MUTIARA WEDA : Kemenangan
Jiwa lalu bebas dari segala pengetahuan konseptual. Segera setelah jiva meninggalkan niskala, nama Sang Hyang Atma tiada lagi, karena Ia tidak bersubstansi.
Sira ta luput ing sarva-jnana mangalpana. Apan sira sari nikang niskala,
marya aran Sang Hyang atma, ri de niran tan pavastu.
(Jnana Siddhanta, 1)
PERAYAAN Hari Raya Galungan memiliki makna sebagai hari kemenangan dharma melawan adharma. Secara umum, masyarakat Hindu Nusantara merayakannya dengan penuh antusias. Sehari sebelum perayaan puncak, masyarakat melaksanakan penampahan sebagai simbol proses pematian segala bentuk hawa nafsu yang ada di dalam diri. Pada acara puncak semua orang pergi sembahyang ke pura-pura untuk mengucap syukur atas anugerah Tuhan, juga memohon kepada-Nya agar segenap alam beserta isinya senantiasa berada dalam lindungan-Nya dan hidup rukun sejahtera. Sehari setelah hari puncak acara, masyarakat merayakan manis Galungan sebagai bentuk kemenangan atas adharma.
Seperti itulah masyarakat mengambil momentum untuk mengingatkan kembali atas peran yang sesungguhnya pada kehidupan ini. Melalui pergulatan yang tiada henti, setiap orang mesti harus berada pada pihak dharma dan berikhtiar untuk senantiasa jauh dari adharma. Hal inilah yang dimaknai sebagai kemenangan. Ketika seseorang mampu menjauhkan tendensi negatifnya dan mampu hidup dalam kebaikan, keadilan, kedamaian, dan tendensi positif lainnya, maka upayanya itu dikatakan telah menang. Jika semua orang berada di dalam dharma, maka harapan akan kehidupan yang lebih baik akan bisa terwujud.
Namun, kemenangan seperti itu masih bersifat fisik dan mental serta baru dalam tataran moral saja. Jika mengacu pada teks di atas, kemenangan yang dimaksud tidaklah sekadar itu. Kemenangan yang sejati bukanlah muncul dari penindasan (agar dharma menjadi menang, maka adharma mesti harus ditindas atau dikalahkan). Teks di atas tidak bicara tentang penindasan atau mengalahkan. Teks di atas bicara kemenangan bukan dalam konteks kalah mengalahkan, melainkan lebih pada eksistensi. Perayaan Galungan mestinya memiliki makna kemenangan eksistensi, yakni mampu melampaui pengetahuan konseptual menuju non-konseptual. Ketika seseorang mampu melampaui pengetahuan konseptual, maka ia dikatakan memiliki pengetahuan tentang atma, dan dalam perjalanannya, atma sebagai entitas pun harus lenyap, karena pada prinsipnya, menurut teks di atas, atma itu bukanlah sebuah substansi.
Kemenangan seperti inilah yang tertinggi. Namun, siapakah dari mereka yang mampu memaknai perayaan Galungan seperti itu? Secara umum, orang memaknai kemenangan dharma melawan adharma dalam konteks ritus dan pesta. Memotong babi ketika penampahan untuk persiapan upacara dan pesta adalah makna yang paling umum orang pahami. Kemudian pada hari puncaknya, orang memahaminya sebagai wujud bhakti, yakni menghaturkan persembahan ke semua pura yang diemponnya atau yang wajib didatangi untuk menghaturkan banten, seperti merajan sendiri, merajan agung, pura dadia, pura kahyangan tiga, pura panti, pura klan, dan yang lainnya. Sementara mereka yang memaknai sebagai wujud pengendalian hawa nafsu hanya beberapa saja. Hari raya Galungan secara umum identik dengan sembahyang dan pesta. Saat pesta, kemungkinan untuk mengendalikan diri sangat kecil.
Sementara itu, orang yang memaknai sampai tingkatan eksistensi jumlahnya jauh lebih sedikit. Hanya mereka yang memiliki bakat lahir dan yang total tekun dalam olah spiritual lah yang mampu menangkap makna ‘kemenangan’ seperti ini. Bagaimana kita mampu membedakan orang dengan pemahaman seperti ini dan orang secara umum? Membedakan orang yang pesta dengan orang yang melakukan pengekangan diri sangat mudah, karena mereka tampaknya saling bertentangan. Yang satu menikmati semua jenis kenikmatan, sementara yang satunya membatasi keinginan-keinginannya. Sementara orang yang telah sampai pada pemahaman eksistensi sulit dikenali di antara orang umum, sebab kita tidak mampu mengindentifikasinya melalui tindakan-tindakannya. Mereka bisa saja ikut larut di dalam pesta dan tampak menikmati segala jenis kenikmatan seperti halnya orang secara umum. Mengapa demikian? Karena segala jenis tindakan tidak akan membelenggunya. Mereka tampak bertindak biasa tetapi kualitas di dalamnya jauh berbeda. Orang biasa larut dalam pesta, sementara orang ini tidak diikat oleh kenikmatannya. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
(Jnana Siddhanta, 1)
PERAYAAN Hari Raya Galungan memiliki makna sebagai hari kemenangan dharma melawan adharma. Secara umum, masyarakat Hindu Nusantara merayakannya dengan penuh antusias. Sehari sebelum perayaan puncak, masyarakat melaksanakan penampahan sebagai simbol proses pematian segala bentuk hawa nafsu yang ada di dalam diri. Pada acara puncak semua orang pergi sembahyang ke pura-pura untuk mengucap syukur atas anugerah Tuhan, juga memohon kepada-Nya agar segenap alam beserta isinya senantiasa berada dalam lindungan-Nya dan hidup rukun sejahtera. Sehari setelah hari puncak acara, masyarakat merayakan manis Galungan sebagai bentuk kemenangan atas adharma.
