MUTIARA WEDA : Perangi Teroris
Inilah orang yang tidak layak dijadikan kawan bergaul: orang yang selalu mengusahakan penyakit dan kesedihan terhadap orang lain, buruk laku, yang sangat alpa, yang kata-katanya bohong dusta, orang yang hatinya terikat pada minuman keras.
Samklista karmanamati pramadam bhuyo nrtam cadr dabhaktinam ca,
vicitaragam bahumayinam ca naitan niseveta naradhaman sat.
(Sarasamucchaya, 325).
JIKA kita lihat dua dari enam ketentuan di awal mengenai orang yang tidak layak diajak bergaul sesuai teks di atas, yakni orang yang selalu mengusahakan penyakit dan kesedihan bagi orang lain, sepertinya bisa dijadikan rujukan untuk memerangi teroris. Bagaimana tidak, teroris baik di dalam ide maupun aksinya senantiasa mengupayakan kesedihan bagi masyarakat yang tidak berdosa. Seperti misalnya kejadian dua hari terakhir – tiga bom meledak di gereja di Surabaya, dua lainnya di tempat terpisah dalam satu wilayah yang sama – sungguh menyisakan kesedihan yang mendalam dengan belasan orang meninggal dunia dan puluhan lainnya luka-luka.
Menurut teks di atas, orang seperti ini harus dijauhkan sebab sangat berbahaya. Kejahatannya melebihi pembunuhan dalam peperangan, sebab mereka menyerang orang yang tidak bersenjata. Pertanyaannya, bagaimana caranya memerangi mereka? Apakah dengan kekerasan atau dengan cara-cara moral? Selama ini kedua cara tersebut selalu diperdebatkan dengan argumennya masing-masing. Mahatma Gandhi misalnya menekankan pada pendekatan moral di dalam melawan kekuatan musuh. Dengan jalan Ahimsa (tanpa kekerasan) beliau membuktikan mampu memerdekakan bangsanya dari penjajahan Inggris. Gandhi melihat bahwa pada prinsipnya manusia adalah makhluk yang baik. Perbuatan jahat yang mereka lakukan semata-mata karena kebodohan. Dengan cara-cara cinta kasih, orang tersebut akan terketuk hatinya untuk meninggalkan kejahatannya dan kembali menemukan kebaikan dirinya.
Sementara itu, banyak orang memandang bahwa terorisme tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara seperti itu. Pikiran mereka sudah tertutup oleh ambisi mencapai hal tertentu sesuai yang djanjikan dengan cara-cara kekerasan. Orang seperti ini tidak bisa didekati dengan cara-cara moral. Hanya senjata yang bisa menyelesaikannya. Mereka sudah memiliki cara berpikir yang sudah tidak bisa dibelokkan. Brain wash padanya telah tuntas, sehingga celah apa pun yang mencoba masuk ke pikirannya tidak lagi mempan. Cara-cara moral akan efektif hanya ketika pikirannya masih bimbang, ketika rasa kemanusiaannya masih hidup samar-samar. Namun, dalam kasus terorisme, pikirannya telah determinan, sehingga hanya dengan cara memeranginya saja yang masih memungkinkan. Cara-cara moral dilakukan hanya dalam upaya pencegahan terhadap proses brain wash tersebut sehingga orang tidak mau bergabung ke dalam organisasinya.
Hanya saja, cara-cara moral sangat susah dilakukan sebab mereka menggunakan dalil-dalil agama dan kitab suci untuk mencuci otaknya. Mereka mampu menemukan celah untuk menyelewengkan makna kitab suci dan kemudian secara efektif mempenetrasi orang-orang awam. Janji surga dan kegiatan untuk Tuhan adalah cara-cara yang sangat efektif buat mereka. Namun, cara-cara moral bisa dilakukan hanya ketika dilakukan melalui dalil-dalil dan kitab suci yang sama. Pemahaman yang benar terhadap teks tersebut harus diajarkan. Oleh karena itu cara ini hanya akan efektif apabila dilakukan oleh kelompok agama yang sama dengan pemahaman yang bertolak belakang dari pemahaman para teroris.
Cara-cara moral terjadi hanya ketika melalui sebuah pemahaman terhadap kitab suci yang bertolak belakang dengan kaum teroris. Sedikit saja memiliki irisan pemahaman yang sama dengan kaum teroris tidak akan mampu bekerja efektif, sebab irisan tersebut akan menjadi benih dari munculnya pemahaman yang determinan radikalis. Jika ini terjadi, maka, selamanya teroris itu tidak akan bisa dihentikan, sebab akar dan benihnya tetap ada. Memerangi dengan cara kekerasan hanya terhadap mereka yang telah berbuah matang, yang pikirannya telah mantap dengan kebenaran yang diyakininya. Kekerasan tidak mampu melakukan hal yang lebih yang bersifat halus. Hanya cara-cara moral yang mampu mencapai akar. Untuk itu, revolusi kesadaran sangat dipentingkan bagi setiap orang sehingga mampu memahami ajaran secara tepat. Jika tidak, siap-siap kita akan selamanya mengasah senjata untuk terus-menerus berperang melawannya sepanjang hayat. 7
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
(Sarasamucchaya, 325).
