MUTIARA WEDA : Teori Mengunyah Rumput
Tanpa penderitaan, Anda mungkin tidak menemukan kebahagiaan. Kebahagiaan dan penderitaan berjalan bersama dalam sebuah lingkaran
Sukhamāpatitam sevyam dukhamāpatitam tathā,
Chakravat parivartante dukhāni cha sukhāni cha.
(Hitopadesha)
PERNYATAAN bahwa kebahagiaan dan penderitaan berjalan bersamaan tampaknya klise. Semua orang sepertinya telah mengetahuinya. Namun, meskipun demikian, tidak semua orang bisa menerimanya. Membahas secara filosofis tentang pernyataan di atas sepertinya tidak akan banyak membantu. Mengapa demikian? Sebab, sejak awal kita telah terbiasa dengan mengetahui sesuatu hal yang bertentangan tetapi tidak pernah belajar mau menerima ketika pengetahuan itu mewujud dalam kehidupan kita sehari-hari. Ketika apa yang kita ketahui terjadi dalam kehidupan, kita belum atau tidak siap menerimanya. Kita terlatih untuk mendengar, membaca, dan menghafal, tetapi tidak terbiasa mengalami.
Seperti misalnya, orang Bali mengenal makna kain poleng sebagai simbol dari rwa bineda di mana sesuatu yang berlawanan tidak terpisahkan. Kebaikan dan keburukan berjalan bersamaan. Secara tradisi pun, sesuatu yang diyakini seperti para Bhuta yang bisa mengganggu tidak dihancurkan melainkan di-somya, diajak untuk hidup berdamai dan tidak saling mengganggu. Tradisi seperti ini dalam konteks pemaknaan menjadi sangat unik dan bisa menjadi petunjuk utama kehidupan, dan orang Bali sebagian besar memahaminya.
Hanya saja, ketika prinsip rwa bineda tersebut terjadi pada diri sendiri, pengetahuan dari makna tradisi tersebut tidak lagi berarti. Kita sering kehilangan kendali. Ketika kita kena bencana, kita tidak bisa melihat itu secara seimbang bahwa hitam dan putih memang terjadi silih berganti, ada kalanya kebahagiaan di atas dan saat lainnya penderitaan di atas. Pertanyaannya, mengapa makna simbolik yang telah menjadi tradisi dan dipahami dengan baik terkadang lebih sering tidak berfungsi maksimal dalam kehidupan riil? Mengapa terjadi ketimpangan antara pengetahuan dan kemampuan di dalam menghadapi kenyataan rwa bineda tersebut?
Sepertinya, jawaban sementara yang bisa diberikan adalah bahwa kita jarang diajarkan atau belajar untuk menjadi bijaksana. Apa yang kita ketahui hanya disimpan di memori dan tidak dijadikan rujukan untuk melakukan penyelidikan ke dalam. Kita terbiasa menelan mentah-mentah nasihat atau informasi yang bersumber baik dari orang, tradisi, buku ataupun kitab suci. Kita belum terlatih untuk mencernanya secara sempurna. Pengetahuan yang masuk otak kita tidak ubahnya seperti rumput dimasukkan ke keranjang dan tidak pernah langsung dikasih sapinya. Mestinya rumput tersebut setelah masuk ke keranjang, sesampainya di rumah, mesti diberikan si sapi dan membiarkan sapi tersebut mengunyahnya. Kita hanya memiliki seni mengumpulkan rumput untuk pakan sapi sampai di dalam keranjang, tetapi tidak memiliki kemampuan seperti sapi untuk mengunyahnya sehingga memberikan nutrisi.
Kita baru menguasai teori memasukkan rumput ke keranjang, tetapi belum menguasai teori mengunyah rumput itu. Apa yang hendak ingin disampaikan oleh baik oleh teks di atas maupun tradisi saput poleng di Bali lebih mengarah pada teori kedua. Dengan menguasai teori mengunyah rumput tersebut, seseorang akan memiliki pemahaman yang seimbang tentang panas dinginnya kehidupan. Bahkan setiap kejadian akan bisa dijadikan pelajaran. Teks di atas mengindikasikan bahwa seseorang bisa belajar dengan baik dari penderitaan yang dialaminya, sebab dengan mengalami penderitaan, seseorang akan mampu dengan benar merasakan kebahagiaan. Penderitaan adalah landasan dasar dari bagaimana kebahagiaan itu bisa dirasakan.
