Papua ‘Lubang Hitam’ Pelanggaran HAM
Lembaga pemantau hak asasi manusia Amnesty International Indonesia mencatat aparat keamanan telah melakukan pembunuhan di luar hukum (unlawful killings) terhadap 95 orang di provinsi Papua dan Papua Barat, dalam kurun waktu kurang dari delapan tahun.
JAKARTA, NusaBali
Menurut mereka, hampir semua pelaku belum pernah diadili lewat sebuah mekanisme hukum yang independen. Dalam laporan berjudul "Sudah, Kasi Tinggal Di Mati': Pembunuhan dan Impunitas di Papua", Amnesty menemukan mayoritas dari korban, yakni 85 di antaranya, adalah Orang Asli Papua (OAP). Hal itu menambah panjang daftar pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dilakukan Polri dan TNI di bumi Cenderawasih.
"TNI menyatakan setiap ada tindakan kekerasan itu pastilah karena ada tindakan separatisme... Namun laporan ini menggambarkan bagaimana polisi dan militer menembak mati para aktivis kemerdekaan dan pengunjuk rasa yang melakukan aksi protes damai, serta puluhan warga Papua lainnya yang tidak terkait dengan gerakan kemerdekaan, termasuk seorang pemuda yang mengalami gangguan jiwa," terang Usmad Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (2/7) seperti dilansir cnnindonesia.
Sebanyak 95 orang itu adalah korban dalam 69 insiden pembunuhan di luar hukum antara Januari 2010 dan Februari 2018. Sebanyak 56 korban di antaranya dibunuh dalam konteks non-kemerdekaan, dan 39 lainnya terkait dengan kegiatan pro-kemerdekaaan yang damai, seperti unjuk rasa atau pengibaran bendera Bintang Kejora yang sempat dilegalkan di masa Gus Dur.
Tak hanya itu, tiga anak-anak dan 18 remaja juga menjadi korban dari pelanggaran HAM ini. Sayangnya lagi tak ada keadilan pada korban dan keluarga. Mereka hanya diberi Rp125 juta oleh pemerintah sebagai uang duka. Usman menilai kasus kasus ini merupakan noda hitam Indonesia.
"Papua merupakan salah satu lubang hitam pelanggaran HAM di Indonesia. Di wilayah ini, pasukan keamanan membunuh wanita, pria dan anak-anak selama bertahun-tahun, tanpa kemungkinan untuk dimintai pertanggungjawaban dalam suatu mekanisme hukum yang independen," kata Usman.
Laporan tersebut menunjukkan insiden pembunuhan di luar hukum sebagai akibat dari pelanggaran individu petugas keamanan di Papua yang merenggut nyawa 95 orang. Sebanyak 39 orang meninggal di tangan polisi, 27 di tangan militer, 28 meninggal akibat operasi polisi dan militer, dan satu korban meninggal karena tembakan Satpol PP.
Sementara itu, Mabes Polri meminta Amnesty International Indonesia lebih berimbang dalam memaparkan data soal pelanggaram HAM yang terjadi di Papua. Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto meminta lembaga yang bergerak menyuarakan pengungkapan HAM itu turut membeberkan data terutama soal anggota polisi yang tewas di Papua.
"Iyalah (harus dibuka) yang gugur berapa, TNI dan masyarakat yang gugur berapa. Kemarin ada masyarakat yang tertembak kemudian ada anaknya yang dibacok itu polisi harus gimana? Apa melanggar HAM?," kata Setyo di Mabes Polri Jakarta, Senin (2/7). Apakah dia hanya melihat aktivis saja? Masyarakat dan polisi yang di sana bagaiamana? Apakah polisi dan TNI bukan manusia? Yang fair dong," lanjut dia. *
Menurut mereka, hampir semua pelaku belum pernah diadili lewat sebuah mekanisme hukum yang independen. Dalam laporan berjudul "Sudah, Kasi Tinggal Di Mati': Pembunuhan dan Impunitas di Papua", Amnesty menemukan mayoritas dari korban, yakni 85 di antaranya, adalah Orang Asli Papua (OAP). Hal itu menambah panjang daftar pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dilakukan Polri dan TNI di bumi Cenderawasih.
"TNI menyatakan setiap ada tindakan kekerasan itu pastilah karena ada tindakan separatisme... Namun laporan ini menggambarkan bagaimana polisi dan militer menembak mati para aktivis kemerdekaan dan pengunjuk rasa yang melakukan aksi protes damai, serta puluhan warga Papua lainnya yang tidak terkait dengan gerakan kemerdekaan, termasuk seorang pemuda yang mengalami gangguan jiwa," terang Usmad Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (2/7) seperti dilansir cnnindonesia.
Sebanyak 95 orang itu adalah korban dalam 69 insiden pembunuhan di luar hukum antara Januari 2010 dan Februari 2018. Sebanyak 56 korban di antaranya dibunuh dalam konteks non-kemerdekaan, dan 39 lainnya terkait dengan kegiatan pro-kemerdekaaan yang damai, seperti unjuk rasa atau pengibaran bendera Bintang Kejora yang sempat dilegalkan di masa Gus Dur.
Tak hanya itu, tiga anak-anak dan 18 remaja juga menjadi korban dari pelanggaran HAM ini. Sayangnya lagi tak ada keadilan pada korban dan keluarga. Mereka hanya diberi Rp125 juta oleh pemerintah sebagai uang duka. Usman menilai kasus kasus ini merupakan noda hitam Indonesia.
"Papua merupakan salah satu lubang hitam pelanggaran HAM di Indonesia. Di wilayah ini, pasukan keamanan membunuh wanita, pria dan anak-anak selama bertahun-tahun, tanpa kemungkinan untuk dimintai pertanggungjawaban dalam suatu mekanisme hukum yang independen," kata Usman.
Laporan tersebut menunjukkan insiden pembunuhan di luar hukum sebagai akibat dari pelanggaran individu petugas keamanan di Papua yang merenggut nyawa 95 orang. Sebanyak 39 orang meninggal di tangan polisi, 27 di tangan militer, 28 meninggal akibat operasi polisi dan militer, dan satu korban meninggal karena tembakan Satpol PP.
Sementara itu, Mabes Polri meminta Amnesty International Indonesia lebih berimbang dalam memaparkan data soal pelanggaram HAM yang terjadi di Papua. Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto meminta lembaga yang bergerak menyuarakan pengungkapan HAM itu turut membeberkan data terutama soal anggota polisi yang tewas di Papua.
"Iyalah (harus dibuka) yang gugur berapa, TNI dan masyarakat yang gugur berapa. Kemarin ada masyarakat yang tertembak kemudian ada anaknya yang dibacok itu polisi harus gimana? Apa melanggar HAM?," kata Setyo di Mabes Polri Jakarta, Senin (2/7). Apakah dia hanya melihat aktivis saja? Masyarakat dan polisi yang di sana bagaiamana? Apakah polisi dan TNI bukan manusia? Yang fair dong," lanjut dia. *
1
Komentar