Tajen Tak Masuk dalam Perda Atraksi Budaya
Kata ‘tajen’ (judi sabung ayam) tidak masuk dalam Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Atraksi Budaya yang tengah digodok DPRD Bali.
DENPASAR, NusaBali
Yang masuk adalah istilah tabuh rah dan atraksi budaya sakral lainnya, termasuk ritual Siat Tipat Bantal dan Perang Pandan.Ketua Pansus Ranperda Atraksi Budaya DPRD Bali, I Wayan Gunawan, menegaskan kata ‘tajen’ yang berbau judi tidak ada dalam pasal-pasal Ranperda yang sedang digodok tersebut. “Yang menyebutkan ada kata tajen dalam pasal-pasal Raperda Atraksi Budaya itu siapa? Yang benar itu adalah tabuh rah, sebagai bagian dari ritual keagamaan. Kalau istilah tajen, nggak ada itu,” tegas Gunawan yang juga Ketua Fraksi Golkar DPRD Bali saat Pansus melakukan kajian bersama para penggiat seni dan budaya terkait Raperda Atraksi Budaya di Gedung Dewan, Bali Niti Mandala Denpasar, Senin (23/4) siang.
Gunawan menegaskan, selain tabuh rah, atraksi budaya Bali yang juga masuk dalam pasal-pasal Ranperda Atraksi Budaya adalah ritual Perang Pandan (di Desa Tenganan Pagringsingan, Kecamatan Manggis, Karangasem), Siat Tipat Bantal (di Desa Pakraman Kapal, Kecamatan Mengwi, Badung), Omed-omedan (di Sesetan, Denpasar Selatan), Tarian Barong, dan Tarian Kecak, serta sejumlah atraksi seni-budaya lainnya.
“Semuanya masih kita inventarisasi. Tak ada satu pun kata tajen dalam Ranperda Atraksi Budaya. Kita bukan bodoh, karena Perda itu konteks penyusunannya kan tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan aturan di atasnya,” tegas politisi Golkar asal Desa Batur Tengah, Kecamatan Kintamani, Bangli ini.
Menurut Gunawan, dalam konteks hukum, kekuatan Perda tidak oleh bertentangan dengan aturan di atasnya. Tabuh rah sendiri adalah simbol-simbol keagamaan. “Tapi, ketika masuk ke ranah sabung ayam, itu tidak dimasukkan dalam pasal-pasal Perda Atraksi Budaya. Pak Gubernur memberikan catatan supaya dikaji dengan melibatkan tokoh masyarakat. Ya, hari ini (kemarin) kita lakukan kajian tersebut,” tandas Gunawan yang juga Ketua DPD II Golkar Bangli.
Pansus Ranperda Atraksi Budaya, kata Gunawan, memiliki semangat sesuai UU Nomor 5 Tahun 2017 bahwa basis-basis kebudayaan memerlukan pemikiran yang memasukkan ranah sakral dan profan. “Harus dibedakan, ritual sakral tidak boleh dijadikan sebagai atraksi pariwisata berorientasi bisnis. Hari ini muncul tawaran Perda Atraksi Budaya juga ada inventarisasi tata kelola dan pengelolaannya,” katanya.
“Saat ini ada Perda Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pariwisata Budaya Bali, tapi cakupannya sangat luas, lebar, dan tidak jelas. Kalai Perda Atraksi Budaya ini sangat jelas dengan inventarisasi atraksi budaya yang sakral dibedakan secara jelas dengan yang profan,” imbuh Gunawan.
Menurut Gunawan, ada banyak manfaat dengan keberadaan Perda Atraksi Budaya ini. Pertama, menjaga atraksi budaya dan seni budaya tidak dijiplak serta diklaim pihak lain. Kedua, melindungi atraksi-atraksi budaya Bali, termasuk yang dalam bentuk fisik, supaya lestari dan sakral.
