Kosmologi Tanah di Bali
Secara turun temurun, tanah menjadi bagian penting kedaulatan krama Hindu di Bali.
Tanah bukan sekadar wujud kepemilikan, tetapi sebagai identitas jiwani yang sakral dan menghidupi. Apabila ada yang menghianati hakikat tersebut, medan pertarungan budaya tidak mustahil akan terjadi di gumi Bali. Itu terjadi dikarenakan tanah merupakan sebuah kedaulatan. Namun saat ini, tanah telah menjadi kontestasi ekonomi dan politik.
Di Bali persoalan tanah bergantian menghiasi media massa. Berbagai kasus tanah lainnya menunggu daya ledak. Alih fungsi lahan pertanian mengakibatkan tersumbatnya ritual di pura Subak. Tanah pelaba pura yang dikonversi menjadi kafé atau usaha wisata sering mengalirkan konflik. Badan Pertanahan Nasional pernah merilis 4.005 kasus tanah, dan sekitar 100-an terjadi di Bali. Artinya, potensi kekacauan antara krama Bali dengan penguasa semakin tampak ke permukaan. Di balik sejengkal tanah, tersimpan kuasa ekonomi dan nafsu politik untuk meniadakan kedaulatan krama Hindu di Bali atas milik dan kemerdekaan di gumi Bali ini?
Di masa silam tanah menjadi bagian sengketa sosial, antarkeluarga, warga, maupun kelompok di Bali. Dari historiografi Bali dapat disaksikan lipatan-lipatan kisah kontestasi antarmereka. Sejak tanah menjadi komoditas ekonomi, antarpemilik modal dengan krama miskin, kontestasi meningkat. Lipatan kisah berkembang antarpenguasa, pemilik modal, calo tanah dengan krama Hindu miskin. Sebagai bagian dari ekspresi kekuasaan, tanah menjadi simbol atau ruang kuasa seorang penguasa dan pemilik modal. Narasi-narasi sosial yang tercipta menjadikan tanah sebagai simbol kekuasaan.
Selepas kuasa raja atau desa adat yang membagi tanah menjadi karang desa, pelaba pura, atau ayahan desa, kosmologi tanah berubah. Narasi kuasa ekonomi atas tanah menjadi demikian ekspansif. Kendali kuasa dipegang oleh pemiliki modal atau kapitalis. Di samping kapitalis terselip penguasa korup yang diganduli oleh makelar tanah. Makelar tanah sering memegang pisau bermata tiga, yaitu menoreh penguasa, pemilik modal, dan pemilik tanah.
Tragedi tanah di Bali memberikan pembelajaran penting. Seperti yang telah terjadi di tanah Jawa di masa silam yang kelam. Kolonialisme merenggut kuasa atas tanah penguasa Jawa. Perjanjian Giyanti menjadi titik balik kemunduran penguasa Jawa atas tanahnya. Dari tragedi sejarah itu, imaji kedaulatan tanah di Bali semakin terpusat pada pemilik modal dan penguasa. Krama Hindu Bali ditengarai mengomunikasikan diri bukan pada identitas sosial-budayanya. Tetapi, mereka lebih cenderung mengkomunikasikan dirinya kepada atribusi ekonomi dan material.
Di masa silam, narasi penguasaan tanah luas pernah diregulasi. Kebijakan land-reform dimaksudkan membatasi individu atau badan hukum dalam penguasaan tanah yang luas. Namun, narasi politik ini berakhir menjadi kontestasi yang mengakibatkan meningkatnya konflik di antara krama Hindu di penjuru desa. Kedaulatan tanah pada era reformasi juga jadi bagian penting narasi historiografi Bali. Di beberapa desa telah terjadi sengketa tanah krama dengan pengusaha-penguasa. Akibatnya, luas tanah yang berkedaulatan krama Bali semakin menyusut, walaupun luas tanah yang sesungguhnya tetap sama.
Selanjutnya, narasi kosmologis krama Bali atas tanah merentang ke relung spiritual dan etika. Jika, krama Hindu Bali tidak berdaulat atas tanah sendiri, sesungguhnya tidak ada lagi ungkapan berkedaulatan rakyat. Jika, krama Hindu Bali bebas menjual atau mengalih-fungsikan tanah leluhur, sesungguhnya tidak ada lagi jiwa yang menghidupkan ke-sradhaan. Kedaulatan atas tanah bagi krama Hindu Bali perlu didukung kebijakan yang berkeadilan sosial. Semoga. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Komentar