Banyak Tantangan, Sudah Tangani 900-an Kasus
Menangani Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi jika ingin menyembuhkannya.
13 Tahun Suryani Institute for Mental Health
DENPASAR, NusaBali
Dicaci maki, dicibir, dimarahi adalah makanan sehari-hari yang harus siap dihadapi. Tapi Suryani Institute for Mental Health (SMIH) justru tetap bertahan. Diusianya yang menginjak 13 tahun, Jumat (11/5), sekitar 900-an orang sudah ditanganinya dari seluruh Bali.
Pendiri Suryani Institute for Mental Health, Prof Dr LK Suryani bersama para relawan, kemarin, merayakan hari jadinya di Jalan Gandapura nomor 12, Denpasar. Diceritakan LK Suryani, dalam perjalanan selama 13 tahun banyak yang telah dilaluinya. Terutama ketika membantu para pasien ODGJ secara langsung ke lapangan dengan mendatangi rumahnya. Banyak penolakan dan rasa tidak terima yang harus dihadapi saat mulai melakukan niatan itu. “Pada mulanya banyak orang yang tidak menerima kenapa harus ke lapangan. Semua orang curiga. Tetapi setelah mereka melihat saya tidak meminta uang, melayani dengan baik dan membantu mereka untuk sembuh, barulah di sana mereka mau menerima,” ceritanya.
Ia berpikir, setelah menyembuhkan ODGJ, keluarganya akan senang. Namun nyatanya tidak semuanya begitu. Ada motif-motif lain yang membuat para ODGJ ini tetap dipasung oleh keluarganya. Di antaranya karena ada yang masih takut akan mengamuk lagi, dan ada juga yang tidak senang kalau ODJG ini sembuh karena menyangkut warisan. Namun tidak sedikit pula ada yang murni ingin keluarganya disembuhkan karena sudah berobat ke mana-mana namun tidak bisa sembuh.
Dikatakan LK Suryani, tidak seperti dulu pada tahun 2008 yakni membantu mereka yang tidak ada yang membantu. Sekarang, sejak setahun lalu Suryani Institute for Mental Health hanya akan membantu mereka yang memang ingin dibantu. Selama 13 tahun, sekitar 900-an orang yang ditanganinya dari seluruh Bali setelah dia berkunjung dari rumah ke rumah. Ini di luar praktiknya sebagai psikiater. Dari 900 orang itu tidak semuanya ODGJ. Kasus orang yang mencoba bunuh diri juga banyak ditangani.
Sampai saat ini, relawan yang bertahan hanya tujuh orang. Sebelumnya sempat ada sekitar 30 orang. Namun, karena berbagai alasan, termasuk tidak tahan dengan kegiatan tersebut, sejumlah orang akhirnya tidak aktif lagi menjadi relawan. Salah satu relawan, Kadek Winarta, 47, merupakan pendiri Yayasan Tulus Darma di Desa Blahbatuh. Sampai saat ini tercatat ada sebanyak 33 orang ODGJ di sana. Sebagian telah berobat secara mandiri ke RSJ Bangli dan psikiater. Sedangkan yang ditanganinya ada sembilan orang.
Cerita lainnya juga mengalir dari relawan bernama Ni Gusti Ayu Parmiti, pendiri Yayasan Anak Unik di Kemenuh, Gianyar. Sebelumnya, ia merupakan tenaga terapis yang bekerja keluar negeri. Suatu hari, karena tertarik dengan diskusi di rumah Prof Suryani, dia pun menyatakan ingin menjadi relawan. “Saat itu tahun 2012, menawarkan jasa massage ke Prof Suryani. Kemudian saat itu Prof Suryani sedang melakukan diskusi yang menyangkut ODGJ. Setelah mendengar itu saya teringat tetangga saya yang dipasung puluhan tahun. Di benak saya hanya ingin membantu orang tersebut. Pokoknya sekarang mereka sudah sembuh. Sudah bisa jualan canang, ada yang sudah bisa mencari bunga untuk dijual. Kehidupan mereka sudah lebih baik,” jelas wanita yang mendirikan yayasan untuk anak keterbelakangan mental, autis, dan tunagrahita ini. *ind
DENPASAR, NusaBali
Dicaci maki, dicibir, dimarahi adalah makanan sehari-hari yang harus siap dihadapi. Tapi Suryani Institute for Mental Health (SMIH) justru tetap bertahan. Diusianya yang menginjak 13 tahun, Jumat (11/5), sekitar 900-an orang sudah ditanganinya dari seluruh Bali.