“Kasus turis asing memanjat Palinggih Padmasana di Pura Gelap Besakih, siapa yang salah itu? Ya karena kita yang salah, tidak melindungi kawasan suci tersebut. Kita tidak sakralisasi, turis dibiarkan masuk ke pura dan akhirnya memanjat Padmasana, karena dilihat tidak sakral. Kalau di luar negeri, saya nggak dikasi masuk ke kuil, apalagi melihat benda didalam kuil. Justru yang seperti ini membuat destinasi pariwisata itu menarik, membuat turis penasaran tentang benda yang disakralkan. Ane tenget ento (yang sakral itu) menarik, buat penasaran orang untuk datang,” tegas Gunawan.
“Sakral itu kan kalau ada pengaturan dan dijaga betul, akan memberikan manfaat. Turis datang itu menjadi pendapatan secara ekonomi. Buat apa kita menggunakan pakaian adat, meudeng lancip ke pura, ya karena sakralisasi. Kalau tidak sakral, pakai celana kolor saja ke pura, kan begitu.”
Gunawan juga menyentuh masalah perlindungan seniman dan pelaku budaya, di mana mereka diangkut pakai Truk, dengan upah yang minim. “Bayangkan, penari kecak hanya digaji Rp 450.000 sebulan. Itu masukan yang disampaikan tokoh dan pelaku seni kepada Pansus Ranperda Atraksi Budaya. Kami akan tindaklanjuti masalah ini,” katanya.
Sementara, penggiat seni budaya Anak Agung Gde Raka mengingatkan, Raperda Atraksi Budaya yang digodok DPRD Bali nantinya jangan hanya menjadi kertas usang. “Artinya, tidak sekadar menjadi peraturan dan sebatas berwacana. Saya sudah meminta supaya Perda ini benar-benar memberikan perlindungan terhadap seni dan budaya,” tandas Gung Raka seusai rapat pengkajian Ranperda Atraksi Budaya di DPRD Bali, Sanin kemarin.
Menurut Gung Raka, pihaknya selaku pelaku seni merasa mendapat angin segar dengan Pansus Raperda Atraksi Budaya ini. “Mudah-mudahan nasib seniman benar-benar diperhatikan. Jangan hanya bisa mengaku prihatin saja, tapi dalam implementasinya tidak ada. Nanti pengambil kebijakan supaya memberikan perlindungan kepada seniman. Ya, supaya seniman yang manggung di hotel bisa hidup secara ekonomi. Nggak seperti sekarang, seniman naik Truk, upahnya hanya Rp 25.000 setiap kali tampil,” tegas akademisi di Unwar Denpasar ini.
Gung Raka menegaskan, berkaitan dengan pariwisata, Bali tergantung seni dan budaya. Kalau sudah dibuatkan Perda, nanti tidak tidak ada pihak lain yang mengklaim seni dan budaya Bali. “Kalau sudah disakralkan dengan kekuatan hukum Perda, maka tidak akan diklaim.” *nat
Gunawan menegaskan, selain tabuh rah, atraksi budaya Bali yang juga masuk dalam pasal-pasal Ranperda Atraksi Budaya adalah ritual Perang Pandan (di Desa Tenganan Pagringsingan, Kecamatan Manggis, Karangasem), Siat Tipat Bantal (di Desa Pakraman Kapal, Kecamatan Mengwi, Badung), Omed-omedan (di Sesetan, Denpasar Selatan), Tarian Barong, dan Tarian Kecak, serta sejumlah atraksi seni-budaya lainnya.
“Semuanya masih kita inventarisasi. Tak ada satu pun kata tajen dalam Ranperda Atraksi Budaya. Kita bukan bodoh, karena Perda itu konteks penyusunannya kan tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan aturan di atasnya,” tegas politisi Golkar asal Desa Batur Tengah, Kecamatan Kintamani, Bangli ini.
Menurut Gunawan, dalam konteks hukum, kekuatan Perda tidak oleh bertentangan dengan aturan di atasnya. Tabuh rah sendiri adalah simbol-simbol keagamaan. “Tapi, ketika masuk ke ranah sabung ayam, itu tidak dimasukkan dalam pasal-pasal Perda Atraksi Budaya. Pak Gubernur memberikan catatan supaya dikaji dengan melibatkan tokoh masyarakat. Ya, hari ini (kemarin) kita lakukan kajian tersebut,” tandas Gunawan yang juga Ketua DPD II Golkar Bangli.
