Meneruskan Lagi Ajaran Pendidikan Karakter Ki Hajar Dewantara di Bali
Menurut Ki Dewangkara, Taman Siswa Bali yang didirikan kembali tahun 2018 ini tetap fokus seperti ajaran Ki Hajar Dewantara, yakni pendidikan karakter yang banyak memuat nilai-nilai ke-Pancasila-an, Binneka Tunggal Ika, dan Kebangsaan kepada generasi muda sejak dini
Gerakan Taman Siswa Muncul Kembali di Bali dengan Dipimpin Cucu dari Ki Hajar Dewantara
DENPASAR, NusaBali
Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), 2 Mei 2018, di Bali agak spesial dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, sebelum peringatan Hardiknas tahun ini, sudah hadir Taman Siswa, gerakan pendidikan yang dulu dirintis Ki Hajar Dewantara. Taman Siswa versi baru di Bali ini dipimpin oleh Ki Dewangkara, 61, yang merupakan cucu ke-6 dari Ki Hajar Dewantara.
Hardiknas yang diperingati setahun sekali setiap tanggal 2 Mei, memang tidak terlepas dari tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Pada 1922 Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa sebagai Lembaga Pendidikan dan Kebudayaan Nasional Kebangsaan Multikultur. Bahkan, hingga Ki Hajar Dewantara wafat pada 26 April 1959, konsep Taman Siswa tetap diwariskan.
Berdasarkan catatan sejarah, Taman Siswa pernah didirikan di Bali tahun 1933. Taman Siswa inilah yang banyak melahirkan pejuang kemerdekaan Indonesia di Bali. Tokoh pejuang kemerdekaan yang menonjol, antara lain, almarhum Made Pugeg (menjabat setingkat Komandan Kompi), almarhum Made Wija Kusuma (Dewan Pimpinan Perjuangan Rakyat Bali) yang bermarkas di Monumen Perjuangan Gerakan Bawah Tanah Bangsal Gaji Dalung (Kecamatan kuta Utara, Badung), Bagus Made Wena (tokoh pergerakan Pusat Tenaga Rakyat).
Namun, sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamairkan Bung Karno dan Bung Hatta, Taman Siswa Bali terpaksa tutup sekitar tahun 1943 karena kedatangan penjajah Jepang. Masalahnya, waktu itu para murid dari Taman Siswa diwajibkan mengikuti pelatihan tentara Jepang sebagai pasukan Pembela Tanah Air (Peta).
Setelah berlalu selama 75 tahun, Taman Siswa kembali hadir di Bali pada 2018 ini. Kemunculannya ditandai dengan penetapan Pengurus Majelis Cabang Taman Siswa Provinsi Bali, 31 Maret 2018 lalu. Ki Dewangkara dipercaya menjabat sebagai Ketua Pengurus Majelis Cabang Taman Siswa Provinsi Bali.
Sedangkan Pengurus Majelis Cabang Taman Siswa Bali lainnya adalah Ki Drs I Made Kusumajaya MSi (Wakil Ketua), Nyi Sri Aemi SPd MPd (Panitera), Ki Rahadhian Inu Kertapati SE (Bendahara), Ki Made Lila Arsana SSn (Ketua Bidang Pendidikan dan Kebudayaan), Nyi Made Wamildani SH MSi (istri dari Ki Dewangkara yang menjabat sebagai Ketua Bidang Organisasi dan Pengembangan SDM), Nyi Buratwangi (Ketua Bidang Kekeluargaan Kemasyarakatan), dan Ki I Ketut Sentana SSos (Ketua Bidang Usaha Ekonomi dan Koperasi).
Menurut Ki Dewangkara, pihaknya mendapatkan beberapa referensi tentang Taman Siswa di Bali dari berbagai sumber. Pertama, dari desertasi AA Agung Ngurah Agung (tokoh asal Puri Karangasem). Kedua, buku berjudul ‘Sisi Gelap Pulau Dewata’. Ketiga, pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1957 yang ditemukan di perpustakaan di Jogjakarta oleh ahli sejarah dari UI, yang memuat bahwa revolusi mental Bung Karno itu mengutip dari pendidikan karakter milik Ki Hajar Dewantara.
Ki Hajar Dewantara merupakan mentor Bung Karno menuju Indonesia Merdeka. Revolusi mental pun dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini. “Bahkan, Dewan Pertimbangan Presiden RI beberapa waktu lalu sempat ke Taman Siswa di Jogjakarta. Di sana mereka melakukan dialog pendidikan dan kebudayaan, mencermati pendidikan khas Metode Sariswara ajaran Ki Hajar Dewantara,” ungkap Ki Dewangkara saat dihubungi NusaBali di Denpasar, Selasa (1/5).
