MUTIARA WEDA : Memaafkan dan Membangun Ahimsa
Membangun sikap memaafkan dan tanpa kekerasan tidaklah mudah. Diperlukan upaya terus menerus untuk itu.
Satu karakter yang bisa dijadikan landasan untuk menumbuhkan ini adalah kesabaran. Ketika kita pergi keluar dari lingkungan tinggal, kita harus menguasasi tigal hal yakni, adaptasi, adjustment, dan akomodatif. Jika tidak, kita akan complain terhadap apapun yang tidak sesuai dengan kita. Pikiran yang complain mengandung kekerasan di dalamnya, dan ini sangat tidak bagus jika dibiarkan. Jika pikiran seperti ini muncul harus segera dihilangkan, dan upayakan ketiga cara di atas (adaptasi, adjustment, dan akomodatif) berjalan sehingga pikiran kembali tenang. Jadi jangan terlalu banyak harapan terhadap sesuatu yang ada di lingkungan. Biarkan itu mengalir apa adanya. Ketika mampu bersikap seperti itu, kita akan memiliki kemampuan untuk mengatakan terima kasih secara tulus terhadap siapa pun dalam segala situasi. Jika ada perbedaan budaya, kita harus terima seperti itu dan kita segera melupakan pikiran complain itu dan memaafkannya.
Salah satu hal paling penting dalam mengembangkan sikap memaafkan dan membangun ahimsa adalah dengan tetap kalem ketika seseorang menyakiti kita, ketika mereka berbicara kepada kita secara kasar. Sehingga muncul perasaan sama, baik dalam kesenangan atau dalam penderitaan, dalam panas dan dingin. Saat orang lain menyerang kita, yang diserang sebenarnya adalah ego kita, sesuatu yang berhubungan dengan konsepsi kita secara mental. Secara naluri kita sebenarnya ingin baik terus dan tidak bisa menerima hal yang buruk. Ini adalah kesadaran ego yang natural di dalam diri seseorang. Meskipun kita memiliki sifat yang kurang baik, tetapi ego kita tidak siap menerimanya ketika disentil. Kadang orang berkata jujur apa adanya kepada kita tentang kekurangan kita dan dia maksudnya tidak menyakiti kita, tetapi ketika kita mendengar kata-katanya, hati kita mulai panas dan memunculkan dendam. Mungkin di awal kita masih bisa tersenyum ketika orang itu menyalahkan kita, tetapi darah yang mengalir di dalam diri kita panas, hati k
ita tetap panas. Namun, kita tidak bisa membohongi diri dengan tetap tersenyum dalam setahun. Suatu waktu hal itu meledak dan menyerang balik orang yang berbicara menyakiti kita.
Maka dari itu, untuk bisa hidup meditatif, tetap tenang di saat orang menyakiti kita adalah kunci awal. Jadi pikiran harus bebas dari complain, rasa tidak senang, dan dari trauma masa lalu. Masalahnya, kenapa kita terpengaruh ketika orang menyakiti kita? Karena ego kita lemah. Ego lemah artinya terlalu banyak ego. Personalitas kita lemah jika terlalu banyak ego. Jika ego kita sedikit dan bahkan lenyap, maka kehidupan meditatif akan berkembang dengan baik. Untuk itu, perlu menumbuhkan karakter agar tidak terpengaruh terhadap apapun. Personalitas yang lemah selalu tergantung dengan pergaulan dengan orang baik agar dirinya tetap baik. Tetapi, kita tidak selamanya bisa dalam pergaulan yang baik. Hidup kita senantiasa berubah. Ketika kita berada di Ashram, duduk dekat dengan guru, di Rishikesh, kita mudah menjadi tenang, tetapi ketika kita menghadapi kehidupan yang real, apakah kita mampu tetap tidak terpengaruh oleh suasana buruk lingkungan sekitar? Hanya masalahnya, kita harus menjadi Yogi, jika ingin hidup ini berarti, sehingga kita harus memiliki personalitas yang kuat. Dimana pun dan dalam situasi apapun kita harus menjalankan sadhana agar pertumbuhan spiritual kita tetap baik. Jangan sampai lingkungan sekitar merusak sadhana kita.
Permasalahan yang dihadapi bagi kita yang berada dalam jalan yoga adalah kita terkadang tidak mampu menerima dan menjalankan seperti apa yang harus diperintahkan. Guru kita meminta untuk melakukan kegiatan tertentu, tetapi kita tidak melakukannya. Seperti misalnya seseorang yang memiliki penyakit kanker. Dia pergi ke dokter untuk berobat, tetapi karena obat yang diberikan pahit dan dia tidak suka dengan hal yang pahit, dia tidak mau minum obat itu. Apa yang terjadi? Kanker itu akan tetap ada di tubuhnya. Seperti inilah keadaan pendidikan dewasa ini. Murid hanya mendengar dan menjalankan hanya pada apa yang disukainya. Jika dia tidak suka, walaupun itu vital bagi kehidupannya, dia meninggalkannya. Tetapi, jika kita ingin berubah dan berniat menjadi seorang Yogi, kita harus bersedia 100 persen menerima saran, kritik, dan apapun yang dikatakan kepada kita tentang diri kita. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
1
Komentar