Loloskan 54 Transaksi Bodong, Dirut BPR Ditetapkan Tersangka
Penyidik Dit Reskrimum Polda Bali bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pusat ungkap kasus tindak pidana perbankan yang dilakukan Dirut BPR KS Bali Agung Sedana (BPR KS BAS), Nyoman Supariani.
DENPASAR, NusaBali
Diduga loloskan 54 transaksi bodong bernilai Rp 24,225 miliar, Nyoman Supriani ditetapkan sebagai tersangka.Pengungkapan kasus yang menjerat Dirut BPR KS BAS ini disampaikan Kepala Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan OJK, Irjen Pol Rokhmad Sunanto, didampingi Wakapolda Bali Brigjen Pol I Gede Alit Widana di Denpasar, Rabu (25/4). Irjen Rokhmad Sunanto memaparkan, kasus tindak pidana perbankan ini terungkap berdasarkan hasil investigasi pihak OJK. Dalam investigasinya, OJK menemukan kejanggalan prosedur dalam meloloskan transaksi bernilai puluhan miliar rupiah tersebut.
Karena ditemukan kejanggalan, kemudian dilakukan penyelidikan mendalam. Dari situ, ditemukan bahwa Dirut BPR KS BAS yang juga pemilik saham, menyalahi aturan. Modus operandinya, Diurt BPR KS BAS memerintahkan pegawainya untuk memproses pemberian kredit kepada 54 debitur dengan total nilai Rp24,225 miliar pada periode Maret-Desember 2014, yang prosesnya tidak sesuai dengan prosedur sehingga menyebabkan pencatatan palsu dan tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan perbankan.
“Prosesnya tidak sesuai dengan prosedur, sehingga menyebabkan pencatatan palsu dan tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan perbankan,” jelas Sunanto saat memberikan siaran pers di Mapolda Bali, Jalan WR Supratman Denpasar, Rabu kemarin.
Dirut BPR KS BAS Nyoman Supariani dinyatakan bekerja sama dengan pria berinisial JAL, yang merupakan Dirut PT Indonesia Human Support Corporate (IHSC)---sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja. Sunanto mengatakan, para nasabah yang tidak bisa membayar sejumlah uang untuk pemberangkatan ke Jepang oleh PT IHSC diminta untuk menyerahkan sertifikat yang akan dijaminkan ke BPR KS BAS, buat mendapatkan kredit pinjaman sesuai luas tanah yang dimiliki.
Namun, dalam prosesnya, pihak BPR KS BAS justru sudah mencairkan dana Rp 24,225 miliar dengan menggunakan agunan sertifikat milik 54 korban yang justru tidak jadi diberangkatkan ke Jepang. "Kami sudah melakukan pemeriksaan terhadap 25 saksi, termasuk pegawai BPR KS BAS, notaris, debitur, pemilik, staf PT IHSC, dan dua orang ahli internal OJK dari Fakultas Hukum Unud," tandas Sunanto.
Atas temuan itu, OJK kemudian mengeluarkan surat pencabutan izin operasio-nal BPR KS BAS melalui Dewan Komisioner dengan nomor KEP-202/D.03/-2017. BPR yang beralamat di Jalan Raya Kerobokan Nomor 15 Z Kuta Utara, Badung ini pun stop operasioal terhitung sejak 3 November 2017 lalu. Sedangkan Dirutnya, Nyoman Supariani, ditetapkan sebagai tersangka.
Meski sandang status tersangka, namun Nyoman Supariani tidak ditahan dan prosesnya saat ini sudah sampai ke meja pengadilan. “Karena batas waktu 180 hari untuk penyehatan terhadap bank tidak terpenuhi, makanyan kita cabut izinnya (BPR BAS, Red),” terang Jenderal Polisi Bintang Dua ini.
Sementara itu, Wakapolda Bali Brigjen Gede Alit Widana menerangkan bahwa kasus yang ditangani oleh OJK ini sejatinya ada keterkaitan dengan laporan yang masuk ke Polda Bali. Menurut Alkit Widana, ada dua pelapor dalam satu laporan bernomor LP/97/III/2018/Bali/SPKT tanggal 14 Maret 2018. Dua pelapor yang notabene calon TKI yang jadi korban itu masing-masing Kadek Septian Dwi Cahyadi dan I Putu Arnawa.