Pendiri Suryani Institute for Mental Health, Prof Dr LK Suryani bersama para relawan, kemarin, merayakan hari jadinya di Jalan Gandapura nomor 12, Denpasar. Diceritakan LK Suryani, dalam perjalanan selama 13 tahun banyak yang telah dilaluinya. Terutama ketika membantu para pasien ODGJ secara langsung ke lapangan dengan mendatangi rumahnya. Banyak penolakan dan rasa tidak terima yang harus dihadapi saat mulai melakukan niatan itu. “Pada mulanya banyak orang yang tidak menerima kenapa harus ke lapangan. Semua orang curiga. Tetapi setelah mereka melihat saya tidak meminta uang, melayani dengan baik dan membantu mereka untuk sembuh, barulah di sana mereka mau menerima,” ceritanya.
Ia berpikir, setelah menyembuhkan ODGJ, keluarganya akan senang. Namun nyatanya tidak semuanya begitu. Ada motif-motif lain yang membuat para ODGJ ini tetap dipasung oleh keluarganya. Di antaranya karena ada yang masih takut akan mengamuk lagi, dan ada juga yang tidak senang kalau ODJG ini sembuh karena menyangkut warisan. Namun tidak sedikit pula ada yang murni ingin keluarganya disembuhkan karena sudah berobat ke mana-mana namun tidak bisa sembuh.
Dikatakan LK Suryani, tidak seperti dulu pada tahun 2008 yakni membantu mereka yang tidak ada yang membantu. Sekarang, sejak setahun lalu Suryani Institute for Mental Health hanya akan membantu mereka yang memang ingin dibantu. Selama 13 tahun, sekitar 900-an orang yang ditanganinya dari seluruh Bali setelah dia berkunjung dari rumah ke rumah. Ini di luar praktiknya sebagai psikiater. Dari 900 orang itu tidak semuanya ODGJ. Kasus orang yang mencoba bunuh diri juga banyak ditangani.
Sampai saat ini, relawan yang bertahan hanya tujuh orang. Sebelumnya sempat ada sekitar 30 orang. Namun, karena berbagai alasan, termasuk tidak tahan dengan kegiatan tersebut, sejumlah orang akhirnya tidak aktif lagi menjadi relawan. Salah satu relawan, Kadek Winarta, 47, merupakan pendiri Yayasan Tulus Darma di Desa Blahbatuh. Sampai saat ini tercatat ada sebanyak 33 orang ODGJ di sana. Sebagian telah berobat secara mandiri ke RSJ Bangli dan psikiater. Sedangkan yang ditanganinya ada sembilan orang.
Cerita lainnya juga mengalir dari relawan bernama Ni Gusti Ayu Parmiti, pendiri Yayasan Anak Unik di Kemenuh, Gianyar. Sebelumnya, ia merupakan tenaga terapis yang bekerja keluar negeri. Suatu hari, karena tertarik dengan diskusi di rumah Prof Suryani, dia pun menyatakan ingin menjadi relawan. “Saat itu tahun 2012, menawarkan jasa massage ke Prof Suryani. Kemudian saat itu Prof Suryani sedang melakukan diskusi yang menyangkut ODGJ. Setelah mendengar itu saya teringat tetangga saya yang dipasung puluhan tahun. Di benak saya hanya ingin membantu orang tersebut. Pokoknya sekarang mereka sudah sembuh. Sudah bisa jualan canang, ada yang sudah bisa mencari bunga untuk dijual. Kehidupan mereka sudah lebih baik,” jelas wanita yang mendirikan yayasan untuk anak keterbelakangan mental, autis, dan tunagrahita ini. *ind
1
Komentar