MUTIARA WEDA : Menemukan Keheningan
Melihat yang tidak terlihat dan tahu yang tidak diketahui
Katemunta mareka si tan katemu, kahidepta mareka tan kahidep
(Arjuna Wiwaha 11.2)
Paradoks adalah tradisi dalam Hindu. Mengapa demikian? Karena kebijaksanaan muncul dari perasan pergulatan dua hal yang saling bertentangan. Kebijaksanaan bukan muncul dari sekedar kumpulan pengetahuan kitab suci. Kebijaksanaan tidak muncul hanya dari nasehat-nasehat tentang kebaikan. Kebijaksanaan muncul dari pergulatan dualitas kehidupan yang tak berujung. Baik dan buruk, sudah dan senang, sakit dan sehat, bahagia dan menderita adalah realitas hidup setiap orang, tetapi sangat sedikit dari mereka yang mampu hidup berdamai dengan realitas tersebut. Hanya sedikit dari mereka yang hidup damai dengan paradoks kehidupan. Secara alami, manusia memiliki tabiat untuk berjuang dan alasan perjuangan tersebut adalah untuk kehidupan yang lebih baik. Mereka melihat kehidupan yang lebih baik itu jauh di depan dan kehidupan yang ada saat ini hanyalah penderitaan.
Cita-cita kehidupan yang lebih baik adalah sebuah harapan yang digantungkan di masa depan, sementara realita kehidupan ada di saat ini. Teks di atas mengindikasikan sebuah paradoks kehidupan yang tidak hanya berhubungan dengan situasi baik dan tidak baik atau tinggi dan rendah, melainkan paradoks yang lebih bersifat epistemic yang memerlukan perenungan dan kecerdasan budhi. Realitas kehidupan kita adalah yang terlihat dan yang tidak terlihat, diketahui sekaligus tidak diketahui. Ada sesuatu yang dapat dipahami dan pada saat bersamaan yang dipahami tersebut adalah misteri. Keduanya ada secara berdampingan dan terjadi secara bersamaan. Hanya saja kita tidak mampu menginjakkan kaki kita di kedua tempat tersebut secara bersamaan. Artinya, ketika kita merasa bahwa kita mengetahui, yang kita tahu hanya mengetahui, dan kita tidak mampu mengetahui bahwa apa yang diketahui tersebut sesuangguhnya tidak diketahui atau misteri, dan seterusnya.
Teks di atas mencoba mengindikasikan hal ini dengan menyebut ‘melihat yang tidak terlihat dan mengetahui yang tidak diketahui’. Secara intelek, hal itu tampak tidak mungkin. Mengapa? Karena intelek hanya mampu berdiri di atas satu tempat dan tidak mampu berada pada keduanya secara seimbang. Intelek tidak mampu menangkap arti ‘mengetahuai dari yang tidak diketahui’. Bagaimana cara intelek kita bekerja sehingga pernyataan ini tidak bisa dipahaminya? Intelek melihat bahwa jika yang tidak diketahui kemudian menjadi diketahui, maka yang ada hanya yang diketahui saja dan tidak ada yang tidak diketahui. Tetapi teks di atas memposisikan antara yang diketahui dan yang tidak diketahui sejajar dan ada bersamaan.
Seperti itulah paradoksnya. Hindu mengajak kita untuk menyelami dan menikmati keindahannya. Hindu mengajak kita untuk mampu duduk pada tempat yang berbeda-beda secara bersamaan. Hindu mengajak kita tidak berperang pada salah satu wajah dari dualitas tersebut, melainkan menemukan esensi dari dualitas tersebut. Bagaimana caranya? Kita diajak untuk menyelami struktur dualitas itu, dan struktur itu dapat diselami hanya ketika kita melakukan eksperimen. Hanya ketika eksperimen itu berhasil, maka kita akan mampu menemukan kebijaksanaan. Ibarat lotus, hanya ketika ia mampu tumbuh dan berkembang di atas lumpur, bunga yang indah baru bisa mekar.