Pansus Ranperda Atraksi Budaya, kata Gunawan, memiliki semangat sesuai UU Nomor 5 Tahun 2017 bahwa basis-basis kebudayaan memerlukan pemikiran yang memasukkan ranah sakral dan profan. “Harus dibedakan, ritual sakral tidak boleh dijadikan sebagai atraksi pariwisata berorientasi bisnis. Hari ini muncul tawaran Perda Atraksi Budaya juga ada inventarisasi tata kelola dan pengelolaannya,” katanya.
“Saat ini ada Perda Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pariwisata Budaya Bali, tapi cakupannya sangat luas, lebar, dan tidak jelas. Kalai Perda Atraksi Budaya ini sangat jelas dengan inventarisasi atraksi budaya yang sakral dibedakan secara jelas dengan yang profan,” imbuh Gunawan.
Menurut Gunawan, ada banyak manfaat dengan keberadaan Perda Atraksi Budaya ini. Pertama, menjaga atraksi budaya dan seni budaya tidak dijiplak serta diklaim pihak lain. Kedua, melindungi atraksi-atraksi budaya Bali, termasuk yang dalam bentuk fisik, supaya lestari dan sakral.
“Kasus turis asing memanjat Palinggih Padmasana di Pura Gelap Besakih, siapa yang salah itu? Ya karena kita yang salah, tidak melindungi kawasan suci tersebut. Kita tidak sakralisasi, turis dibiarkan masuk ke pura dan akhirnya memanjat Padmasana, karena dilihat tidak sakral. Kalau di luar negeri, saya nggak dikasi masuk ke kuil, apalagi melihat benda didalam kuil. Justru yang seperti ini membuat destinasi pariwisata itu menarik, membuat turis penasaran tentang benda yang disakralkan. Ane tenget ento (yang sakral itu) menarik, buat penasaran orang untuk datang,” tegas Gunawan.
“Sakral itu kan kalau ada pengaturan dan dijaga betul, akan memberikan manfaat. Turis datang itu menjadi pendapatan secara ekonomi. Buat apa kita menggunakan pakaian adat, meudeng lancip ke pura, ya karena sakralisasi. Kalau tidak sakral, pakai celana kolor saja ke pura, kan begitu.”
Gunawan juga menyentuh masalah perlindungan seniman dan pelaku budaya, di mana mereka diangkut pakai Truk, dengan upah yang minim. “Bayangkan, penari kecak hanya digaji Rp 450.000 sebulan. Itu masukan yang disampaikan tokoh dan pelaku seni kepada Pansus Ranperda Atraksi Budaya. Kami akan tindaklanjuti masalah ini,” katanya.
Sementara, penggiat seni budaya Anak Agung Gde Raka mengingatkan, Raperda Atraksi Budaya yang digodok DPRD Bali nantinya jangan hanya menjadi kertas usang. “Artinya, tidak sekadar menjadi peraturan dan sebatas berwacana. Saya sudah meminta supaya Perda ini benar-benar memberikan perlindungan terhadap seni dan budaya,” tandas Gung Raka seusai rapat pengkajian Ranperda Atraksi Budaya di DPRD Bali, Sanin kemarin.
Menurut Gung Raka, pihaknya selaku pelaku seni merasa mendapat angin segar dengan Pansus Raperda Atraksi Budaya ini. “Mudah-mudahan nasib seniman benar-benar diperhatikan. Jangan hanya bisa mengaku prihatin saja, tapi dalam implementasinya tidak ada. Nanti pengambil kebijakan supaya memberikan perlindungan kepada seniman. Ya, supaya seniman yang manggung di hotel bisa hidup secara ekonomi. Nggak seperti sekarang, seniman naik Truk, upahnya hanya Rp 25.000 setiap kali tampil,” tegas akademisi di Unwar Denpasar ini.
Gung Raka menegaskan, berkaitan dengan pariwisata, Bali tergantung seni dan budaya. Kalau sudah dibuatkan Perda, nanti tidak tidak ada pihak lain yang mengklaim seni dan budaya Bali. “Kalau sudah disakralkan dengan kekuatan hukum Perda, maka tidak akan diklaim.” *nat
1
Komentar