Dalam laporannya, terungkap sertifikat tanah untuk jaminan keberangkatan mereka ke Jepang sebagai TKI melalui perusahaan penyalur tenaga kerja yakni PT IHS di Jalan Pulau Moyo Gang Merpati nomor 8 Denpasar, telah serahkan ke perusahaan yang dipimpin JAL. Oleh JAL, sertifikat tanah mereka digadaikan ke BPR KS BAS dan uangnya digunakan untuk keperluan keberangkatan dan pelatihan para calon TKI bersangkutan.
“Jadi, si JAL ini menyarankan korban untuk menyerahkan sertifikat tanah, kalau tidak memiliki uang sebagai syarat keberangkatan ke Jepang sebagai TKI. Karena menurut JAL, ada sejumlah pengeluaran yang akan dikenakan kepada calon TKI dengan kisaran Rp 40 juta hingga Rp 60 juta. Tapi, pada dasarnya, sertifikat yang dijaminkan di BPR itu di atas nominal yang ditentukan tersebut,” ungkap Alit Widana.
Dalam perjanjian antara JAL dan calon TKI itu, tertuang bahwa jika tidak jadi diberangkatkan ke Jepang, maka uang jaminan dan uang pelatihan akan dikembalikan secara utuh. Tapi, kenyataannya hingga saat ini uang tersebut belum dikembalikan. Sedangkan sertifikat 54 debitur bernilai total Rp 24,225 miliar masih berada di BPR BAS yang operasionalnya sudah dibekukan oleh OJK.
Menurut Alit Widana, penyidik Dit Reskrimum Polda Bali masih mendalami keterangan 10 saksi untuk menetapkan JAL sebagai tersangka. “Saat ini, status JAL masih sebagai terlapor. Kita masih kembangkan karena dokumen lain untuk menaikkan statusnya masih dugunakan oleh OJK dalam perkara Dirut BPR BAS di pengadilan. Dalam waktu dekat, kita akan meminta dokumen untuk melengkapi alat bukti untuk penentapan tersangka,” katanya. *dar
Diduga loloskan 54 transaksi bodong bernilai Rp 24,225 miliar, Nyoman Supriani ditetapkan sebagai tersangka.Pengungkapan kasus yang menjerat Dirut BPR KS BAS ini disampaikan Kepala Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan OJK, Irjen Pol Rokhmad Sunanto, didampingi Wakapolda Bali Brigjen Pol I Gede Alit Widana di Denpasar, Rabu (25/4). Irjen Rokhmad Sunanto memaparkan, kasus tindak pidana perbankan ini terungkap berdasarkan hasil investigasi pihak OJK. Dalam investigasinya, OJK menemukan kejanggalan prosedur dalam meloloskan transaksi bernilai puluhan miliar rupiah tersebut.
Karena ditemukan kejanggalan, kemudian dilakukan penyelidikan mendalam. Dari situ, ditemukan bahwa Dirut BPR KS BAS yang juga pemilik saham, menyalahi aturan. Modus operandinya, Diurt BPR KS BAS memerintahkan pegawainya untuk memproses pemberian kredit kepada 54 debitur dengan total nilai Rp24,225 miliar pada periode Maret-Desember 2014, yang prosesnya tidak sesuai dengan prosedur sehingga menyebabkan pencatatan palsu dan tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan perbankan.
“Prosesnya tidak sesuai dengan prosedur, sehingga menyebabkan pencatatan palsu dan tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan perbankan,” jelas Sunanto saat memberikan siaran pers di Mapolda Bali, Jalan WR Supratman Denpasar, Rabu kemarin.
Dirut BPR KS BAS Nyoman Supariani dinyatakan bekerja sama dengan pria berinisial JAL, yang merupakan Dirut PT Indonesia Human Support Corporate (IHSC)---sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja. Sunanto mengatakan, para nasabah yang tidak bisa membayar sejumlah uang untuk pemberangkatan ke Jepang oleh PT IHSC diminta untuk menyerahkan sertifikat yang akan dijaminkan ke BPR KS BAS, buat mendapatkan kredit pinjaman sesuai luas tanah yang dimiliki.
