Musikalisasi Puisi Sebagai Peleburan Harmonis Puisi dan Musik
Workshop Bali Mandara Nawanatya III, Jumat (4/5) menghadirkan tema Musikalisasi Puisi yang digelar Dinas Kebudayaan Provinsi Bali di Kalangan Angsoka, Art Center Denpasar.
DENPASAR, NusaBali
Menurut salah satu narasumber, Gus Martin, musikalisasi puisi (muspus) merupakan sebuah peleburan harmonis antara puisi dan musik.“Idealnya musikalisasi puisi itu harus mampu mengangkat atau memaksimalkan bentuk, tema, isi, dan karakter sebuah puisi. Jangan sampai memotong atau menambah karya (puisi) orang, kalau tidak suka lebih baik jangan gunakan itu,” ujar Gus Martin.
Menurutnya, definisi sederhana muspus adalah proses membawa (alih wahana) puisi ke wilayah nada dan irama, sekadar untuk membedakan bentuk membaca puisi (membawa puisi ke tafsir pembacaan) atau dramatisasi puisi (membawa puisi ke tafsir drama). Dalam menyatukan, unsur keduanya harus diperhatikan, jangan sampai musik malah “merusak” unsur-unsur penting dari puisi, apalagi sampai menambahkan atau mengurangi bentuknya.
Gus Martin mencontohkan musikalisasi puisi yang menarik seperti yang dilakukan Bimbo, Ebiet G. Ade dan Leo Kristi. Sedangkan untuk contoh yang ke kinian, Gus Martin mencontohkan lagu ‘Sephia’. “Lagu-lagu mereka merupakan salah satu wujud musikalisasi puisi,” Gus Martin memberi contoh.
Sementara dari segi bentuk, pencarian bentuk muspus yang selama ini banyak dicari oleh penggiatnya adalah hal yang tidak perlu. Muspus dipandang akan lebih baik jika memiliki bentuk yang beragam.
“Memang, penggarapan muspus sering terperangkap pada alam bawah sadar. Artinya, seorang Bali ketika ingin memusikalisasikan puisi cenderung menggunakan nada pentatonis, itu wajar. Ketika muspus soal Gunung Agung yang keluar gong, begitu seterusnya,” ungkapnya.
Atas dasar itu, ia pun mengajak para penggiat muspus untuk berani keluar dari berbagai bentuk dan memadukan berbagai corak gaya, misalnya puisi Bali dibawakan dengan musik modern, puisi Indonesia dibawakan dengan nuansa etnik daerah dan lain sebagainya.
Pembicara lainnya, Heri Windi Anggara mengatakan, dalam penggarapan muspus, ada sejumlah masalah yang sering ditemui, misalnya terjebak dalam rasa, pemenggalankata, artikulasi, harmoni pembagian vokal yang dipaksakan, hingga gerak yang dibuat-buat. Untuk mengejar keindahan seringkali dilakukan dengan mengejar vibra dan pembagian suara, sehingga melupakan puisinya.
“Gerak yang dibuat-buat, diindah-indahkan juga akan berdampak buruk, apalagi menyamakan rasa individu yang kerap kali membentuk gerak yang sama, dipaksakan, dan bukan lahir dari pemain,” pungkasnya.
Heri memberi contoh sebuah puisi yang dimusikalisasi puisikan. Menurut pengalaman Heri dalam tahapan-tahapan musikalisasi puisi terdiri dari tiga tahap pertama mencari tema, tahap kedua yaitu pemenggalan kata dan terakhir baru tahap memasukkan rasa. “Tentu ada pertanyaan mengapa rasa ini saya taruh di bagian terakhir, sebab menurut saya rasa ini bersifat subjektif. Tidak ada tafsir yang jelas tentang rasa,” jelas Heri.
