Lontar Karya Wayan Mudita Dikoleksi Tiga Kepala Negara
Setelah 61 tahun menulis di daun lontar, I Wayan Mudita Adnyana, 87, akhirnya behenti berkarya.
AMLAPURA, NusaBali
Usianya telah senja sehingga tidak kuat lagi pegang pangrupak (pisau tulis). Karya seniman asal Banjar Adat Kauh, Desa Pakraman Tenganan Pagringsingan, Kecamatan Manggis, Karangasem ini dikoleksi tiga kepala negara. Meski ‘pensiun’ menulis lontar, ia tetap berkesenian dan beralih sebagai pembina gender wayang kulit.
Wayan Mudita berhenti menulis di daun lontar sejak Januari 2018. Seluruh pangrupak dan delapan keropak lontar disimpan di kotak kaca. Mirip museum mini, lengkap dengan foto-foto kegiatan dan memajang piagam penghargaan. Lontar yang disalinnya masih dipajang, enggan dijual. Ayah 5 anak, 10 cucu, dan 7 cicit yang tinggal sendirian di rumahnya ini juga memajang foto bersama Presiden Italia Sandro Pertini yang pernah berkunjung pada 6 Juli 1983, Perdana Menteri Selandia Baru Hellene Clark (7 Januari 1988), dan Presiden/Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri, 31 Desember 2001.
Tercatat Presiden Italia Sandro Pertini membeli lontar Baratha Yudha senilai Rp 10.000. Perdana Menteri Selandia Baru Hellene Clark membeli lontar Baratha Yudha senilai Rp 246.000, dan Megawati Soekarnoputri, saat itu masih menjabat Wakil Presiden RI, membeli lontar Ramayana senilai Rp 500.000. Selain mahir menulis di daun lontar, ia juga cakap menggambar di daun lontar yang lebih lazim disebut sebagai karya seni lukis prasi. Dia menggambar di daun lontar lengkap dengan teks sesuai alur cerita. Misalnya cerita Ramayana dan Sutasoma. “Sekarang saya tidak lagi mampu menulis di daun lontar, fisik tidak kuat lagi. Banyak yang ingin membeli lontar di dalam keropak itu, tidak saya jual,” kata Wayan Mudita, Rabu (6/6).
Lontar dalam keropak itulah kebanggaannya sebagai hasil karyanya selama ini. “Jika semua itu dijual, saya tidak lagi punya kebanggaan, yang tersisa nanti berupa foto-foto kenangan,” ucapnya. Wayan Mudita pernah meraih penghargaan juara II menulis di daun lontar Tingkat Provinsi Bali tahun 1984 dan meraih piagam Dharma Kusuma Madia dari Bupati Karangasem tahun 1987. Kelahiran 16 September 1931 ini aktif menulis di daun lontar sejak tahun 1957, saat usianya 26 tahun, sedangkan menulis cerita Mahabharata dan Sutasoma mulai tahun 1972. Hanya saja ketrampilannya itu tak menurun ke sentana (anak-anaknya). “Tidak ada yang senang menulis di daun lontar, apalagi anak-anak muda sekarang, hobinya beda,” katanya. *k16
Usianya telah senja sehingga tidak kuat lagi pegang pangrupak (pisau tulis). Karya seniman asal Banjar Adat Kauh, Desa Pakraman Tenganan Pagringsingan, Kecamatan Manggis, Karangasem ini dikoleksi tiga kepala negara. Meski ‘pensiun’ menulis lontar, ia tetap berkesenian dan beralih sebagai pembina gender wayang kulit.
Wayan Mudita berhenti menulis di daun lontar sejak Januari 2018. Seluruh pangrupak dan delapan keropak lontar disimpan di kotak kaca. Mirip museum mini, lengkap dengan foto-foto kegiatan dan memajang piagam penghargaan. Lontar yang disalinnya masih dipajang, enggan dijual. Ayah 5 anak, 10 cucu, dan 7 cicit yang tinggal sendirian di rumahnya ini juga memajang foto bersama Presiden Italia Sandro Pertini yang pernah berkunjung pada 6 Juli 1983, Perdana Menteri Selandia Baru Hellene Clark (7 Januari 1988), dan Presiden/Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri, 31 Desember 2001.
Tercatat Presiden Italia Sandro Pertini membeli lontar Baratha Yudha senilai Rp 10.000. Perdana Menteri Selandia Baru Hellene Clark membeli lontar Baratha Yudha senilai Rp 246.000, dan Megawati Soekarnoputri, saat itu masih menjabat Wakil Presiden RI, membeli lontar Ramayana senilai Rp 500.000. Selain mahir menulis di daun lontar, ia juga cakap menggambar di daun lontar yang lebih lazim disebut sebagai karya seni lukis prasi. Dia menggambar di daun lontar lengkap dengan teks sesuai alur cerita. Misalnya cerita Ramayana dan Sutasoma. “Sekarang saya tidak lagi mampu menulis di daun lontar, fisik tidak kuat lagi. Banyak yang ingin membeli lontar di dalam keropak itu, tidak saya jual,” kata Wayan Mudita, Rabu (6/6).
Lontar dalam keropak itulah kebanggaannya sebagai hasil karyanya selama ini. “Jika semua itu dijual, saya tidak lagi punya kebanggaan, yang tersisa nanti berupa foto-foto kenangan,” ucapnya. Wayan Mudita pernah meraih penghargaan juara II menulis di daun lontar Tingkat Provinsi Bali tahun 1984 dan meraih piagam Dharma Kusuma Madia dari Bupati Karangasem tahun 1987. Kelahiran 16 September 1931 ini aktif menulis di daun lontar sejak tahun 1957, saat usianya 26 tahun, sedangkan menulis cerita Mahabharata dan Sutasoma mulai tahun 1972. Hanya saja ketrampilannya itu tak menurun ke sentana (anak-anaknya). “Tidak ada yang senang menulis di daun lontar, apalagi anak-anak muda sekarang, hobinya beda,” katanya. *k16
Komentar