MUTIARA WEDA : Demokrasi Keyakinan
Banyak aku memberikan ilmu pengetahuan kepada para dewata semua, karena yoni itu banyak yang menjadi dasar kelahiran.
Matangyan makweh dengku paweh aji I sang watek dewata kabeh,
sangka yan akweh ikang yoni sangkaning mangdadi
(Wrhaspatitattwa, 3)
SUATU ketika Bhagawan Wrhaspati bertanya kepada Bhatara, mengapa ada banyak ajaran di dunia, ada Saiva, Pasupata, Alepaka, dan yang lainnya. Apa yang menyebabkan banyak ada jalan, dan sastranya pun menjadi sangat banyak dan beraneka ragam. Menanggapi pertanyaan tersebut, Bhatara mengatakan bahwa dasar dari semua itu adalah karena yoni atau bakat lahir manusia berbeda-beda. Yoni yang berbeda sebagai akibat dari karma wasananya masing-masing. Setiap orang membawa karmanya sendiri-sendiri sehingga tampak berbeda antara kelahiran satu dengan yang lainnya. Perbedaan karma wasana (bekal karma masa lalu) juga berakibat pada perbedaan cara dalam menghadapi kehidupan. Cara hidup yang berbeda ini memerlukan juga sastra yang berbeda menyesuaikan dengan bakatnya masing-masing.
Dari pandangan di atas maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa sejak zaman dulu para penganut sanatana dharma sudah menerapkan pola demokrasi di dalam berkeyakinan. Mereka tidak pernah melihat bahwa keyakinan orang lain lebih jelek atau sebaliknya. Mereka melihat perbedaan itu hanya sebagai sebuah bentuk saja, sementara tujuan yang hendak dicapai tetap sama. Mereka tidak pernah melihat kualitas dari bentuk keyakinannya, melainkan terletak pada bagaimana orang melakoni dan menjalankan keyakinannya tersebut. Kualitas terletak pada totalitas di dalam keyakinannya, bukan pada bentuk keyakinannya itu.
Perbedaan keyakinan atau perbedaan jalan hanya masalah kecocokan saja. Seperti halnya gaya rambut, semua gaya itu baik, tetapi tidak semua orang cocok dengan semua gaya tersebut. Yang diperlukan adalah kecocokannya. Bentuk muka tertentu akan menjadi tampak bagus hanya ketika memakai gaya rambut tertentu pula. Demikian seterusnya. Orang yang memiliki paham Saiwa belum tentu lebih baik daripada orang yang mengikuti paham Pasupata, demikian yang lainnya. Antara Saiwa dan Pasupata kelihatan berbeda dari bentuknya, tetapi bukan intinya. Teks ini ingin mengajak semua orang untuk menyadari bahwa perbedaan keyakinan bukanlah sebuah masalah di dalam kehidupan. Selera yang berbeda, cara berpikir yang berbeda, dan ekspresi yang berbeda memerlukan sarana yang berbeda. Keyakinan hanya sebuah sarana untuk mencapai inti.
Tetapi mengapa sekarang banyak yang menyatakan bahwa keyakinannya lebih tinggi ketimbang keyakinan orang lain? Kenapa demokrasi berkeyakinan semakin menipis? Apa yang terjadi dengan itu semua? Bukankah teks seperti ini sudah sejak lama dibuat, tetapi mengapa sekarang seolah tidak mendapatkan roh sedikit pun dari teks ini? Dimana letak kekeliruannya? Secara pasti kita tidak bisa menebak apa yang terjadi sebenarnya. Semestinya, semakin tua ajaran, tentu ia semakin mengkarat pada diri setiap orang, tetapi mengapa justru sebaliknya? Semakin mudah akses informasi, maka semakin mudah pula sebenarnya mengakses berbagai jenis pengetahuan, sehingga lebih mudah belajar. Tetapi, ternyata, kemudahan orang di dalam menyerap informasi tidak serta merta menjadikan orang bijaksana dan mengerti benar atas apa yang sedang dipelajarinya. Akses informasi tidak serta merta membuat orang menjadi dewasa. Mereka hanya sanggup mengkoleksi banyak informasi tanpa harus tahu berbuat apa, dan bahkan justru informasi tersebut bisa menjerumuskannya?