Namun, dalam prosesnya, pihak BPR KS BAS justru sudah mencairkan dana Rp 24,225 miliar dengan menggunakan agunan sertifikat milik 54 korban yang justru tidak jadi diberangkatkan ke Jepang. "Kami sudah melakukan pemeriksaan terhadap 25 saksi, termasuk pegawai BPR KS BAS, notaris, debitur, pemilik, staf PT IHSC, dan dua orang ahli internal OJK dari Fakultas Hukum Unud," tandas Sunanto.
Atas temuan itu, OJK kemudian mengeluarkan surat pencabutan izin operasio-nal BPR KS BAS melalui Dewan Komisioner dengan nomor KEP-202/D.03/-2017. BPR yang beralamat di Jalan Raya Kerobokan Nomor 15 Z Kuta Utara, Badung ini pun stop operasioal terhitung sejak 3 November 2017 lalu. Sedangkan Dirutnya, Nyoman Supariani, ditetapkan sebagai tersangka.
Meski sandang status tersangka, namun Nyoman Supariani tidak ditahan dan prosesnya saat ini sudah sampai ke meja pengadilan. “Karena batas waktu 180 hari untuk penyehatan terhadap bank tidak terpenuhi, makanyan kita cabut izinnya (BPR BAS, Red),” terang Jenderal Polisi Bintang Dua ini.
Sementara itu, Wakapolda Bali Brigjen Gede Alit Widana menerangkan bahwa kasus yang ditangani oleh OJK ini sejatinya ada keterkaitan dengan laporan yang masuk ke Polda Bali. Menurut Alkit Widana, ada dua pelapor dalam satu laporan bernomor LP/97/III/2018/Bali/SPKT tanggal 14 Maret 2018. Dua pelapor yang notabene calon TKI yang jadi korban itu masing-masing Kadek Septian Dwi Cahyadi dan I Putu Arnawa.
Dalam laporannya, terungkap sertifikat tanah untuk jaminan keberangkatan mereka ke Jepang sebagai TKI melalui perusahaan penyalur tenaga kerja yakni PT IHS di Jalan Pulau Moyo Gang Merpati nomor 8 Denpasar, telah serahkan ke perusahaan yang dipimpin JAL. Oleh JAL, sertifikat tanah mereka digadaikan ke BPR KS BAS dan uangnya digunakan untuk keperluan keberangkatan dan pelatihan para calon TKI bersangkutan.
“Jadi, si JAL ini menyarankan korban untuk menyerahkan sertifikat tanah, kalau tidak memiliki uang sebagai syarat keberangkatan ke Jepang sebagai TKI. Karena menurut JAL, ada sejumlah pengeluaran yang akan dikenakan kepada calon TKI dengan kisaran Rp 40 juta hingga Rp 60 juta. Tapi, pada dasarnya, sertifikat yang dijaminkan di BPR itu di atas nominal yang ditentukan tersebut,” ungkap Alit Widana.
Dalam perjanjian antara JAL dan calon TKI itu, tertuang bahwa jika tidak jadi diberangkatkan ke Jepang, maka uang jaminan dan uang pelatihan akan dikembalikan secara utuh. Tapi, kenyataannya hingga saat ini uang tersebut belum dikembalikan. Sedangkan sertifikat 54 debitur bernilai total Rp 24,225 miliar masih berada di BPR BAS yang operasionalnya sudah dibekukan oleh OJK.
Menurut Alit Widana, penyidik Dit Reskrimum Polda Bali masih mendalami keterangan 10 saksi untuk menetapkan JAL sebagai tersangka. “Saat ini, status JAL masih sebagai terlapor. Kita masih kembangkan karena dokumen lain untuk menaikkan statusnya masih dugunakan oleh OJK dalam perkara Dirut BPR BAS di pengadilan. Dalam waktu dekat, kita akan meminta dokumen untuk melengkapi alat bukti untuk penentapan tersangka,” katanya. *dar
Komentar