Jika seseorang tidak pernah merasakan penderitaan, maka jenis kebahagiaan apapun yang datang kepadanya akan menjadi biasa-biasa saja dan bahkan justru yang dirasakannya adalah penderitaan. Seperti misalnya orang yang tidak pernah merasakan rasa lapar, tidak akan mampu menikmati dan mensyukuri rasa kenyang dengan baik. Bahkan orang yang senantiasa hidupnya berlebihan akan tetap merasa menderita walaupun makanan setiap saat tersedia. Dia tidak mampu menikmati makanan itu secara maksimal. Sebaliknya, dia akan sangat menikmati hal tersebut hanya ketika dia pernah kekurangan, ketika merasa lapar tetapi tidak ada yang dimakan. Di sini, pesan yang didapat dari teks di atas adalah, “mari kita syukuri apapun yang datang kepada kita baik penderitaan maupun kebahagiaan, sebab itu adalah bagian dari kita”. Hanya dengan demikian seseorang akan senantiasa merasa bahagia. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
(Hitopadesha)
PERNYATAAN bahwa kebahagiaan dan penderitaan berjalan bersamaan tampaknya klise. Semua orang sepertinya telah mengetahuinya. Namun, meskipun demikian, tidak semua orang bisa menerimanya. Membahas secara filosofis tentang pernyataan di atas sepertinya tidak akan banyak membantu. Mengapa demikian? Sebab, sejak awal kita telah terbiasa dengan mengetahui sesuatu hal yang bertentangan tetapi tidak pernah belajar mau menerima ketika pengetahuan itu mewujud dalam kehidupan kita sehari-hari. Ketika apa yang kita ketahui terjadi dalam kehidupan, kita belum atau tidak siap menerimanya. Kita terlatih untuk mendengar, membaca, dan menghafal, tetapi tidak terbiasa mengalami.
Seperti misalnya, orang Bali mengenal makna kain poleng sebagai simbol dari rwa bineda di mana sesuatu yang berlawanan tidak terpisahkan. Kebaikan dan keburukan berjalan bersamaan. Secara tradisi pun, sesuatu yang diyakini seperti para Bhuta yang bisa mengganggu tidak dihancurkan melainkan di-somya, diajak untuk hidup berdamai dan tidak saling mengganggu. Tradisi seperti ini dalam konteks pemaknaan menjadi sangat unik dan bisa menjadi petunjuk utama kehidupan, dan orang Bali sebagian besar memahaminya.
Hanya saja, ketika prinsip rwa bineda tersebut terjadi pada diri sendiri, pengetahuan dari makna tradisi tersebut tidak lagi berarti. Kita sering kehilangan kendali. Ketika kita kena bencana, kita tidak bisa melihat itu secara seimbang bahwa hitam dan putih memang terjadi silih berganti, ada kalanya kebahagiaan di atas dan saat lainnya penderitaan di atas. Pertanyaannya, mengapa makna simbolik yang telah menjadi tradisi dan dipahami dengan baik terkadang lebih sering tidak berfungsi maksimal dalam kehidupan riil? Mengapa terjadi ketimpangan antara pengetahuan dan kemampuan di dalam menghadapi kenyataan rwa bineda tersebut?
Sepertinya, jawaban sementara yang bisa diberikan adalah bahwa kita jarang diajarkan atau belajar untuk menjadi bijaksana. Apa yang kita ketahui hanya disimpan di memori dan tidak dijadikan rujukan untuk melakukan penyelidikan ke dalam. Kita terbiasa menelan mentah-mentah nasihat atau informasi yang bersumber baik dari orang, tradisi, buku ataupun kitab suci. Kita belum terlatih untuk mencernanya secara sempurna. Pengetahuan yang masuk otak kita tidak ubahnya seperti rumput dimasukkan ke keranjang dan tidak pernah langsung dikasih sapinya. Mestinya rumput tersebut setelah masuk ke keranjang, sesampainya di rumah, mesti diberikan si sapi dan membiarkan sapi tersebut mengunyahnya. Kita hanya memiliki seni mengumpulkan rumput untuk pakan sapi sampai di dalam keranjang, tetapi tidak memiliki kemampuan seperti sapi untuk mengunyahnya sehingga memberikan nutrisi.
Kita baru menguasai teori memasukkan rumput ke keranjang, tetapi belum menguasai teori mengunyah rumput itu. Apa yang hendak ingin disampaikan oleh baik oleh teks di atas maupun tradisi saput poleng di Bali lebih mengarah pada teori kedua. Dengan menguasai teori mengunyah rumput tersebut, seseorang akan memiliki pemahaman yang seimbang tentang panas dinginnya kehidupan. Bahkan setiap kejadian akan bisa dijadikan pelajaran. Teks di atas mengindikasikan bahwa seseorang bisa belajar dengan baik dari penderitaan yang dialaminya, sebab dengan mengalami penderitaan, seseorang akan mampu dengan benar merasakan kebahagiaan. Penderitaan adalah landasan dasar dari bagaimana kebahagiaan itu bisa dirasakan.
Jika seseorang tidak pernah merasakan penderitaan, maka jenis kebahagiaan apapun yang datang kepadanya akan menjadi biasa-biasa saja dan bahkan justru yang dirasakannya adalah penderitaan. Seperti misalnya orang yang tidak pernah merasakan rasa lapar, tidak akan mampu menikmati dan mensyukuri rasa kenyang dengan baik. Bahkan orang yang senantiasa hidupnya berlebihan akan tetap merasa menderita walaupun makanan setiap saat tersedia. Dia tidak mampu menikmati makanan itu secara maksimal. Sebaliknya, dia akan sangat menikmati hal tersebut hanya ketika dia pernah kekurangan, ketika merasa lapar tetapi tidak ada yang dimakan. Di sini, pesan yang didapat dari teks di atas adalah, “mari kita syukuri apapun yang datang kepada kita baik penderitaan maupun kebahagiaan, sebab itu adalah bagian dari kita”. Hanya dengan demikian seseorang akan senantiasa merasa bahagia. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar