Pelet TOSS Perlu Campuran 15 Persen Sampah Plastik
Program Tempat Olah Sampah Sementara (TOSS) yang sudah diterapkan oleh 12 desa di Klungkung, cukup efektif memanfaatkan sampah organik menjadi energi terbarukan berupa pelet.
SEMARAPURA, NusaBali
Pelet ini dijadikan energi listrik. Setelah pelet itu diujicoba di Bandung dan Jakarta, ternyata kandungan energinya hanya 2.600 kal (kalori). Akhirnya setelah diteliti untuk menambah kadungan energi pelet tersebut, perlu dicampur sampah non organik (sampah plastik) lagi 15 persen. Sehingga energi yang dihasilkan pelet tersebut lebih optimal yakni 3.500 kal. “Jadi campurannya 85 persen sampah organik dan 15 persen sampah non organik. Ini sudah diterapkan sejak Mei 2018, kalau sebelumnya murni sampah organik,” ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (DLHP) Klungkung Anak Agung Kirana, Kamis (7/6).
Kata Kirana, melalui program TOSS ini sampah-sampah baik di kota maupuan di desa bisa dimanfaatkan menjadi energi terbarukan. TOSS juga dilirik oleh desa-desa di Klungkung, setidaknya sampai saat ini sudah 12 desa menerapkan TOSS yang dikelola lewat BUMDes. “Kami terus dorong desa agar menerapkan TOSS. Terpenting kami menggugah hati masyarakat agar menjaga lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan, terutama sampah plastik,” ujarnya.
Kirana menjelaskan, keunggulan dari TOSS yakni sampah diolah secara langsung melalui proses peuyeumisasi, briketisasi/peletisasi, dan gasifikasi, dengan menggunakan bio activator, dalam waktu tiga hari bau hilang. Kemudian dalam waktu 10 hari, volume sampah sudah berkurang. Program TOSS akan menghasilkan briket dan pelet dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk proses memasak dan listrik. Bahkan pelet itu sudah bisa dijual, seperti halnya TOSS yang dikelola oleh Desa Gunaksa, Kecamatan Dawan, Klungkung. “Kami hanya memfasilitasi penjulaan pelet ini. Kesepakatan dan kerjasamanya antara pihak desa dan PT Indonesia Power,” ungkapnya.
Perbekel Gunaksa I Ketut Budiarta mengatakan, pihaknya baru bisa menjual satu ton pelet. Adapun pelet hasil pengolahan sampah di Desa Gunaksa dihargai Rp 300 per kilogram. Harga itu dinilai sangat murah jika dibandingkan dengan biaya operasional. Harga ini belum mampu menutupi biaya operasional. Menurutnya, idealnya peletnya dibeli dengan harga berkisar Rp 600 - Rp 800 per kilogram. Karena untuk menggaji pegawai kami mengeluarkan uang Rp 10 juta per bulan. Belum lagi biaya operasional lainnya. “Kami tidak terlalu mempersoalkan hal tersebut, yang terpenting desa bersih dari sampah,” ujarnya belum lama ini.
General Manager PT Indonesia Power Unit Pembangkit Bali IGAN Subawa Putra mengatakan jika harga yang diberikan terbilang murah. Harga yang diterapkan adalah harga skala industri. ‘’Jadi kalau harga skala industri pasti kami bandingkan dengan harga bahan bakar sejenis yang dimanfaatkan di pembangkit listrik. Kami akan mengkaji untuk menemukan nilai keekonomisan dari pelet ini, untuk harga saat ini memang masih belum optimal harga sekarang,” katanya. *wan
Pelet ini dijadikan energi listrik. Setelah pelet itu diujicoba di Bandung dan Jakarta, ternyata kandungan energinya hanya 2.600 kal (kalori). Akhirnya setelah diteliti untuk menambah kadungan energi pelet tersebut, perlu dicampur sampah non organik (sampah plastik) lagi 15 persen. Sehingga energi yang dihasilkan pelet tersebut lebih optimal yakni 3.500 kal. “Jadi campurannya 85 persen sampah organik dan 15 persen sampah non organik. Ini sudah diterapkan sejak Mei 2018, kalau sebelumnya murni sampah organik,” ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan (DLHP) Klungkung Anak Agung Kirana, Kamis (7/6).
Kata Kirana, melalui program TOSS ini sampah-sampah baik di kota maupuan di desa bisa dimanfaatkan menjadi energi terbarukan. TOSS juga dilirik oleh desa-desa di Klungkung, setidaknya sampai saat ini sudah 12 desa menerapkan TOSS yang dikelola lewat BUMDes. “Kami terus dorong desa agar menerapkan TOSS. Terpenting kami menggugah hati masyarakat agar menjaga lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan, terutama sampah plastik,” ujarnya.
Kirana menjelaskan, keunggulan dari TOSS yakni sampah diolah secara langsung melalui proses peuyeumisasi, briketisasi/peletisasi, dan gasifikasi, dengan menggunakan bio activator, dalam waktu tiga hari bau hilang. Kemudian dalam waktu 10 hari, volume sampah sudah berkurang. Program TOSS akan menghasilkan briket dan pelet dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk proses memasak dan listrik. Bahkan pelet itu sudah bisa dijual, seperti halnya TOSS yang dikelola oleh Desa Gunaksa, Kecamatan Dawan, Klungkung. “Kami hanya memfasilitasi penjulaan pelet ini. Kesepakatan dan kerjasamanya antara pihak desa dan PT Indonesia Power,” ungkapnya.
Perbekel Gunaksa I Ketut Budiarta mengatakan, pihaknya baru bisa menjual satu ton pelet. Adapun pelet hasil pengolahan sampah di Desa Gunaksa dihargai Rp 300 per kilogram. Harga itu dinilai sangat murah jika dibandingkan dengan biaya operasional. Harga ini belum mampu menutupi biaya operasional. Menurutnya, idealnya peletnya dibeli dengan harga berkisar Rp 600 - Rp 800 per kilogram. Karena untuk menggaji pegawai kami mengeluarkan uang Rp 10 juta per bulan. Belum lagi biaya operasional lainnya. “Kami tidak terlalu mempersoalkan hal tersebut, yang terpenting desa bersih dari sampah,” ujarnya belum lama ini.
General Manager PT Indonesia Power Unit Pembangkit Bali IGAN Subawa Putra mengatakan jika harga yang diberikan terbilang murah. Harga yang diterapkan adalah harga skala industri. ‘’Jadi kalau harga skala industri pasti kami bandingkan dengan harga bahan bakar sejenis yang dimanfaatkan di pembangkit listrik. Kami akan mengkaji untuk menemukan nilai keekonomisan dari pelet ini, untuk harga saat ini memang masih belum optimal harga sekarang,” katanya. *wan
Komentar