Waspadailah Suriak Siu
Banyak orang berpendapat, jika hendak mengkaji demokrasi, belajarlah dari desa-desa di Bali.
Masyarakat di dusun-dusun ini sejak lama mengenal hak setiap orang untuk berpendapat. Kendati mereka berada dalam kekuasaan raja-raja, tapi ketika mereka hendak menentukan nasib sendiri, mereka selalu membuat keputusan yang adil, yang ditempuh dengan berdemokrasi. Muncul pendapat, orang Bali itu makhluk demokratis.
Di desa-desa di Bali orang-orang terbiasa mengeluarkan komentar. Pendapat-pendapat itu memang tidak selalu dilontarkan dengan lantang, acap disampaikan bisik-bisik, sering pula dalam gerutu. Tapi acap kali juga disampaikan langsung dan gamblang tanpa tedeng aling-aling. Sering dengan lontaran-lontaran galak dan kasar.
Karena orang Bali dikenal rata-rata adalah seniman, acap kali suasana demokrasi itu muncul sebagai celetukan-celetukan dalam pertunjukan kesenian. Sindiran-sindiran sering tampil, yang kadang saking kuat dan kental mengkerucut menjadi ejekan-ejekan. Mereka yang sering menonton pentas wayang, arja, prembon, drama gong, bondres, pasti banyak menemukan kritik-kritik segar yang lazimnya meriah dalam alam demokrasi.
Tapi tidak selalu kritik-kritik itu kasar, acap kali juga halus tajam menyayat, tentu tergantung pelontar dan sumber kritik itu. Yang sering bersikap halus dalam demokrasi sering kali dinilai lembek, tidak tegas, ewuh pakuwuh, bahkan acap dinilai pengecut atau plintat-plintut, suka serong sana serong sini.
Mereka yang mendalami alam demokrasi Bali, pasti menganjurkan untuk mengkaji demokrasi banjar. Mereka akan mendapatkan bagaimana orang Bali, dalam sebuah komunitas atau sekaa, menghargai pendapat satu sama lain. Setiap orang boleh bicara, punya hak, dan bebas menyampaikan pendapat. Mereka akan berujar, “Alangkah hebat orang Bali berdemokrasi. Jika mengambil keputusan, mereka menimbanya dengan kebersamaan. Kalau memilih pemimpin, mereka menentukannya berdasarkan kesepakatan.”
Tapi, benarkah demokrasi orang Bali yang muncul dalam sangkep (rapat) banjar harus disanjung sebagai pengejawantahan demokrasi? Benarkah orang Bali punya pengalaman luas dan lama ketika memilih pemimpin? Siapakah yang mengendalikan demokrasi di banjar-banjar? Benarkah yang berkuasa di banjar-banjar itu massa? Atau sekelompok orang, figur-figur, tertentu?
Dalam dinamika kelompok (sekaa) orang Bali mengenal suriak siu, perilaku orang-orang yang mengambil keputusan rame-rame dengan mengacungkan setujuuuuu...... Tak peduli keputusan itu keliru dan menyesatkan. Suriak siu ini lazim terjadi ketika warga banjar melangsungkan rapat. Jika rapat sudah berlangsung lama, malam kian larut, pemimpin rapat (kelian) akan menyodorkan kepada yang hadir untuk mengambil keputusan.
“Jadi, apakah saudara-saudara setuju?” “Setujuuuuuu.....” jawab hadirin. Mereka kurang pasti sesungguhnya apakah mereka setuju atau tidak. Apakah persetujuan yang diberikan benar atau salah. Ini mirip dengan pengambilan keputusan sebelum ketok palu dalam sidang wakil-wakil rakyat di DPR, yang sering bisa ditonton di televisi. Suriak siu itu berarti suara beberapa orang yang menyatakan kebenaran, lenyap oleh gaung puluhan yang berteriak lantang menyuarakan kekeliruan. Jika keputusan akhirnya khilaf, tak ada yang peduli karena semua sudah telanjur. Sering terjadi orang-orang Bali, karena budaya suriak siu, dianggap kurang teliti, malas berpikir panjang ketika mengambil keputusan.
Perilaku suriak siu ini tidak berbeda jauh dengan mobokrasi, keadaan yang dikendalikan oleh kekuasaan massa. Mobokrasi juga dinilai sebagai pemerintahan yang dipegang dan dipimpin oleh rakyat jelata yang tidak tahu seluk-beluk pemerintahan.
Di desa-desa banyak bisa dijumpai rakyat jelata. Mereka membentuk kelompok dengan pemerintahan otonom, punya aturan adat (awig) sendiri. Aturan-aturan ini kemudian dikenal sebagai tradisi. Mereka menjadikan tradisi-tradisi ini pegangan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari yang muncul tampil dinamika banjar. Maka banyak sekali bisa dijumpai awig satu banjar berbeda dengan banjar tetangga. Perbedaan ini bisa memicu konflik jika tidak hati-hati mengelolanya.
Banjar-banjar di Bali dipuji sebagai perwujudan alam demokrasi. Banjar-banjar ini tentu sebuah kearifan lokal yang memberi ciri khas pada Bali. Tapi, dalam urusan suriak siu dinamika banjar ini penting dipertanyakan kembali, karena meredam keunggulan, kebajikan, dan kebenaran yang segelintir, oleh kebatilan dan kesalahan yang beribu-ribu.Benar juga pendapat orang-orang, berhati-hatilah dengan mobokrasi, waspadailah suriak siu. *
Aryantha Soethama
Pengarang
Di desa-desa di Bali orang-orang terbiasa mengeluarkan komentar. Pendapat-pendapat itu memang tidak selalu dilontarkan dengan lantang, acap disampaikan bisik-bisik, sering pula dalam gerutu. Tapi acap kali juga disampaikan langsung dan gamblang tanpa tedeng aling-aling. Sering dengan lontaran-lontaran galak dan kasar.
Karena orang Bali dikenal rata-rata adalah seniman, acap kali suasana demokrasi itu muncul sebagai celetukan-celetukan dalam pertunjukan kesenian. Sindiran-sindiran sering tampil, yang kadang saking kuat dan kental mengkerucut menjadi ejekan-ejekan. Mereka yang sering menonton pentas wayang, arja, prembon, drama gong, bondres, pasti banyak menemukan kritik-kritik segar yang lazimnya meriah dalam alam demokrasi.
Tapi tidak selalu kritik-kritik itu kasar, acap kali juga halus tajam menyayat, tentu tergantung pelontar dan sumber kritik itu. Yang sering bersikap halus dalam demokrasi sering kali dinilai lembek, tidak tegas, ewuh pakuwuh, bahkan acap dinilai pengecut atau plintat-plintut, suka serong sana serong sini.
Mereka yang mendalami alam demokrasi Bali, pasti menganjurkan untuk mengkaji demokrasi banjar. Mereka akan mendapatkan bagaimana orang Bali, dalam sebuah komunitas atau sekaa, menghargai pendapat satu sama lain. Setiap orang boleh bicara, punya hak, dan bebas menyampaikan pendapat. Mereka akan berujar, “Alangkah hebat orang Bali berdemokrasi. Jika mengambil keputusan, mereka menimbanya dengan kebersamaan. Kalau memilih pemimpin, mereka menentukannya berdasarkan kesepakatan.”
Tapi, benarkah demokrasi orang Bali yang muncul dalam sangkep (rapat) banjar harus disanjung sebagai pengejawantahan demokrasi? Benarkah orang Bali punya pengalaman luas dan lama ketika memilih pemimpin? Siapakah yang mengendalikan demokrasi di banjar-banjar? Benarkah yang berkuasa di banjar-banjar itu massa? Atau sekelompok orang, figur-figur, tertentu?
Dalam dinamika kelompok (sekaa) orang Bali mengenal suriak siu, perilaku orang-orang yang mengambil keputusan rame-rame dengan mengacungkan setujuuuuu...... Tak peduli keputusan itu keliru dan menyesatkan. Suriak siu ini lazim terjadi ketika warga banjar melangsungkan rapat. Jika rapat sudah berlangsung lama, malam kian larut, pemimpin rapat (kelian) akan menyodorkan kepada yang hadir untuk mengambil keputusan.
“Jadi, apakah saudara-saudara setuju?” “Setujuuuuuu.....” jawab hadirin. Mereka kurang pasti sesungguhnya apakah mereka setuju atau tidak. Apakah persetujuan yang diberikan benar atau salah. Ini mirip dengan pengambilan keputusan sebelum ketok palu dalam sidang wakil-wakil rakyat di DPR, yang sering bisa ditonton di televisi. Suriak siu itu berarti suara beberapa orang yang menyatakan kebenaran, lenyap oleh gaung puluhan yang berteriak lantang menyuarakan kekeliruan. Jika keputusan akhirnya khilaf, tak ada yang peduli karena semua sudah telanjur. Sering terjadi orang-orang Bali, karena budaya suriak siu, dianggap kurang teliti, malas berpikir panjang ketika mengambil keputusan.
Perilaku suriak siu ini tidak berbeda jauh dengan mobokrasi, keadaan yang dikendalikan oleh kekuasaan massa. Mobokrasi juga dinilai sebagai pemerintahan yang dipegang dan dipimpin oleh rakyat jelata yang tidak tahu seluk-beluk pemerintahan.
Di desa-desa banyak bisa dijumpai rakyat jelata. Mereka membentuk kelompok dengan pemerintahan otonom, punya aturan adat (awig) sendiri. Aturan-aturan ini kemudian dikenal sebagai tradisi. Mereka menjadikan tradisi-tradisi ini pegangan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari yang muncul tampil dinamika banjar. Maka banyak sekali bisa dijumpai awig satu banjar berbeda dengan banjar tetangga. Perbedaan ini bisa memicu konflik jika tidak hati-hati mengelolanya.
Banjar-banjar di Bali dipuji sebagai perwujudan alam demokrasi. Banjar-banjar ini tentu sebuah kearifan lokal yang memberi ciri khas pada Bali. Tapi, dalam urusan suriak siu dinamika banjar ini penting dipertanyakan kembali, karena meredam keunggulan, kebajikan, dan kebenaran yang segelintir, oleh kebatilan dan kesalahan yang beribu-ribu.Benar juga pendapat orang-orang, berhati-hatilah dengan mobokrasi, waspadailah suriak siu. *
Aryantha Soethama
Pengarang
Komentar