Gerakan Literasi Sekolah Masih di Permukaan
Gerakan literasi sekolah yang saat ini sednag digencarkan di Buleleng, belum berjalan maksimal.
SINGARAJA, NusaBali
Hingga dua tahun berjalan gerakan literasi sekolah baru sekedar di permukaan saja. Siswa di sekolah yang menerapkan gerakan literasi baru dituntut hanya membaca saja, belum sampai ke pemahaman apa yang dibaca.
Hal tersebut diungkapkan langsung Kepala Disdikpora Buleleng, Gede Suyasa, yang ditemui Senin (16/4) siang. Pihaknya membenarkan bahwa sejumlah sekolah di Buleleng memang sudah menerapkan literasi. Siswa di sekolah yang bersangkutan diwajibkan dan dibiasakan untuk membaca 10-15 menit sebelum jam pelajaran di mulai.
Hanya saja apa yang dibaca siswa tidak mendapat pendalaman dari guru. Dari hasil evaluasi yang dilakukan Suyasa mengatakan belum ada penekanan lebih kepada siswa yang dilakukan guru kepada siswanya yang sudah melaksanakan gerakan literasi. Kebanyakan baru sekadar membaca saja.
“Mestinya ada tagihan apa yang dibaca, sehingga anak-anak membaca tidak hanya melewati bacaan saja, tetapi mulai mengingat dan memahami apa yang dibaca,” kata dia.
Dalam hal ini pihaknya menekankan kepada Kepala Sekolah dan guru-guru untuk lebih giat dan semangat mengawal gerakan literasi. Sehingga jika gerakan dengan proses yang benar dilakukan jangka panjang akan sangat bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selain pendalaman gerakan literasi yang masih menjadi kendala adalah sarana gedung perpustakaan. Dari 485 SD yang ada di Buleleng 127 di antaranya belum memiliki gedung perpustakaan yang presentatif. Selama ini mereka memanfaatkan ruang guru yang disekat menjadi ruang baca. Pihaknya pun mengakui bahwa hal tersebut tidak efektif. Meski demikian pihaknya mengaku terus pengupayakan pembangunan gedung perpustakaan di SD secara bertahap setiap tahunnya.
Disamping juga maslaah pustakawan sekolah yang dinilai belum maksimal. Untuk menerapkan gerakan listerasi, setiap sekolah harus memiliki pustawan yang handal. Tidak hanya menginventaris buku yang ada, tetapi juga mengalisis berapa banyak dan buku jenis apa saja yang diminati siswa, buku yang disenangi siswa, sehingga sekolah punya refrensi untuk pengadaan buku setiap tahunnya 20 persen dari dana BOS.
“Jangan sampai nanti membeli buku hanya untuk pajangan karena tidak sesuai dengan minat siswa. Memang tugas pustakawan kami juga lihat belum maksimal, dan kami masih maklumi, karena mereka juga masih terbebani oleh tugas administrasi sekolah lainnya, tidak hanya tugas sebagai pustakawan saja,” ungkap dia.
Pihaknya pun berharap kekurangan dalam gerakan literasi di masing-masing sekolah ini bisa menjadi perhatian kepala sekolah dan guru. Sehingga gerakan literasi di sekolah yang dilaksanakan dengan benar dapat bermanfaat bagi siswa. *k23
Hingga dua tahun berjalan gerakan literasi sekolah baru sekedar di permukaan saja. Siswa di sekolah yang menerapkan gerakan literasi baru dituntut hanya membaca saja, belum sampai ke pemahaman apa yang dibaca.
Hal tersebut diungkapkan langsung Kepala Disdikpora Buleleng, Gede Suyasa, yang ditemui Senin (16/4) siang. Pihaknya membenarkan bahwa sejumlah sekolah di Buleleng memang sudah menerapkan literasi. Siswa di sekolah yang bersangkutan diwajibkan dan dibiasakan untuk membaca 10-15 menit sebelum jam pelajaran di mulai.
Hanya saja apa yang dibaca siswa tidak mendapat pendalaman dari guru. Dari hasil evaluasi yang dilakukan Suyasa mengatakan belum ada penekanan lebih kepada siswa yang dilakukan guru kepada siswanya yang sudah melaksanakan gerakan literasi. Kebanyakan baru sekadar membaca saja.
“Mestinya ada tagihan apa yang dibaca, sehingga anak-anak membaca tidak hanya melewati bacaan saja, tetapi mulai mengingat dan memahami apa yang dibaca,” kata dia.
Dalam hal ini pihaknya menekankan kepada Kepala Sekolah dan guru-guru untuk lebih giat dan semangat mengawal gerakan literasi. Sehingga jika gerakan dengan proses yang benar dilakukan jangka panjang akan sangat bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selain pendalaman gerakan literasi yang masih menjadi kendala adalah sarana gedung perpustakaan. Dari 485 SD yang ada di Buleleng 127 di antaranya belum memiliki gedung perpustakaan yang presentatif. Selama ini mereka memanfaatkan ruang guru yang disekat menjadi ruang baca. Pihaknya pun mengakui bahwa hal tersebut tidak efektif. Meski demikian pihaknya mengaku terus pengupayakan pembangunan gedung perpustakaan di SD secara bertahap setiap tahunnya.
Disamping juga maslaah pustakawan sekolah yang dinilai belum maksimal. Untuk menerapkan gerakan listerasi, setiap sekolah harus memiliki pustawan yang handal. Tidak hanya menginventaris buku yang ada, tetapi juga mengalisis berapa banyak dan buku jenis apa saja yang diminati siswa, buku yang disenangi siswa, sehingga sekolah punya refrensi untuk pengadaan buku setiap tahunnya 20 persen dari dana BOS.
“Jangan sampai nanti membeli buku hanya untuk pajangan karena tidak sesuai dengan minat siswa. Memang tugas pustakawan kami juga lihat belum maksimal, dan kami masih maklumi, karena mereka juga masih terbebani oleh tugas administrasi sekolah lainnya, tidak hanya tugas sebagai pustakawan saja,” ungkap dia.
Pihaknya pun berharap kekurangan dalam gerakan literasi di masing-masing sekolah ini bisa menjadi perhatian kepala sekolah dan guru. Sehingga gerakan literasi di sekolah yang dilaksanakan dengan benar dapat bermanfaat bagi siswa. *k23
Komentar