Ki Dewangkara memaparkan, setiap tingkatan Taman Siswa memiliki julukan berbeda-beda. Untuk tingkat TK, dinamakan Taman Indria. Untuk tingkat SD, bernama Taman Muda. Sedangkan untuk tingkat SMP, disebut Taman Dewasa. Sementara untuk tingkat SMA disebut Taman Madya (SMK disebut Taman Karya, Red).
“Taman Siswa memiliki panggilan khas. Kalau laki-laki dipanggil Ki, kalau perempuan Nyi, sedangkan yang belum nikah dipanggil Ni. Panggilan ciri khas itu mungkin saja supaya tidak membeda-bedakan strata waktu dulu. Pasalnya, Ki Hajar Dewantara awalnya terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat dari lingkungan keluarga bangsawan Keraton Jogjakarta. Usia 40 tahun, beliau resmi ganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara,” papar tokoh kelahiran Denpasar, 16 Januari 1957 ini.
Ki Dewangkara menyebutkan, Taman Siswa Bali yang didirikan kembali tahun 2018 ini tetap fokus yang sama dengan ajaran Ki Hajar Dewantara, yakni pendidikan karakter dengan metode Pendidikan Sariswara. Metode warisan Ki Hajar Dewantara ini banyak memuat nilai-nilai ke-Pancasila-an, Binneka Tunggal Ika, dan Kebangsaan kepada generasi muda sejak dini. Pendidikan karakter atau character building konsep Ki Hadjar Dewantara ini untuk membina karakter siswa dengan wiraga, wirasa, dan wirama, sebagai puncak budaya daerah.
“Dengan pola pendidikan seperti itu, karakter siswa diharapkan tidak tercerabut dari kodrat akar budaya leluhurnya dan menjadikan manusia memiliki integritas yang berkarakter, berbudi luhur, percaya diri, dan berjiwa merdeka,” ujar Ki Dewangkara memang lahir dan dibesarkan di Bali.
Menurut Ki Dewangkara, saat ini pendidikan di Indonesia sudah krisis pendidikan karakter. Saat bangsa ini mulai krisis kebangsaan, orang mulai melirik Taman Siswa lagi. Bahkan, Dewan Pertimbangan Presiden pun menggali ilmu ke Taman Siswa. Yang terpenting dilakukan sekarang adalah kembali kepada pendidikan karakter, yang disesuaikan dengan kearifan lokal (local genius).
“Saya sebagai keluarga besar Taman Siswa, yang kebetulan merupakan cucu Ki Hajar Dewantara, berpandangan kita harus kembali ke jatidiri kita bahwa pendidikan karakter harus disesuaikan dengan kearifan lokal. Makanya, pendidikan dan kebudayaan itulah sebagai jati diri bangsa,” kata tokoh yang tinggal di Puri Buana II Nomor 24, Jalan Buana Raya Padangsambian, Kecamatan Denpasar Barat ini.
Ki Dewangkara mencontohkan dirinya, yang sewaktu kecil bisa menari baris. “Saya ini orang Jawa, tapi lahir di Bali. Inilah pendidikan karakter yang menyesuaikan dengan kearifan lokal. Sehingga generasi muda Bali tidak tercabut dari akar budaya leluhurnya, jangan sampai lupa dengan orang Bali,” imbuhnya.
Menurut Ki Dewangkara, upayanya membangkitan kembali Taman Siswa di Bali ini didasari oleh panggilan hati dan keprihatinan atas krisis karakter kebangsaan yang belakangan kian terlihat. “Paling tidak, beberapa persen bisa untuk memfilter karakter-karakter generasi muda saat ini.”
Ki Dewangkara sendiri merupakan cucu ke-6 atau cucu laki-laki ke-2 dari Ki Hajar Dewantara. Ki Dewangkara lahir di Bali, karena sang ayah, Ki Subroto Aryo Mataram, menjadi pejuang dan ditugaskan di Bali. Waktu itu, Letkol I Gusti Ngurah Rai ke Jawa untuk dilantik menjadi Komandan Resimen Sunda Kecil oleh Jenderal Sudirman di Jogjakarta, sekaligus mohon dukungan pasukan dan persenjataan.
Selama I Gusti Ngurah Rai berada di Jogjakarta, rombongan ekspedisinya difasilitasi oleh Ki Hajar Dewantara. Mereka juga mendapat wejangan dari Ki Hajar Dewantara. Ayah Ki Dewangkara, yakni Kapten Subroto Aryo Mataram, merupakan putra dari Ki Hajar Dewantara, yang lahir di Den Haag, Belanda, 5 Juni 1917, saat ayahnya diasingkan ke Belanda bersama Dr Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker.
Kapten Subroto Aryo Mataram ditugaskan sebagai Wakil Kepala Staf Resimen Sunda Kecil/Liaison officer (LO) Markas Besar Tentara Keamanan Rakyak (TKR) di Jogjakarta/Kementerian Pertahanan RI di Jogjakarta dengan Resimen Sunda Kecil di Bali dan Nusa Tenggara. Sedangkan Mayor I Gusti Putu Wisnu kala itu menjadi Kepala Staf Resimen Sunda Kecil. *ind
DENPASAR, NusaBali
Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), 2 Mei 2018, di Bali agak spesial dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, sebelum peringatan Hardiknas tahun ini, sudah hadir Taman Siswa, gerakan pendidikan yang dulu dirintis Ki Hajar Dewantara. Taman Siswa versi baru di Bali ini dipimpin oleh Ki Dewangkara, 61, yang merupakan cucu ke-6 dari Ki Hajar Dewantara.
Hardiknas yang diperingati setahun sekali setiap tanggal 2 Mei, memang tidak terlepas dari tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Pada 1922 Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa sebagai Lembaga Pendidikan dan Kebudayaan Nasional Kebangsaan Multikultur. Bahkan, hingga Ki Hajar Dewantara wafat pada 26 April 1959, konsep Taman Siswa tetap diwariskan.
Berdasarkan catatan sejarah, Taman Siswa pernah didirikan di Bali tahun 1933. Taman Siswa inilah yang banyak melahirkan pejuang kemerdekaan Indonesia di Bali. Tokoh pejuang kemerdekaan yang menonjol, antara lain, almarhum Made Pugeg (menjabat setingkat Komandan Kompi), almarhum Made Wija Kusuma (Dewan Pimpinan Perjuangan Rakyat Bali) yang bermarkas di Monumen Perjuangan Gerakan Bawah Tanah Bangsal Gaji Dalung (Kecamatan kuta Utara, Badung), Bagus Made Wena (tokoh pergerakan Pusat Tenaga Rakyat).
Namun, sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamairkan Bung Karno dan Bung Hatta, Taman Siswa Bali terpaksa tutup sekitar tahun 1943 karena kedatangan penjajah Jepang. Masalahnya, waktu itu para murid dari Taman Siswa diwajibkan mengikuti pelatihan tentara Jepang sebagai pasukan Pembela Tanah Air (Peta).
Setelah berlalu selama 75 tahun, Taman Siswa kembali hadir di Bali pada 2018 ini. Kemunculannya ditandai dengan penetapan Pengurus Majelis Cabang Taman Siswa Provinsi Bali, 31 Maret 2018 lalu. Ki Dewangkara dipercaya menjabat sebagai Ketua Pengurus Majelis Cabang Taman Siswa Provinsi Bali.
Sedangkan Pengurus Majelis Cabang Taman Siswa Bali lainnya adalah Ki Drs I Made Kusumajaya MSi (Wakil Ketua), Nyi Sri Aemi SPd MPd (Panitera), Ki Rahadhian Inu Kertapati SE (Bendahara), Ki Made Lila Arsana SSn (Ketua Bidang Pendidikan dan Kebudayaan), Nyi Made Wamildani SH MSi (istri dari Ki Dewangkara yang menjabat sebagai Ketua Bidang Organisasi dan Pengembangan SDM), Nyi Buratwangi (Ketua Bidang Kekeluargaan Kemasyarakatan), dan Ki I Ketut Sentana SSos (Ketua Bidang Usaha Ekonomi dan Koperasi).
Menurut Ki Dewangkara, pihaknya mendapatkan beberapa referensi tentang Taman Siswa di Bali dari berbagai sumber. Pertama, dari desertasi AA Agung Ngurah Agung (tokoh asal Puri Karangasem). Kedua, buku berjudul ‘Sisi Gelap Pulau Dewata’. Ketiga, pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1957 yang ditemukan di perpustakaan di Jogjakarta oleh ahli sejarah dari UI, yang memuat bahwa revolusi mental Bung Karno itu mengutip dari pendidikan karakter milik Ki Hajar Dewantara.
Ki Hajar Dewantara merupakan mentor Bung Karno menuju Indonesia Merdeka. Revolusi mental pun dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini. “Bahkan, Dewan Pertimbangan Presiden RI beberapa waktu lalu sempat ke Taman Siswa di Jogjakarta. Di sana mereka melakukan dialog pendidikan dan kebudayaan, mencermati pendidikan khas Metode Sariswara ajaran Ki Hajar Dewantara,” ungkap Ki Dewangkara saat dihubungi NusaBali di Denpasar, Selasa (1/5).
Ki Dewangkara memaparkan, setiap tingkatan Taman Siswa memiliki julukan berbeda-beda. Untuk tingkat TK, dinamakan Taman Indria. Untuk tingkat SD, bernama Taman Muda. Sedangkan untuk tingkat SMP, disebut Taman Dewasa. Sementara untuk tingkat SMA disebut Taman Madya (SMK disebut Taman Karya, Red).
