, itu.
Selain itu, juga mengemuka beberapa poin lainnya. Seperti terkait penamaan. Apakah akan menggunakan desa adat atau desa pakraman, kemudian bendesa adat atau kelian desa adat. “Kami minta istilah yang berbeda disinkronkan dulu. Karena ada menyebut desa adat ada pula menyebut desa pakraman,” kata salah seorang anggota pansus I Gede Wardana Erawan.
Sementara anggota Pansus I Made Sumerta juga menyoal masalah tapal batas desa adat. Sebab, ada beberapa desa, ‘palemahan’ desa saling seluk alias bercampur dengan desa adat yang lain. “Yang paling krusial itu, tanah ayahan desa ditempati non Hindu? Yang seperti ini aturannya harus jelas, karena syarat desa adat itu jelas ada Pura Kahyangan Tiga,” tegas Sumerta yang juga Bendesa Adat Pecatu.
Menanggapi hal itu, Retha menegaskan akan mengkaji persoalan-persoalan ini dengan tim ahli. “Kami harus hati-hati menangani persoalan seperti itu. Ke depan semua harus diatur, karena tantangan desa adat ke depan sangat berat,” tandasnya. *asa
1
Komentar