Waktu Bali Bule Belgia
Banyak orang Eropa dan Amerika yang ingin menghabiskan hari tua di Bali.
Beberapa di antara mereka bahkan ada yang ingin sekalian saja mati di Bali. Menurut mereka mendapatkan kebahagiaan di Bali itu sangat mudah. Jika sehari-hari hidup bahagia, tentu mati pun bisa dicapai dengan damai. Mati di Bali itu sama artinya dengan wafat di surga. Bukankah Bali itu pulau surga?
Salah seorang bule yang menghabiskan hari tua di Bali adalah Robin Hazard, orang Belgia. Ia tinggal di sebuah bungalo di Sanur, dan selalu bercerita kepada siapa pun juga, hanya Bali yang bisa memberinya ketenangan.
“Silakan orang-orang memburu kesenangan dengan piknik ke seluruh dunia, tapi hanya Bali yang sanggup memberi ketenangan. Kesenangan ada di mana-mana, tapi ketenangan hanya bisa ditemui di Bali,” komentar Robin.
Pasti Robin punya alasan mengapa Bali memberinya ketenangan dan kedamaian. Salah satu alasan itu adalah, karena orang Bali sehari-hari tidak terlampau direpotkan oleh waktu. Orang Bali itu, bagi Robin, sangat santai. “Tak pernah saya melihat orang Bali yang terburu-buru,” ujarnya kepada Jurgen Barlach rekannya, orang Jerman. “Kamu mungkin ganjil melihat orang Bali santai, seperti tidak menghargai waktu. “Justru mereka tidak mau diatur oleh waktu, karena mereka tak ingin menjadikan waktu sebagai sumber ketegangan.”
Robin berkisah, suatu hari pintunya diketuk Wayan Turun, karyawan hotel, memberi tahu ada peristiwa menarik yang sangat sayang kalau tidak disaksikan oleh Robin. “Tuan beruntung tinggal di penginapan kami,” ujar Turun.
“Memangnya kenapa?” tanya Robin.
Wayan Turun bilang, akan diselenggarakan upacara mlaspas untuk tambahan enam bungalo baru. Upacara itu akan diselenggarakan dua pekan lagi. Akan ada pemujaan oleh pendeta, tari-tarian, dan sembahyang yang sangat khusyuk dan sakral. Semua akan berlangsung meriah dan mentakjubkan.
Beberapa hari menjelang upacara, kesibukan sudah sangat terasa. Robin diberi kabar, di hari H upacara dimulai pukul 8 pagi. Robin sudah bersiap setengah jam sebelumnya. Ia heran orang-orang sudah siaga sejak pukul 5 pagi. Dini hari Robin bahkan sudah mendengar suara-suara orang bergegas mempersiapkan sesaji.
Lewat pukul 8 upacara belum dimulai. Orang-orang, tamu undangan, semakin ramai. Mereka yang menunggu kian banyak. Lewat sejam, belum juga ada tanda-tanda upacara dimulai. Orang-orang sibuk bercakap-cakap satu sama lain. Gamelan ditabuh berulang-ulang. Para penabuh sudah berkali-kali minum kopi dan penganan.
Hampir pukul sembilan, belum juga ada tanda-tanda upacara dimulai. Setengah 10 Robin bertanya pada Wayan Turun, mengapa belum juga acara dimulai. “Ini sudah terlambat dua jam.”
“Oooo.... iya... iya... Pendeta yang akan muput upacara belum datang. Masih sibuk di tempat lain,” ujar Wayan melengos santai, bergegas ke dapur mengambil sajian buat tamu-tamu.
Upacara baru dimulai satu setengah jam kemudian, selesai selepas pukul 12, tamu dan undangan dipersilakan santap siang. Ada masakan Eropa, Indonesia, dan Bali. Tentu ada betutu ayam dan babi guling.
Robin sangat berkesan akan peristiwa upacara yang molor itu. Ia heran, tak seorang pun marah, tak ada yang gusar, bebas keluhan, semua yang hadir tertawa-tawa bercanda berbincang menunggu pendeta datang. Tak ada yang gelisah. “Alangkah sabar orang Bali menghadapi waktu,” ujar orang Belgia itu kepada temannya Jurgen, orang Jerman.
Saat lain, ketika dia transit di Jakarta dari Belgia menuju Bali, pesawat delay empat jam. Robin kesal, marah, tapi ia melihat satu keluarga Bali tersenyum-senyum. Mereka sibuk main gadget. Robin mendekati si bapak. “Pesawat kita delay, you kok bisa senyum-senyum.”
“Terus, apa yang mesti aku lakukan?” tanya si bapak.
“Ya seperti saya, marah ke petugas, protes.”
“Apa untungnya jika kita marah?” tanya si bapak.
Robin manggut-manggut, tersenyum, menjabat tangan bapak itu. Maka ia berkabar kepada Jurgen, “Orang Bali itu sangat hebat menghadapi waktu. Semua orang bertarung dengan waktu, seperti bermusuhan. Kalau orang Bali itu bersahabat dengan waktu. Ayo, tinggal di Bali saja. Di pulau ini tenang, tak perlu buru-buru.”
Tentu Robin belum tahu, orang Bali tak buru-buru kalau menjalankan upacara adat dan agama. Mereka buru-buru kalau menjual tanah untuk biaya upacara itu. *
Aryantha Soethama
Pengarang
Salah seorang bule yang menghabiskan hari tua di Bali adalah Robin Hazard, orang Belgia. Ia tinggal di sebuah bungalo di Sanur, dan selalu bercerita kepada siapa pun juga, hanya Bali yang bisa memberinya ketenangan.
“Silakan orang-orang memburu kesenangan dengan piknik ke seluruh dunia, tapi hanya Bali yang sanggup memberi ketenangan. Kesenangan ada di mana-mana, tapi ketenangan hanya bisa ditemui di Bali,” komentar Robin.
Pasti Robin punya alasan mengapa Bali memberinya ketenangan dan kedamaian. Salah satu alasan itu adalah, karena orang Bali sehari-hari tidak terlampau direpotkan oleh waktu. Orang Bali itu, bagi Robin, sangat santai. “Tak pernah saya melihat orang Bali yang terburu-buru,” ujarnya kepada Jurgen Barlach rekannya, orang Jerman. “Kamu mungkin ganjil melihat orang Bali santai, seperti tidak menghargai waktu. “Justru mereka tidak mau diatur oleh waktu, karena mereka tak ingin menjadikan waktu sebagai sumber ketegangan.”
Robin berkisah, suatu hari pintunya diketuk Wayan Turun, karyawan hotel, memberi tahu ada peristiwa menarik yang sangat sayang kalau tidak disaksikan oleh Robin. “Tuan beruntung tinggal di penginapan kami,” ujar Turun.
“Memangnya kenapa?” tanya Robin.
Wayan Turun bilang, akan diselenggarakan upacara mlaspas untuk tambahan enam bungalo baru. Upacara itu akan diselenggarakan dua pekan lagi. Akan ada pemujaan oleh pendeta, tari-tarian, dan sembahyang yang sangat khusyuk dan sakral. Semua akan berlangsung meriah dan mentakjubkan.
Beberapa hari menjelang upacara, kesibukan sudah sangat terasa. Robin diberi kabar, di hari H upacara dimulai pukul 8 pagi. Robin sudah bersiap setengah jam sebelumnya. Ia heran orang-orang sudah siaga sejak pukul 5 pagi. Dini hari Robin bahkan sudah mendengar suara-suara orang bergegas mempersiapkan sesaji.
Lewat pukul 8 upacara belum dimulai. Orang-orang, tamu undangan, semakin ramai. Mereka yang menunggu kian banyak. Lewat sejam, belum juga ada tanda-tanda upacara dimulai. Orang-orang sibuk bercakap-cakap satu sama lain. Gamelan ditabuh berulang-ulang. Para penabuh sudah berkali-kali minum kopi dan penganan.
Hampir pukul sembilan, belum juga ada tanda-tanda upacara dimulai. Setengah 10 Robin bertanya pada Wayan Turun, mengapa belum juga acara dimulai. “Ini sudah terlambat dua jam.”
“Oooo.... iya... iya... Pendeta yang akan muput upacara belum datang. Masih sibuk di tempat lain,” ujar Wayan melengos santai, bergegas ke dapur mengambil sajian buat tamu-tamu.
Upacara baru dimulai satu setengah jam kemudian, selesai selepas pukul 12, tamu dan undangan dipersilakan santap siang. Ada masakan Eropa, Indonesia, dan Bali. Tentu ada betutu ayam dan babi guling.
Robin sangat berkesan akan peristiwa upacara yang molor itu. Ia heran, tak seorang pun marah, tak ada yang gusar, bebas keluhan, semua yang hadir tertawa-tawa bercanda berbincang menunggu pendeta datang. Tak ada yang gelisah. “Alangkah sabar orang Bali menghadapi waktu,” ujar orang Belgia itu kepada temannya Jurgen, orang Jerman.
Saat lain, ketika dia transit di Jakarta dari Belgia menuju Bali, pesawat delay empat jam. Robin kesal, marah, tapi ia melihat satu keluarga Bali tersenyum-senyum. Mereka sibuk main gadget. Robin mendekati si bapak. “Pesawat kita delay, you kok bisa senyum-senyum.”
“Terus, apa yang mesti aku lakukan?” tanya si bapak.
“Ya seperti saya, marah ke petugas, protes.”
“Apa untungnya jika kita marah?” tanya si bapak.
Robin manggut-manggut, tersenyum, menjabat tangan bapak itu. Maka ia berkabar kepada Jurgen, “Orang Bali itu sangat hebat menghadapi waktu. Semua orang bertarung dengan waktu, seperti bermusuhan. Kalau orang Bali itu bersahabat dengan waktu. Ayo, tinggal di Bali saja. Di pulau ini tenang, tak perlu buru-buru.”
Tentu Robin belum tahu, orang Bali tak buru-buru kalau menjalankan upacara adat dan agama. Mereka buru-buru kalau menjual tanah untuk biaya upacara itu. *
Aryantha Soethama
Pengarang
Komentar