Seperti itulah masyarakat mengambil momentum untuk mengingatkan kembali atas peran yang sesungguhnya pada kehidupan ini. Melalui pergulatan yang tiada henti, setiap orang mesti harus berada pada pihak dharma dan berikhtiar untuk senantiasa jauh dari adharma. Hal inilah yang dimaknai sebagai kemenangan. Ketika seseorang mampu menjauhkan tendensi negatifnya dan mampu hidup dalam kebaikan, keadilan, kedamaian, dan tendensi positif lainnya, maka upayanya itu dikatakan telah menang. Jika semua orang berada di dalam dharma, maka harapan akan kehidupan yang lebih baik akan bisa terwujud.
Namun, kemenangan seperti itu masih bersifat fisik dan mental serta baru dalam tataran moral saja. Jika mengacu pada teks di atas, kemenangan yang dimaksud tidaklah sekadar itu. Kemenangan yang sejati bukanlah muncul dari penindasan (agar dharma menjadi menang, maka adharma mesti harus ditindas atau dikalahkan). Teks di atas tidak bicara tentang penindasan atau mengalahkan. Teks di atas bicara kemenangan bukan dalam konteks kalah mengalahkan, melainkan lebih pada eksistensi. Perayaan Galungan mestinya memiliki makna kemenangan eksistensi, yakni mampu melampaui pengetahuan konseptual menuju non-konseptual. Ketika seseorang mampu melampaui pengetahuan konseptual, maka ia dikatakan memiliki pengetahuan tentang atma, dan dalam perjalanannya, atma sebagai entitas pun harus lenyap, karena pada prinsipnya, menurut teks di atas, atma itu bukanlah sebuah substansi.
Kemenangan seperti inilah yang tertinggi. Namun, siapakah dari mereka yang mampu memaknai perayaan Galungan seperti itu? Secara umum, orang memaknai kemenangan dharma melawan adharma dalam konteks ritus dan pesta. Memotong babi ketika penampahan untuk persiapan upacara dan pesta adalah makna yang paling umum orang pahami. Kemudian pada hari puncaknya, orang memahaminya sebagai wujud bhakti, yakni menghaturkan persembahan ke semua pura yang diemponnya atau yang wajib didatangi untuk menghaturkan banten, seperti merajan sendiri, merajan agung, pura dadia, pura kahyangan tiga, pura panti, pura klan, dan yang lainnya. Sementara mereka yang memaknai sebagai wujud pengendalian hawa nafsu hanya beberapa saja. Hari raya Galungan secara umum identik dengan sembahyang dan pesta. Saat pesta, kemungkinan untuk mengendalikan diri sangat kecil.
Sementara itu, orang yang memaknai sampai tingkatan eksistensi jumlahnya jauh lebih sedikit. Hanya mereka yang memiliki bakat lahir dan yang total tekun dalam olah spiritual lah yang mampu menangkap makna ‘kemenangan’ seperti ini. Bagaimana kita mampu membedakan orang dengan pemahaman seperti ini dan orang secara umum? Membedakan orang yang pesta dengan orang yang melakukan pengekangan diri sangat mudah, karena mereka tampaknya saling bertentangan. Yang satu menikmati semua jenis kenikmatan, sementara yang satunya membatasi keinginan-keinginannya. Sementara orang yang telah sampai pada pemahaman eksistensi sulit dikenali di antara orang umum, sebab kita tidak mampu mengindentifikasinya melalui tindakan-tindakannya. Mereka bisa saja ikut larut di dalam pesta dan tampak menikmati segala jenis kenikmatan seperti halnya orang secara umum. Mengapa demikian? Karena segala jenis tindakan tidak akan membelenggunya. Mereka tampak bertindak biasa tetapi kualitas di dalamnya jauh berbeda. Orang biasa larut dalam pesta, sementara orang ini tidak diikat oleh kenikmatannya. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
1
Komentar