Pada kesempatan itu Heri dan Gus Martin memfasilitasi praktek membuat musikalisasi puisi dengan mengambil puisi ‘Aku’. Satu persatu siswa dan guru mencoba memusikalisasi penggalan puisi. Proses workshop berlangsung cair dan menggairahkan. *ind
Menurut salah satu narasumber, Gus Martin, musikalisasi puisi (muspus) merupakan sebuah peleburan harmonis antara puisi dan musik.“Idealnya musikalisasi puisi itu harus mampu mengangkat atau memaksimalkan bentuk, tema, isi, dan karakter sebuah puisi. Jangan sampai memotong atau menambah karya (puisi) orang, kalau tidak suka lebih baik jangan gunakan itu,” ujar Gus Martin.
Menurutnya, definisi sederhana muspus adalah proses membawa (alih wahana) puisi ke wilayah nada dan irama, sekadar untuk membedakan bentuk membaca puisi (membawa puisi ke tafsir pembacaan) atau dramatisasi puisi (membawa puisi ke tafsir drama). Dalam menyatukan, unsur keduanya harus diperhatikan, jangan sampai musik malah “merusak” unsur-unsur penting dari puisi, apalagi sampai menambahkan atau mengurangi bentuknya.
Gus Martin mencontohkan musikalisasi puisi yang menarik seperti yang dilakukan Bimbo, Ebiet G. Ade dan Leo Kristi. Sedangkan untuk contoh yang ke kinian, Gus Martin mencontohkan lagu ‘Sephia’. “Lagu-lagu mereka merupakan salah satu wujud musikalisasi puisi,” Gus Martin memberi contoh.
Sementara dari segi bentuk, pencarian bentuk muspus yang selama ini banyak dicari oleh penggiatnya adalah hal yang tidak perlu. Muspus dipandang akan lebih baik jika memiliki bentuk yang beragam.
“Memang, penggarapan muspus sering terperangkap pada alam bawah sadar. Artinya, seorang Bali ketika ingin memusikalisasikan puisi cenderung menggunakan nada pentatonis, itu wajar. Ketika muspus soal Gunung Agung yang keluar gong, begitu seterusnya,” ungkapnya.
Atas dasar itu, ia pun mengajak para penggiat muspus untuk berani keluar dari berbagai bentuk dan memadukan berbagai corak gaya, misalnya puisi Bali dibawakan dengan musik modern, puisi Indonesia dibawakan dengan nuansa etnik daerah dan lain sebagainya.
Pembicara lainnya, Heri Windi Anggara mengatakan, dalam penggarapan muspus, ada sejumlah masalah yang sering ditemui, misalnya terjebak dalam rasa, pemenggalankata, artikulasi, harmoni pembagian vokal yang dipaksakan, hingga gerak yang dibuat-buat. Untuk mengejar keindahan seringkali dilakukan dengan mengejar vibra dan pembagian suara, sehingga melupakan puisinya.
“Gerak yang dibuat-buat, diindah-indahkan juga akan berdampak buruk, apalagi menyamakan rasa individu yang kerap kali membentuk gerak yang sama, dipaksakan, dan bukan lahir dari pemain,” pungkasnya.
Heri memberi contoh sebuah puisi yang dimusikalisasi puisikan. Menurut pengalaman Heri dalam tahapan-tahapan musikalisasi puisi terdiri dari tiga tahap pertama mencari tema, tahap kedua yaitu pemenggalan kata dan terakhir baru tahap memasukkan rasa. “Tentu ada pertanyaan mengapa rasa ini saya taruh di bagian terakhir, sebab menurut saya rasa ini bersifat subjektif. Tidak ada tafsir yang jelas tentang rasa,” jelas Heri.
Pada kesempatan itu Heri dan Gus Martin memfasilitasi praktek membuat musikalisasi puisi dengan mengambil puisi ‘Aku’. Satu persatu siswa dan guru mencoba memusikalisasi penggalan puisi. Proses workshop berlangsung cair dan menggairahkan. *ind
Komentar