MUTIARA WEDA : Tepat dalam Menentukan Keputusan
ADA seorang pertapa yang sedang bermeditasi di tepi sungai. Pada saat itu ada seekor kalajengking hanyut di atas selembar daun kering.
Sang pertapa bangun dari meditasinya dan berupaya menolong kalajengking itu. Sang pertapa bergegas turun ke sungai mendekati kalajengking itu. Saat diambil, kalajengking itu terkejut dan sang pertapa pun disengatnya. Kalajengking kemudian terjatuh dan tenggelam ke air. Sang pertapa dengan menahan rasa sakit terus berusaha mencari kalajengking itu ke dalam air dan mencoba menyelamatkannya.
Kemudian ada orang datang mendekati tepi sungai dan berkata, “Wahai pertapa mengapa Anda melakukan itu? Alangkah sia-sianya menolong kalajengking itu. Tindakan baikmu itu justru membahayakan dirimu dan binatang itu juga tidak selamat.” Lalu dengan menahan rasa sakit sang pendeta menjawab. “Swadharmanya kalajengking memang menyengat dan telah melakukannya dengan sangat sempurna. Tetapi swadharmaku adalah menjalankan welas asih, menolong siapa pun yang ada dalam kesulitan. Aku telah gagal melakukannya. Namun walaupun demikian aku tetap berusaha.”
Terkadang, kita harus cerdas memahami apa itu natural dharma dan apa itu transendental dharma, serta bagaimana memfungsikan dan menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita tidak mampu, kita akan terjebak dalam kerancuan seperti halnya contoh sang pendeta di atas. Kita hendaknya jangan sampai terjebak dan menjadi teroris dharma. Setelah memahami dharma dengan baik, maka menguasai teknik bagaimana menerapkannya juga sama pentingnya. Dalam kondisi tertentu, jalan yang kita gunakan untuk menjalankan natural dharma bisa atau mesti dengan cara pandang transendental dharma, atau sebaliknya.
Mengerjakan kewajiban dengan prinsip niskama karma seva (pelayanan yang dilakukan dengan tidak mengharapkan imbalan) itu penting. Apa yang akan terjadi kemudian sungguh di luar dugaan kita. Niskama karma seva ini jenisnya ada dua, yakni karmayoga dan udyoga. Jenis karmayoga artinya seva (pelayanan) yang dilakukan sepenuhnya dalam bentuk charity, memberikan sesuatu dan kemudian tidak memikirkan keuntungan dari pemberian itu. Sedangkan udyoga artinya sumbangan yang diberikan lebih seperti bisnis. Contohnya: kita menyumbang sejumlah uang untuk membangun pura, tetapi kita minta agar nama kita diumumkan atau ditempelkan. Kita minta diistimewakan.
Demikian juga secara umum, cara belajar ada dua, yakni siksa dan diksha. Dalam siksa, ada aturan yang harus dipenuhi, seperti halnya kita kuliah di kampus. Sementara secara diksha lebih dalam dibandingkan siksa. Diksha tidak hanya mesti menjalankan aturan saja, melainkan harus melepaskan ego kita di kaki Padma guru. Segala sesuatunya diserahkan di kaki guru. Sistem guru-sisya di gurukul adalah model diksa. Di sini akan ada adesha (permintaan guru) dan ada saranagati (total penyerahan diri oleh murid). Seorang sisya memiliki niat lebih besar untuk mendapatkan pengetahuan dibandingkan seorang pelajar biasa.
Seorang sisya memiliki niat untuk mencapai realisasi diri sebesar nafasnya. Ada sebuah cerita yang menggambarkan bagaimana niat seorang sisya yang benar-benar hidupnya diabdikan sepenuhnya untuk mencapai pembebasan. Ini juga bisa dijadikan rujukan bagaimana kita mesti membangun niat untuk bermeditasi agar sukses. Ada seorang murid yang telah lama belajar dari seorang guru. Ia telah banyak memiliki ilmu. Gurunya sering mengirimnya untuk memberikan ceramah ketika diperlukan oleh masyarakat. Suatu ketika, karena masyarakat kagum dengan kemampuan si murid itu, salah satu peserta memberikannya emas sebagai persembahan. Si murid mengambilnya dan dibawanya ke ashram. Setelah beberapa hari, murid itu merasa terganggu dengan barang itu. Siang dan malam selalu memikirkan barang itu, sebab mahal. Karena tidak tahan, akhirnya ia mengutarakan itu kepada gurunya.
Gurunya bertanya, “Apakah barang itu berharga?” Si murid menjawab, “Tentu sangat berharga.” “Seberapa besar berharganya?” kembali Sang guru bertanya. “Ini emas hadiah guru, tentu nilainya ganda. Pertama barangnya, kedua nilai dari pemberian oleh orang itu,” jawab si murid. Lalu gurunya menyahut, “Baiklah kalau begitu, mari ikut aku ke sungai.” Sang murid pun mengikuti gurunya dengan membawa emas tersebut. Sesampai di sungai sang guru mengajaknya ke dalam air. Sang guru memegang barang berharga itu di tangan kirinya. Kemudian tangan kanannya memegang kepala muridnya. Si murid diminta untuk menunduk. Setelah menunduk sang guru pun menekan kepalanya ke air beberapa lama. Murid pun meronta-ronta. Setelah beberapa saat guru melepaskannya. Sang guru kemudian bertanya, “Masih seberapa besar nilai barang ini?” Murid pun mulai mengerti dan menjawab, “Tidak terlalu besar guru.” Mendengar itu Sang guru kemudian melempar emas itu ke sungai. Sang murid pun akhirnya tenang kembali. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
1
Komentar