Orang Bali dan Gelar
MENAMATKAN sekolah lanjutan sebelum 1980-an sungguh prestasi besar. Keluarga yang punya anak tamat SMA kala itu adalah golongan terhormat.
Anak muda tamat Sekolah Guru Atas (SGA) langsung bisa jadi guru, profesi terhormat. Tamat sekolah atas bisa segera bekerja karena lapangan kerja banyak. Jadi murid sekolah guru dapat ikatan dinas.
Mereka yang punya uang lebih, keluarga punya harapan besar menyekolahkan anak-anak mereka ke perguruan tinggi. Tiga tahun kuliah mereka dapat gelar BA (Bachelor of Arts) atau BSc (Bachelor of Science). Banyak yang akhirnya bekerja di pemerintahan, memajang dengan bangga gelar BA dan BSc itu, yang kini setara dengan D3. Si pemilik BA merasa lebih bergengsi, lebih tinggi derajatnya tinimbang tamatan SMA, sehingga diplesetkan sebagai ‘belog ajum’.
Sebelum 1980-an, gelar BA di Bali sungguh luar biasa. Kepala sekolah bertitel BA sangat disegani, karena sudah mengenyam pendidikan tinggi. Guru-guru tamatan BA pergi mengajar naik sepeda, namun sangat bergengsi. Padahal belum tentu guru bergelar akademis itu lebih pintar mengajar dibanding guru tamatan SGA. Di tahun-tahun itu bergelar BA menjadi tujuan. Karena menjadi sarjana penuh (S1) sungguh sebuah cita-cita di awan gemawan.
Banyak pegawai negeri yang bergelar BA memegang jabatan penting, menjadi kepala tata usaha, kepala dinas, misalnya. Mereka yang BA atau BSc ini nyaman di eselon yang mereka duduki, sehingga ogah meneruskan kuliah untuk meraih S1. Banyak bisa dijumpai pegawai yang sampai pensiun tetap BA.
Zaman berkembang maju, banyak anak muda yang kemudian kuliah dan menamatkan S1. Para sarjana ini menjadi karyawan dan pesaing para BA itu. Karena pangkat sudah tinggi, para BA ini tidak mau meneruskan kuliah. “Untuk apa, kan tinggal menunggu pensiun?” komentar mereka. Tapi BA yang tergolong muda usia buru-buru kuliah, karena untuk menduduki jabatan mereka harus S2. Itu sebabnya banyak program studi yang membuka kelas ekstra, kelas sore, agar para pekerja dan karyawan ini bisa kuliah S2. Ini peluang besar buat bisnis perkuliahan, yang menyebabkan banyak prodi membuka kelas sore. Yang dibidik jumlah yang kuliah untuk promosi jabatan, mutu lulusan boleh belakangan.
Karena itu tentu keliru kalau ada yang berkomentar orang Bali itu doyan mengejar gelar, lebih keliru lagi kalau mereka berpendapat orang Bali gila gelar. Sesungguhnya orang Bali itu perlu gelar, sebab dengan gelar mereka bisa merebut posisi jabatan. Jika jabatan mereka tinggi, empuk, dan basah, tentu gaji tambah besar, penghasilan bertambah, bisa ditabung buat hari tua dan keturunan.
Tapi, kalau ada yang berpendapat orang Bali juga senang gelar, dan mengagung-agungkan gelar, ada benarnya juga. Di Bali gelar akademis dan gelar sosial sama penting. Gelar akademis untuk mencapai posisi di tempat kerja dan pemerintahan, gelar sosial buat memposisikan diri berderajat lebih tinggi dibanding yang lain. Gelar sosial ini menjadi hebat karena Bali sangat memperhitungkan kasta seseorang. Mereka yang berkasta tinggi, merasa dirinya sebagai kaum bangsawan, merasa diri lebih hebat, dan seakan-akan boleh merendahkan martabat orang yang berkasta lebih rendah.
Gelar akademis harus dicari dengan susah payah, mesti ulet, perlu ongkos tidak sedikit. Orang-orang harus tekun belajar, gigih, untuk bergelar insinyur, sarjana sosial, dokter. Banyak rintangan dan godaan harus dilewati sebelum wisuda. Gelar akademis ini tidak bisa diwariskan kepada siapa pun. Seorang bergelar insinyur hanya dia yang berhak memakainya, tidak bisa dihibahkan kepada anak-anaknya kelak.
Gelar sosial, gelar kebangsawanan, diperoleh tanpa susah payah, bisa didapat otomatis. Jika kakeknya seorang Anak Agung, dia akan menjadi Anak Agung pula, anak-anaknya pun akan memperoleh gelar itu. Sejak lahir seseorang sudah bergelar Ida Bagus, karena lahir dari kalangan brahmana, tak peduli apakah ia punya kemampuan sebagai seorang brahmana atau tidak.
Jika seseorang menggabungkan gelar kebangsawanan dengan gelar akademis, ditambah gelar jabatan dan gelar profesi, wah, namanya bakalan menjadi sangat panjang. Misalnya, Prof Dr dr Cokorda Ngurah Agung Widarta SpPD-KEMD, karena ia dokter spesialis penyakit dalam. Padahal namanya cuma Widarta. Atau Dr Dra Anak Agung Sagung Sayu Malini, SH, MAk, MKn, karena ia kuliah di fakultas ekonomi, akuntan, kuliah di fakultas hukum, kemudian menjadi notaris pembuat akta tanah. Nama aslinya cuma Malini, selebihnya adalah gelar.
Nama itu akan menjadi kian panjang kalau namanya lebih dari satu, karena sekarang banyak orang bernama panjang seperti Ayu Ningrum Puspita Dewi atau Ekajaya Mahardika Utama Putra. Kalau nama-nama ini ditambah nama keluarga, bakalan tambah panjang lagi. Jika menggunakan gelar bangsawan plus gelar akademik sampai S3 tentu menjadi aduhai panjang. Orang Bali menyebut nama yang lantang melembad, artinya panjang bukan main.
Apakah gelar-gelar itu penting? Bagi sebagian orang gelar sangat berarti, kehormatan, membanggakan, bagi sebagian lainnya itu cuma engkah, bahasa Bali yang berarti udara, uap, yang ke luar dari mulut, cuma cuap-cuap. Yang penting kelakuannya, prestasinya. *
Mereka yang punya uang lebih, keluarga punya harapan besar menyekolahkan anak-anak mereka ke perguruan tinggi. Tiga tahun kuliah mereka dapat gelar BA (Bachelor of Arts) atau BSc (Bachelor of Science). Banyak yang akhirnya bekerja di pemerintahan, memajang dengan bangga gelar BA dan BSc itu, yang kini setara dengan D3. Si pemilik BA merasa lebih bergengsi, lebih tinggi derajatnya tinimbang tamatan SMA, sehingga diplesetkan sebagai ‘belog ajum’.
Sebelum 1980-an, gelar BA di Bali sungguh luar biasa. Kepala sekolah bertitel BA sangat disegani, karena sudah mengenyam pendidikan tinggi. Guru-guru tamatan BA pergi mengajar naik sepeda, namun sangat bergengsi. Padahal belum tentu guru bergelar akademis itu lebih pintar mengajar dibanding guru tamatan SGA. Di tahun-tahun itu bergelar BA menjadi tujuan. Karena menjadi sarjana penuh (S1) sungguh sebuah cita-cita di awan gemawan.
Banyak pegawai negeri yang bergelar BA memegang jabatan penting, menjadi kepala tata usaha, kepala dinas, misalnya. Mereka yang BA atau BSc ini nyaman di eselon yang mereka duduki, sehingga ogah meneruskan kuliah untuk meraih S1. Banyak bisa dijumpai pegawai yang sampai pensiun tetap BA.
Zaman berkembang maju, banyak anak muda yang kemudian kuliah dan menamatkan S1. Para sarjana ini menjadi karyawan dan pesaing para BA itu. Karena pangkat sudah tinggi, para BA ini tidak mau meneruskan kuliah. “Untuk apa, kan tinggal menunggu pensiun?” komentar mereka. Tapi BA yang tergolong muda usia buru-buru kuliah, karena untuk menduduki jabatan mereka harus S2. Itu sebabnya banyak program studi yang membuka kelas ekstra, kelas sore, agar para pekerja dan karyawan ini bisa kuliah S2. Ini peluang besar buat bisnis perkuliahan, yang menyebabkan banyak prodi membuka kelas sore. Yang dibidik jumlah yang kuliah untuk promosi jabatan, mutu lulusan boleh belakangan.
Karena itu tentu keliru kalau ada yang berkomentar orang Bali itu doyan mengejar gelar, lebih keliru lagi kalau mereka berpendapat orang Bali gila gelar. Sesungguhnya orang Bali itu perlu gelar, sebab dengan gelar mereka bisa merebut posisi jabatan. Jika jabatan mereka tinggi, empuk, dan basah, tentu gaji tambah besar, penghasilan bertambah, bisa ditabung buat hari tua dan keturunan.
Tapi, kalau ada yang berpendapat orang Bali juga senang gelar, dan mengagung-agungkan gelar, ada benarnya juga. Di Bali gelar akademis dan gelar sosial sama penting. Gelar akademis untuk mencapai posisi di tempat kerja dan pemerintahan, gelar sosial buat memposisikan diri berderajat lebih tinggi dibanding yang lain. Gelar sosial ini menjadi hebat karena Bali sangat memperhitungkan kasta seseorang. Mereka yang berkasta tinggi, merasa dirinya sebagai kaum bangsawan, merasa diri lebih hebat, dan seakan-akan boleh merendahkan martabat orang yang berkasta lebih rendah.
Gelar akademis harus dicari dengan susah payah, mesti ulet, perlu ongkos tidak sedikit. Orang-orang harus tekun belajar, gigih, untuk bergelar insinyur, sarjana sosial, dokter. Banyak rintangan dan godaan harus dilewati sebelum wisuda. Gelar akademis ini tidak bisa diwariskan kepada siapa pun. Seorang bergelar insinyur hanya dia yang berhak memakainya, tidak bisa dihibahkan kepada anak-anaknya kelak.
Gelar sosial, gelar kebangsawanan, diperoleh tanpa susah payah, bisa didapat otomatis. Jika kakeknya seorang Anak Agung, dia akan menjadi Anak Agung pula, anak-anaknya pun akan memperoleh gelar itu. Sejak lahir seseorang sudah bergelar Ida Bagus, karena lahir dari kalangan brahmana, tak peduli apakah ia punya kemampuan sebagai seorang brahmana atau tidak.
Jika seseorang menggabungkan gelar kebangsawanan dengan gelar akademis, ditambah gelar jabatan dan gelar profesi, wah, namanya bakalan menjadi sangat panjang. Misalnya, Prof Dr dr Cokorda Ngurah Agung Widarta SpPD-KEMD, karena ia dokter spesialis penyakit dalam. Padahal namanya cuma Widarta. Atau Dr Dra Anak Agung Sagung Sayu Malini, SH, MAk, MKn, karena ia kuliah di fakultas ekonomi, akuntan, kuliah di fakultas hukum, kemudian menjadi notaris pembuat akta tanah. Nama aslinya cuma Malini, selebihnya adalah gelar.
Nama itu akan menjadi kian panjang kalau namanya lebih dari satu, karena sekarang banyak orang bernama panjang seperti Ayu Ningrum Puspita Dewi atau Ekajaya Mahardika Utama Putra. Kalau nama-nama ini ditambah nama keluarga, bakalan tambah panjang lagi. Jika menggunakan gelar bangsawan plus gelar akademik sampai S3 tentu menjadi aduhai panjang. Orang Bali menyebut nama yang lantang melembad, artinya panjang bukan main.
Apakah gelar-gelar itu penting? Bagi sebagian orang gelar sangat berarti, kehormatan, membanggakan, bagi sebagian lainnya itu cuma engkah, bahasa Bali yang berarti udara, uap, yang ke luar dari mulut, cuma cuap-cuap. Yang penting kelakuannya, prestasinya. *
Aryantha Soethama
Pengarang
Pengarang
Komentar