Atas semua permasalahan tersebut, banyak orang suci akhirnya berkesimpulan bahwa peradaban manusia dari zaman ke zaman tidak pernah berubah, mereka akan mengulang-ulang kejadian yang sama. Yang membedakan mereka dari zaman ke zaman hanyalah masalah alat bantu kehidupan mereka, tetapi bukan kesadarannya. Sejak zaman dulu, perang antar-sesama tetaplah perang. Yang berbeda, dulu menggunakan pedang, tompak dan panah, sementara sekarang menggunakan senapan, bom, dan rudal. Kemarahan yang mengalir di dalam nadi tetap sama. Kemarahan di zaman dulu dengan di zaman sekarang tetap sama, tidak ada perbedaan sama sekali. Bahkan disinyalir, kemarahan itu sekarang ini lebih parah dibandingkan di masa lalu. Ini menandakan perkembangan peradaban tidak sebanding dengan perkembangan kesadaran manusia. Tetapi, bagaimana pun itu, sebagai makhluk yang memiliki kesadaran, mengingatkan kembali dengan mempopulerkan teks seperti di atas memang terus patut dilaksanakan, walaupun kita tidak pernah tahu pasti seberapa besar pengaruhnya. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
sangka yan akweh ikang yoni sangkaning mangdadi
(Wrhaspatitattwa, 3)
SUATU ketika Bhagawan Wrhaspati bertanya kepada Bhatara, mengapa ada banyak ajaran di dunia, ada Saiva, Pasupata, Alepaka, dan yang lainnya. Apa yang menyebabkan banyak ada jalan, dan sastranya pun menjadi sangat banyak dan beraneka ragam. Menanggapi pertanyaan tersebut, Bhatara mengatakan bahwa dasar dari semua itu adalah karena yoni atau bakat lahir manusia berbeda-beda. Yoni yang berbeda sebagai akibat dari karma wasananya masing-masing. Setiap orang membawa karmanya sendiri-sendiri sehingga tampak berbeda antara kelahiran satu dengan yang lainnya. Perbedaan karma wasana (bekal karma masa lalu) juga berakibat pada perbedaan cara dalam menghadapi kehidupan. Cara hidup yang berbeda ini memerlukan juga sastra yang berbeda menyesuaikan dengan bakatnya masing-masing.
Dari pandangan di atas maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa sejak zaman dulu para penganut sanatana dharma sudah menerapkan pola demokrasi di dalam berkeyakinan. Mereka tidak pernah melihat bahwa keyakinan orang lain lebih jelek atau sebaliknya. Mereka melihat perbedaan itu hanya sebagai sebuah bentuk saja, sementara tujuan yang hendak dicapai tetap sama. Mereka tidak pernah melihat kualitas dari bentuk keyakinannya, melainkan terletak pada bagaimana orang melakoni dan menjalankan keyakinannya tersebut. Kualitas terletak pada totalitas di dalam keyakinannya, bukan pada bentuk keyakinannya itu.
Perbedaan keyakinan atau perbedaan jalan hanya masalah kecocokan saja. Seperti halnya gaya rambut, semua gaya itu baik, tetapi tidak semua orang cocok dengan semua gaya tersebut. Yang diperlukan adalah kecocokannya. Bentuk muka tertentu akan menjadi tampak bagus hanya ketika memakai gaya rambut tertentu pula. Demikian seterusnya. Orang yang memiliki paham Saiwa belum tentu lebih baik daripada orang yang mengikuti paham Pasupata, demikian yang lainnya. Antara Saiwa dan Pasupata kelihatan berbeda dari bentuknya, tetapi bukan intinya. Teks ini ingin mengajak semua orang untuk menyadari bahwa perbedaan keyakinan bukanlah sebuah masalah di dalam kehidupan. Selera yang berbeda, cara berpikir yang berbeda, dan ekspresi yang berbeda memerlukan sarana yang berbeda. Keyakinan hanya sebuah sarana untuk mencapai inti.
Tetapi mengapa sekarang banyak yang menyatakan bahwa keyakinannya lebih tinggi ketimbang keyakinan orang lain? Kenapa demokrasi berkeyakinan semakin menipis? Apa yang terjadi dengan itu semua? Bukankah teks seperti ini sudah sejak lama dibuat, tetapi mengapa sekarang seolah tidak mendapatkan roh sedikit pun dari teks ini? Dimana letak kekeliruannya? Secara pasti kita tidak bisa menebak apa yang terjadi sebenarnya. Semestinya, semakin tua ajaran, tentu ia semakin mengkarat pada diri setiap orang, tetapi mengapa justru sebaliknya? Semakin mudah akses informasi, maka semakin mudah pula sebenarnya mengakses berbagai jenis pengetahuan, sehingga lebih mudah belajar. Tetapi, ternyata, kemudahan orang di dalam menyerap informasi tidak serta merta menjadikan orang bijaksana dan mengerti benar atas apa yang sedang dipelajarinya. Akses informasi tidak serta merta membuat orang menjadi dewasa. Mereka hanya sanggup mengkoleksi banyak informasi tanpa harus tahu berbuat apa, dan bahkan justru informasi tersebut bisa menjerumuskannya?
Atas semua permasalahan tersebut, banyak orang suci akhirnya berkesimpulan bahwa peradaban manusia dari zaman ke zaman tidak pernah berubah, mereka akan mengulang-ulang kejadian yang sama. Yang membedakan mereka dari zaman ke zaman hanyalah masalah alat bantu kehidupan mereka, tetapi bukan kesadarannya. Sejak zaman dulu, perang antar-sesama tetaplah perang. Yang berbeda, dulu menggunakan pedang, tompak dan panah, sementara sekarang menggunakan senapan, bom, dan rudal. Kemarahan yang mengalir di dalam nadi tetap sama. Kemarahan di zaman dulu dengan di zaman sekarang tetap sama, tidak ada perbedaan sama sekali. Bahkan disinyalir, kemarahan itu sekarang ini lebih parah dibandingkan di masa lalu. Ini menandakan perkembangan peradaban tidak sebanding dengan perkembangan kesadaran manusia. Tetapi, bagaimana pun itu, sebagai makhluk yang memiliki kesadaran, mengingatkan kembali dengan mempopulerkan teks seperti di atas memang terus patut dilaksanakan, walaupun kita tidak pernah tahu pasti seberapa besar pengaruhnya. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
1
Komentar