JIKA kita lihat dua dari enam ketentuan di awal mengenai orang yang tidak layak diajak bergaul sesuai teks di atas, yakni orang yang selalu mengusahakan penyakit dan kesedihan bagi orang lain, sepertinya bisa dijadikan rujukan untuk memerangi teroris. Bagaimana tidak, teroris baik di dalam ide maupun aksinya senantiasa mengupayakan kesedihan bagi masyarakat yang tidak berdosa. Seperti misalnya kejadian dua hari terakhir – tiga bom meledak di gereja di Surabaya, dua lainnya di tempat terpisah dalam satu wilayah yang sama – sungguh menyisakan kesedihan yang mendalam dengan belasan orang meninggal dunia dan puluhan lainnya luka-luka.
Menurut teks di atas, orang seperti ini harus dijauhkan sebab sangat berbahaya. Kejahatannya melebihi pembunuhan dalam peperangan, sebab mereka menyerang orang yang tidak bersenjata. Pertanyaannya, bagaimana caranya memerangi mereka? Apakah dengan kekerasan atau dengan cara-cara moral? Selama ini kedua cara tersebut selalu diperdebatkan dengan argumennya masing-masing. Mahatma Gandhi misalnya menekankan pada pendekatan moral di dalam melawan kekuatan musuh. Dengan jalan Ahimsa (tanpa kekerasan) beliau membuktikan mampu memerdekakan bangsanya dari penjajahan Inggris. Gandhi melihat bahwa pada prinsipnya manusia adalah makhluk yang baik. Perbuatan jahat yang mereka lakukan semata-mata karena kebodohan. Dengan cara-cara cinta kasih, orang tersebut akan terketuk hatinya untuk meninggalkan kejahatannya dan kembali menemukan kebaikan dirinya.
Sementara itu, banyak orang memandang bahwa terorisme tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara seperti itu. Pikiran mereka sudah tertutup oleh ambisi mencapai hal tertentu sesuai yang djanjikan dengan cara-cara kekerasan. Orang seperti ini tidak bisa didekati dengan cara-cara moral. Hanya senjata yang bisa menyelesaikannya. Mereka sudah memiliki cara berpikir yang sudah tidak bisa dibelokkan. Brain wash padanya telah tuntas, sehingga celah apa pun yang mencoba masuk ke pikirannya tidak lagi mempan. Cara-cara moral akan efektif hanya ketika pikirannya masih bimbang, ketika rasa kemanusiaannya masih hidup samar-samar. Namun, dalam kasus terorisme, pikirannya telah determinan, sehingga hanya dengan cara memeranginya saja yang masih memungkinkan. Cara-cara moral dilakukan hanya dalam upaya pencegahan terhadap proses brain wash tersebut sehingga orang tidak mau bergabung ke dalam organisasinya.
Hanya saja, cara-cara moral sangat susah dilakukan sebab mereka menggunakan dalil-dalil agama dan kitab suci untuk mencuci otaknya. Mereka mampu menemukan celah untuk menyelewengkan makna kitab suci dan kemudian secara efektif mempenetrasi orang-orang awam. Janji surga dan kegiatan untuk Tuhan adalah cara-cara yang sangat efektif buat mereka. Namun, cara-cara moral bisa dilakukan hanya ketika dilakukan melalui dalil-dalil dan kitab suci yang sama. Pemahaman yang benar terhadap teks tersebut harus diajarkan. Oleh karena itu cara ini hanya akan efektif apabila dilakukan oleh kelompok agama yang sama dengan pemahaman yang bertolak belakang dari pemahaman para teroris.
Cara-cara moral terjadi hanya ketika melalui sebuah pemahaman terhadap kitab suci yang bertolak belakang dengan kaum teroris. Sedikit saja memiliki irisan pemahaman yang sama dengan kaum teroris tidak akan mampu bekerja efektif, sebab irisan tersebut akan menjadi benih dari munculnya pemahaman yang determinan radikalis. Jika ini terjadi, maka, selamanya teroris itu tidak akan bisa dihentikan, sebab akar dan benihnya tetap ada. Memerangi dengan cara kekerasan hanya terhadap mereka yang telah berbuah matang, yang pikirannya telah mantap dengan kebenaran yang diyakininya. Kekerasan tidak mampu melakukan hal yang lebih yang bersifat halus. Hanya cara-cara moral yang mampu mencapai akar. Untuk itu, revolusi kesadaran sangat dipentingkan bagi setiap orang sehingga mampu memahami ajaran secara tepat. Jika tidak, siap-siap kita akan selamanya mengasah senjata untuk terus-menerus berperang melawannya sepanjang hayat. 7
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar