MUTIARA WEDA : Kualitas Pertanyaan
Dalam Vedanta, definisi tentang Sraddha (keyakinan) sangat unik, dan berbeda dengan agama secara umum.
Adi Shankaracharya menyatakan bahwa Sraddha adalah keyakinan penuh terhadap sastra dan guru. Sementara definisi secara umum, sraddha adalah keyakinan kepada Tuhan. Vedanta tidak menekankan pada Tuhan, sebab apa yang diyakini sebagai Tuhan tidak lebih dari sekadar imajinasi, baik yang digambarkan oleh pikiran kita sendiri maupun yang diberikan dan digambarkan di dalam agama. Semua itu adalah maya. Sepanjang pikiran mempercayai sesuatu, maka sesuatu itu harus ada di dalam pikiran. Jika pikiran adalah produk maya, maka yang dipercayai juga maya. Sementara Ishvara (Tuhan) adalah penguasa dari alam semesta yang tak terjangkau oleh pikiran. Atas dasar inilah, Vedanta menekankan pada guru dan sastra. Mengapa demikian? Sebab dengan kita percaya penuh dengan sastra dan guru, seseorang secara bertahap diajarkan untuk menyadari Ishvara (Tuhan) itu sendiri. Sehingga dengan demikian tradisi astika, yang menerima Veda sebagai otoritasnya, lebih menekankan pada keyakinan pada guru dan sastra. Siapa yang memiliki keyakinan
penuh terhadap guru dan sastra itu? Ia adalah sisya (murid). Oleh karena itu dikatakan bahwa kesuksesan dari hubungan guru – murid bisa dilihat hanya ketika murid mampu merealisasikan Ishvara, yang menyelimuti segala sesuatu di semesta dan menyadari dirinya sebagai Brahman.
Sebenarnya, sebutan guru sebagai Brahma, Wisnu, dan Siwa, bukanlah untuk dilebih-lebihkan dan kemudian dimohon agar memberkati dan menganugerahi apapun yang menjadi keinginannya. Penyebutan guru sebagai Brahma, Wishnu, dan Siwa tidak lebih untuk menghancurkan ego yang ada pada sisya itu sendiri. Karena dia trust pada guru, maka apapun yang diucapkan oleh guru adalah ucapan tuhan dan mesti mematuhinya, apakah suka atau tidak suka. Proses inilah yang mampu menghancurkan ego sisya itu sendiri dan melahirkan orang baru (Dvijat). Jadi proses yang ada dalam perkembangan spiritual adalah sisya, bukan pengikut. Menjadi pengikut dari guru A atau guru B sangat gampang, karena sesuai dengan keinginan dan ego kita. Tetapi, ketika diminta untuk melakukan sesuatu di luar keinginannya, ia akan segera pindah ke guru lainnya. Jika ia merasa mendapat keuntungan dengan mengikuti guru A, di mengatakan guru itu luar biasa, benar-benar manusia Tuhan yang layak dipuja, tetapi jika ia merasa tidak mendapatkan apa-apa, ia dengan muda
h meninggalkannya dan bahkan mengatakan hal-hal yang jelek terhadapnya.
Demikianlah menjadi pengikut itu gampang, dan tidak menjadi sisya. Menjadi sisya sungguh sulit karena ia mesti meletakkan seluruh hidupnya pada gurunya. Menjadi murid artinya siap menyerahkan segala-galanya pada guru. Inilah degradasi yang terjadi saat ini. Agama yang muncul adalah agama pengikut, bukan agama sisya. Makanya, tidak salah jika saat ini banyak berlomba menjadi guru, yogi, pertapa, sadhu guna mendapatkan pengikut sebanyak-banyaknya. Banyak orang mencoba menggunakan peran itu untuk meraih ambisinya. Semakin banyak pengikut, semakin tinggi reputasinya dan semakin dihormati. Miss leading pun terjadi. Bagaimana mungkin orang buta mampu meng-guide orang buta? Hanya kebutaan yang tersisa. Tidak salah jika kemudian kekerasan muncul dari dalam penganut agama dan atas nama agama.
Agama sisya akan diajarkan untuk tidak menjadi sesuatu, menjadi nothing. Membuang sekecil apapun keinginan untuk menjadi sesuatu (something), sebab menjadi sesuatu artinya mengokohkan ego itu sendiri. Orang dengan ego yang kokoh, apapun peran yang dilakoninya tidak akan memiliki kesucian diri. Jika kesucian itu tidak ada, maka Realisasi Diri tidak mungkin terjadi. Jika tidak realisasi diri, maka manusia baru tidak akan pernah lahir. Oleh karena itu, dalam agama sisya, guru selalu dan senantiasa mengawasi ego muridnya dari berbagai sisi, sebelum akhirnya lenyap. Guru selalu membuat sebuah kondisi yang selalu bertentangan dengan kehendak murid guna melepaskan ego muridnya. Setiap saat guru mengetesnya dengan berbagai cara. Satu hal yang paling penting dalam mengetes murid dalam tradisi perguruan adalah bukan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan, melainkan membuat pertanyaan-pertanyaan.
Perkembangan seorang sisya akan mudah dikenali, mudah diukur dari jenis pertanyaan yang dihadirkannya. Ini sangat menarik, sebab jika ujian diberikan dengan jalan memberikan pertanyaan, maka sisya akan dengan mudah menjawabnya karena itu muncul dari memorinya. Sepanjang memori orang baik, maka apapun yang dipelajarinya akan mudah diingatnya. Namun ini bukanlah sebuah perkembangan spiritual. Tetapi, jika sisya dites dengan cara memunculkan pertanyaan, maka pertanyaan itu tentu muncul dari sebuah perenungan yang mendalam, dari sebuah kontemplasi yang dalam. Keraguan yang ada muncul dari proses pencariannya sendiri. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
penuh terhadap guru dan sastra itu? Ia adalah sisya (murid). Oleh karena itu dikatakan bahwa kesuksesan dari hubungan guru – murid bisa dilihat hanya ketika murid mampu merealisasikan Ishvara, yang menyelimuti segala sesuatu di semesta dan menyadari dirinya sebagai Brahman.
Sebenarnya, sebutan guru sebagai Brahma, Wisnu, dan Siwa, bukanlah untuk dilebih-lebihkan dan kemudian dimohon agar memberkati dan menganugerahi apapun yang menjadi keinginannya. Penyebutan guru sebagai Brahma, Wishnu, dan Siwa tidak lebih untuk menghancurkan ego yang ada pada sisya itu sendiri. Karena dia trust pada guru, maka apapun yang diucapkan oleh guru adalah ucapan tuhan dan mesti mematuhinya, apakah suka atau tidak suka. Proses inilah yang mampu menghancurkan ego sisya itu sendiri dan melahirkan orang baru (Dvijat). Jadi proses yang ada dalam perkembangan spiritual adalah sisya, bukan pengikut. Menjadi pengikut dari guru A atau guru B sangat gampang, karena sesuai dengan keinginan dan ego kita. Tetapi, ketika diminta untuk melakukan sesuatu di luar keinginannya, ia akan segera pindah ke guru lainnya. Jika ia merasa mendapat keuntungan dengan mengikuti guru A, di mengatakan guru itu luar biasa, benar-benar manusia Tuhan yang layak dipuja, tetapi jika ia merasa tidak mendapatkan apa-apa, ia dengan muda
h meninggalkannya dan bahkan mengatakan hal-hal yang jelek terhadapnya.
Demikianlah menjadi pengikut itu gampang, dan tidak menjadi sisya. Menjadi sisya sungguh sulit karena ia mesti meletakkan seluruh hidupnya pada gurunya. Menjadi murid artinya siap menyerahkan segala-galanya pada guru. Inilah degradasi yang terjadi saat ini. Agama yang muncul adalah agama pengikut, bukan agama sisya. Makanya, tidak salah jika saat ini banyak berlomba menjadi guru, yogi, pertapa, sadhu guna mendapatkan pengikut sebanyak-banyaknya. Banyak orang mencoba menggunakan peran itu untuk meraih ambisinya. Semakin banyak pengikut, semakin tinggi reputasinya dan semakin dihormati. Miss leading pun terjadi. Bagaimana mungkin orang buta mampu meng-guide orang buta? Hanya kebutaan yang tersisa. Tidak salah jika kemudian kekerasan muncul dari dalam penganut agama dan atas nama agama.
Agama sisya akan diajarkan untuk tidak menjadi sesuatu, menjadi nothing. Membuang sekecil apapun keinginan untuk menjadi sesuatu (something), sebab menjadi sesuatu artinya mengokohkan ego itu sendiri. Orang dengan ego yang kokoh, apapun peran yang dilakoninya tidak akan memiliki kesucian diri. Jika kesucian itu tidak ada, maka Realisasi Diri tidak mungkin terjadi. Jika tidak realisasi diri, maka manusia baru tidak akan pernah lahir. Oleh karena itu, dalam agama sisya, guru selalu dan senantiasa mengawasi ego muridnya dari berbagai sisi, sebelum akhirnya lenyap. Guru selalu membuat sebuah kondisi yang selalu bertentangan dengan kehendak murid guna melepaskan ego muridnya. Setiap saat guru mengetesnya dengan berbagai cara. Satu hal yang paling penting dalam mengetes murid dalam tradisi perguruan adalah bukan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan, melainkan membuat pertanyaan-pertanyaan.
Perkembangan seorang sisya akan mudah dikenali, mudah diukur dari jenis pertanyaan yang dihadirkannya. Ini sangat menarik, sebab jika ujian diberikan dengan jalan memberikan pertanyaan, maka sisya akan dengan mudah menjawabnya karena itu muncul dari memorinya. Sepanjang memori orang baik, maka apapun yang dipelajarinya akan mudah diingatnya. Namun ini bukanlah sebuah perkembangan spiritual. Tetapi, jika sisya dites dengan cara memunculkan pertanyaan, maka pertanyaan itu tentu muncul dari sebuah perenungan yang mendalam, dari sebuah kontemplasi yang dalam. Keraguan yang ada muncul dari proses pencariannya sendiri. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
1
Komentar