Eksekutif Bantah Tudingan Tidak Miliki Kajian
Pemkab Buleleng menepis tudingan Badan Pembuat Perda (Bapemperda) DPRD Buleleng, terkait Ranperda Perlindungan Mata Air yang dibatalkan, setelah menghabiskan anggaran cukup banyak dalam pembahasannya.
Soal Ranperda Inisiatif Bermasalah
SINGARAJA, NusaBali
Eksekutif menyebut, sejatinya sejak awal Ranperda Perlidungan Mata Air diketahui lemah dari sisi juridis. Hanya saja, eksekutif baru bisa menyampaikan itu ketika pembahasan formal baik di tingkat panitia khusus (Pansus), Gabungan Komisi dan di dalam Sidang Paripurna.
”Eksekutif itu sangat cermat mengkaji setiap Ranperda, termasuk Ranperda dari hak inisiatif lembaga dewan. Kami sejak awal sudah tahu itu (lemah dari sisi juridis.red).Tetapi sesuai dengan mekanisme, ruang untuk menyampaikan kajian dari eksekutif itu ada pada saat pembahasan dengan Pansus, Gabungan Komisi atau dalam Sidang Paripurna,” terang Asisten Bidang Pemerintahan Setkab Buleleng, Made Arya Sukerta, Kamis (10/5).
Dijelaskan, proses lahirnya produk hukum Perda berawal dari Ranperda yang kemudian ditetapkan menjadi salah satu program legislasi daerah (Prolegda). Saat masuk dalam Prolegda itu, Ranperda baru sebatas judul atau garis besarnya. Begitu masuk dalam Prolegda, masing-masing eksekutif dan legislative membuat kajian. Kajian itu baru bisa disampaikan melalui rapat-rapat formal, seperti rapat dengan Pansus, Gabungan Komisi dan dalam Sidang Paripurna. “Walaupun misalnya ada rapat setengah kamar, keputusan itu tidak legal. Tetap harus melewati pembahasan yang formal. Tidak bisa menjadi acuan membatalkan atau menarik kembali Ranperda,” jelasnya.
Arya Sukerta enggan menilai dimana letak kelemahan dalam penyusunan Ranperda Perlindungan Mata Air tersebut. Pihaknya mengetahui ketika dalam proses pembahasan di tingkat Pansus. “Saya tidak mau menilai dimana posisi lemahnya, yang jelas kejadiannya (tidak memiliki payung hukum,red) seperti itu, dan terjadi dalam pembahasan di tingkat Pansus. Sama ketika eksekutif mengajukan Ranperda, lembaga dewan bisa memberikan kajian saat pembahasan di tingkat Pansus,” katanya.
Menurut Arya Sukerta, agar kejadian dalam pembuatan aturan hukum tidak terulang lagi seperti Ranperda Perlindungan Mata Air, semestinya draf rancangan itu digodok lebih matang sebelum masuk menjadi Prolegda. “Artinya jangan dulu dimunculkan di Prolegda, sebelum draf itu matang. Harus didiskusikan dulu dengan eksekutif. Kalau ini (kajiannya,red) kan dibuat oleh LHKP,” ujarnya.
Sebelumnya, Ranperda Perlindungan Mata Air yang dicetuskan oleh Bapemperda, terpaksa dibatalkan di tingkat Pansus. Padahal, sebelum pembahasan Ranperda itu telah menghabiskan dana ratusan juta. Pembatalan itu karena UU Nomor 7 Tahun 2014 yang tadinya sebagai dasar hukum, ternyata sudah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Persoalan air dikembalikan ke UU Nomor 11 Tahun 1974, dimana kewenangan diserahkan ke daerah. Hanya saja, sampai saat ini Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunan dari UU Nomor 11 Tahun 1974 itu belum ada.
“Nah kita disuruh menunggu, karena Kementerian akan mengajukan UU yang baru, dan dilanjutkan nanti ada PP-nya. Tadi dalam rapat, kita putuskan tidak melanjutkan pembahasan ranperda itu, dan menarik kembali ranperda itu melalui sidang paripurna,” terang Ketua Pansus Haji Mulyadi Putra, politisi PPP asal Desa Penyabangan, Kecamatan Gerokgak.
Menurut Haji Mulyadi Putra, seharusnya dalam kajian akademik itu ada analisa juridis yang matang. Sehingga pembahasannya tidak mentah di tengah jalan.Ia juga menyayangkan Bapemperda tidak cermat dalam menganalisa dan menggali landasan juridis. Apalagi sudah banyak biaya yang dihabiskan.
Sementara Ketua Bapemperda, Gede Suradnya menuding eksekutif dan lembaga hukum kajian pembangunan (LHKP) dari salah satu universitas di Buleleng, tidak sinkron dalam memberikan kajian juridis. Padahal, pihaknya sudah berkali-kali mengingatkan agar kajian yang diberikan ke Bapemperda itu matang.
Dikatakan, semestinya pembahasan ranperda itu dapat berjalan lancar, jika kajiannya matang. “Kalau kami mengkaji produk hukum itu kan tidak mungkin. Makanya ada pihak ketiga yang dibayar untuk memberikan kajian dari sebuah produk hukum. Dan eksekutif juga tidak cermat, kenapa baru menyampaikan permasalahan, padahal sebelum masuk menjadi program daerah, kita sudah ajak membahasnya. Semestinya waktu itu disampaikan kendalanya, sehingga tidak seperti saat ini, dana sudah banyak dihabiskan,” katanya. *k19
Komentar