“Taman Siswa memiliki panggilan khas. Kalau laki-laki dipanggil Ki, kalau perempuan Nyi, sedangkan yang belum nikah dipanggil Ni. Panggilan ciri khas itu mungkin saja supaya tidak membeda-bedakan strata waktu dulu. Pasalnya, Ki Hajar Dewantara awalnya terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat dari lingkungan keluarga bangsawan Keraton Jogjakarta. Usia 40 tahun, beliau resmi ganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara,” papar tokoh kelahiran Denpasar, 16 Januari 1957 ini.
Ki Dewangkara menyebutkan, Taman Siswa Bali yang didirikan kembali tahun 2018 ini tetap fokus yang sama dengan ajaran Ki Hajar Dewantara, yakni pendidikan karakter dengan metode Pendidikan Sariswara. Metode warisan Ki Hajar Dewantara ini banyak memuat nilai-nilai ke-Pancasila-an, Binneka Tunggal Ika, dan Kebangsaan kepada generasi muda sejak dini. Pendidikan karakter atau character building konsep Ki Hadjar Dewantara ini untuk membina karakter siswa dengan wiraga, wirasa, dan wirama, sebagai puncak budaya daerah.
“Dengan pola pendidikan seperti itu, karakter siswa diharapkan tidak tercerabut dari kodrat akar budaya leluhurnya dan menjadikan manusia memiliki integritas yang berkarakter, berbudi luhur, percaya diri, dan berjiwa merdeka,” ujar Ki Dewangkara memang lahir dan dibesarkan di Bali.
Menurut Ki Dewangkara, saat ini pendidikan di Indonesia sudah krisis pendidikan karakter. Saat bangsa ini mulai krisis kebangsaan, orang mulai melirik Taman Siswa lagi. Bahkan, Dewan Pertimbangan Presiden pun menggali ilmu ke Taman Siswa. Yang terpenting dilakukan sekarang adalah kembali kepada pendidikan karakter, yang disesuaikan dengan kearifan lokal (local genius).
“Saya sebagai keluarga besar Taman Siswa, yang kebetulan merupakan cucu Ki Hajar Dewantara, berpandangan kita harus kembali ke jatidiri kita bahwa pendidikan karakter harus disesuaikan dengan kearifan lokal. Makanya, pendidikan dan kebudayaan itulah sebagai jati diri bangsa,” kata tokoh yang tinggal di Puri Buana II Nomor 24, Jalan Buana Raya Padangsambian, Kecamatan Denpasar Barat ini.
Ki Dewangkara mencontohkan dirinya, yang sewaktu kecil bisa menari baris. “Saya ini orang Jawa, tapi lahir di Bali. Inilah pendidikan karakter yang menyesuaikan dengan kearifan lokal. Sehingga generasi muda Bali tidak tercabut dari akar budaya leluhurnya, jangan sampai lupa dengan orang Bali,” imbuhnya.
Menurut Ki Dewangkara, upayanya membangkitan kembali Taman Siswa di Bali ini didasari oleh panggilan hati dan keprihatinan atas krisis karakter kebangsaan yang belakangan kian terlihat. “Paling tidak, beberapa persen bisa untuk memfilter karakter-karakter generasi muda saat ini.”
Ki Dewangkara sendiri merupakan cucu ke-6 atau cucu laki-laki ke-2 dari Ki Hajar Dewantara. Ki Dewangkara lahir di Bali, karena sang ayah, Ki Subroto Aryo Mataram, menjadi pejuang dan ditugaskan di Bali. Waktu itu, Letkol I Gusti Ngurah Rai ke Jawa untuk dilantik menjadi Komandan Resimen Sunda Kecil oleh Jenderal Sudirman di Jogjakarta, sekaligus mohon dukungan pasukan dan persenjataan.
Selama I Gusti Ngurah Rai berada di Jogjakarta, rombongan ekspedisinya difasilitasi oleh Ki Hajar Dewantara. Mereka juga mendapat wejangan dari Ki Hajar Dewantara. Ayah Ki Dewangkara, yakni Kapten Subroto Aryo Mataram, merupakan putra dari Ki Hajar Dewantara, yang lahir di Den Haag, Belanda, 5 Juni 1917, saat ayahnya diasingkan ke Belanda bersama Dr Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker.
Kapten Subroto Aryo Mataram ditugaskan sebagai Wakil Kepala Staf Resimen Sunda Kecil/Liaison officer (LO) Markas Besar Tentara Keamanan Rakyak (TKR) di Jogjakarta/Kementerian Pertahanan RI di Jogjakarta dengan Resimen Sunda Kecil di Bali dan Nusa Tenggara. Sedangkan Mayor I Gusti Putu Wisnu kala itu menjadi Kepala Staf Resimen Sunda Kecil. *ind
1
Komentar