Eksperimen apa yang bisa kita gunakan untuk bisa duduk dalam paradoks tersebut? Salah satu yang paling terkenal adalah dengan jalan menggunakan intelek. Bagaimana mungkin intelek bisa digunakan jika dirinya hanya bisa duduk pada satu sisi saja dari dualitas tersebut. Intelek bisa digunakan dengan analisis teori ‘api membakar’. Api membakar semua bahan bakar yang ada. Setelah bahan bakar habis, dia akan membakar dirinya sampai habis. Dengan cara ini, intelek akan menganalis paradoks tersebut. Setelah semua mampu dianalisis, intelek akan perlahan menganalisis dirinya. Semakin intelek masuk ke dalam dirinya, maka ia akan membakar dirinya. Ketika intelek telah menghancurkan dirinya, maka yang ada hanya keheningan. Di dalam keheningan inilah kebijaksanaan bisa dipetik. Kebijaksanaan mekar dari keheningan yang telah lepas dari dualitas. Teknik yang lain juga ada banyak, tetapi prinsipnya tetap sama, yakni untuk meraih keheningan itu sendiri, dan konsekuansinya, kebijaksanaan mekar.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Paradoks adalah tradisi dalam Hindu. Mengapa demikian? Karena kebijaksanaan muncul dari perasan pergulatan dua hal yang saling bertentangan. Kebijaksanaan bukan muncul dari sekedar kumpulan pengetahuan kitab suci. Kebijaksanaan tidak muncul hanya dari nasehat-nasehat tentang kebaikan. Kebijaksanaan muncul dari pergulatan dualitas kehidupan yang tak berujung. Baik dan buruk, sudah dan senang, sakit dan sehat, bahagia dan menderita adalah realitas hidup setiap orang, tetapi sangat sedikit dari mereka yang mampu hidup berdamai dengan realitas tersebut. Hanya sedikit dari mereka yang hidup damai dengan paradoks kehidupan. Secara alami, manusia memiliki tabiat untuk berjuang dan alasan perjuangan tersebut adalah untuk kehidupan yang lebih baik. Mereka melihat kehidupan yang lebih baik itu jauh di depan dan kehidupan yang ada saat ini hanyalah penderitaan.
Cita-cita kehidupan yang lebih baik adalah sebuah harapan yang digantungkan di masa depan, sementara realita kehidupan ada di saat ini. Teks di atas mengindikasikan sebuah paradoks kehidupan yang tidak hanya berhubungan dengan situasi baik dan tidak baik atau tinggi dan rendah, melainkan paradoks yang lebih bersifat epistemic yang memerlukan perenungan dan kecerdasan budhi. Realitas kehidupan kita adalah yang terlihat dan yang tidak terlihat, diketahui sekaligus tidak diketahui. Ada sesuatu yang dapat dipahami dan pada saat bersamaan yang dipahami tersebut adalah misteri. Keduanya ada secara berdampingan dan terjadi secara bersamaan. Hanya saja kita tidak mampu menginjakkan kaki kita di kedua tempat tersebut secara bersamaan. Artinya, ketika kita merasa bahwa kita mengetahui, yang kita tahu hanya mengetahui, dan kita tidak mampu mengetahui bahwa apa yang diketahui tersebut sesuangguhnya tidak diketahui atau misteri, dan seterusnya.
Teks di atas mencoba mengindikasikan hal ini dengan menyebut ‘melihat yang tidak terlihat dan mengetahui yang tidak diketahui’. Secara intelek, hal itu tampak tidak mungkin. Mengapa? Karena intelek hanya mampu berdiri di atas satu tempat dan tidak mampu berada pada keduanya secara seimbang. Intelek tidak mampu menangkap arti ‘mengetahuai dari yang tidak diketahui’. Bagaimana cara intelek kita bekerja sehingga pernyataan ini tidak bisa dipahaminya? Intelek melihat bahwa jika yang tidak diketahui kemudian menjadi diketahui, maka yang ada hanya yang diketahui saja dan tidak ada yang tidak diketahui. Tetapi teks di atas memposisikan antara yang diketahui dan yang tidak diketahui sejajar dan ada bersamaan.
Seperti itulah paradoksnya. Hindu mengajak kita untuk menyelami dan menikmati keindahannya. Hindu mengajak kita untuk mampu duduk pada tempat yang berbeda-beda secara bersamaan. Hindu mengajak kita tidak berperang pada salah satu wajah dari dualitas tersebut, melainkan menemukan esensi dari dualitas tersebut. Bagaimana caranya? Kita diajak untuk menyelami struktur dualitas itu, dan struktur itu dapat diselami hanya ketika kita melakukan eksperimen. Hanya ketika eksperimen itu berhasil, maka kita akan mampu menemukan kebijaksanaan. Ibarat lotus, hanya ketika ia mampu tumbuh dan berkembang di atas lumpur, bunga yang indah baru bisa mekar.
Eksperimen apa yang bisa kita gunakan untuk bisa duduk dalam paradoks tersebut? Salah satu yang paling terkenal adalah dengan jalan menggunakan intelek. Bagaimana mungkin intelek bisa digunakan jika dirinya hanya bisa duduk pada satu sisi saja dari dualitas tersebut. Intelek bisa digunakan dengan analisis teori ‘api membakar’. Api membakar semua bahan bakar yang ada. Setelah bahan bakar habis, dia akan membakar dirinya sampai habis. Dengan cara ini, intelek akan menganalis paradoks tersebut. Setelah semua mampu dianalisis, intelek akan perlahan menganalisis dirinya. Semakin intelek masuk ke dalam dirinya, maka ia akan membakar dirinya. Ketika intelek telah menghancurkan dirinya, maka yang ada hanya keheningan. Di dalam keheningan inilah kebijaksanaan bisa dipetik. Kebijaksanaan mekar dari keheningan yang telah lepas dari dualitas. Teknik yang lain juga ada banyak, tetapi prinsipnya tetap sama, yakni untuk meraih keheningan itu sendiri, dan konsekuansinya, kebijaksanaan mekar.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar