MUTIARA WEDA : Tirtha Yatra
Sebab keutamaan Tirtha Yatra itu amat suci, lebih utama dari penyucian dengan yadnya; juga Tirtha Yatra dapat dilakukan oleh orang miskin sekalipun.
Apan mangke kottamaning tirthayatra, atyanta pawitra,
Lwih sakeng kapawananing yajna, wenang ulahkena ring daridra.
(Sarasamuccaya, 279)
Teks Sarasamuccaya adalah teks yang dibuat di masa lalu. Maka dari itu, uraian praktis yang ada di dalamnya sepenuhnya menggambarkan kehidupan pada masanya. Contoh-contoh praktis menyesuaikan dengan kondisi saat itu. Konteksnya senantiasa berada pada zamannya. Seperti misalnya teks di atas mengatakan bahwa Tirtha Yatra lebih utama dibandingkan yadnya. Salah satu alasannya adalah karena orang miskin juga bisa melakukannya. Mungkin pada saat itu, upacara yadnya bisa dilakukan oleh orang kaya saja karena biaya dan regulasinya mahal, sehingga konsekuensinya, orang yang tidak punya uang tidak mampu melakukannya. Sementara itu Tirtha Yatra bisa diikuti oleh siapapun baik orang kaya maupun orang miskin. Itulah mengapa Tirtha Yatra lebih diutamakan dari upacara yadnya pada zaman itu.
Dalam konteks sekarang, mungkin contoh di atas tidak begitu relevan, walaupun itu masih memungkinkan. Biaya untuk Tirtha Yatra saat ini sangat mahal, sehingga hanya orang kaya yang mampu melakukannya. Tirtha Yatra memerlukan biaya transport yang lumayan tinggi, baik kendaraan bermotor maupun pesawat terbang. Tirtha Yatra ke India misalnya, orang miskin dipastikan tidak mampu. Kecil kemungkinannya Yatra ke India dengan jalan kaki, walaupun itu bisa dilakukan. Di masa lalu orang melakukan Tirtha Yatra sepenuhnya dengan jalan kaki walaupun itu jauh, sementara tendensi saat ini berkebalikan, artinya meskipun jarak Pura yang dituju hanya 200 meter, orang ogah jalan kaki. Mereka memilih naik sepeda motor dan bahkan mobil.
Maka dari itu, membaca teks di atas hendaknya disesuaikan dengan konteks saat ini. Tulisannya demikian, bacaannya demikian, tetapi makna yang diberikan boleh berbeda, sebab, makna per se teks itu konteksnya di masa lalu. Zaman yang berbeda akan memiliki nilai yang berbeda pula, sebab masing-masing zaman memiliki nilainya masing-masing yang tidak bisa disamaratakan. Bisa saja teksnya berbunyi sama, tetapi makna yang diberikan sangat berbeda. Seperti halnya Bhagavad-gita, teksnya sama, tetapi ketika diinterpretasi oleh guru yang berbeda, makna yang diberikan berbeda-beda, bahkan tidak sedikit dari mereka bertentangan. Teks di atas jika dimaknai di masa lalu bisa saja bertentangan dengan makna yang diberikan saat ini.
Umpamanya, jika teks di atas dimaknai apa adanya, mungkin saja bermakna bahwa Tirtha Yatra itu lebih utama dibandingkan upacara Yadnya karena bisa diikuti oleh semua orang, baik yang kaya maupun yang miskin. Oleh karena itu, melakukan Tirtha Yatra mesti harus diutamakan dalam pelaksanaan agama. Jika orang telah mampu melakukan Tirtha Yatra, maka boleh saja ia tidak melakukan upacara yadnya, oleh karena tindakan yang lebih tinggi sudah dikerjakan. Tetapi, saat ini mungkin maknanya jauh berbeda. Mungkin saja pernyataan tentang ‘orang miskin bisa melaksanakannya’ akan bermakna berbeda, karena konteksnya saat ini adalah hanya orang yang telah mapan secara ekonomi yang mampu melakukan Tirtha Yatra.
Jika pernyataan ‘orang miskin bisa melaksanakannya’ harus dimaknai berbeda, maka makna Tirtha Yatra juga harus dimaknai berbeda. Artinya, untuk bisa melaksanakan Tirtha Yatra tidak mesti harus menunggu menjadi orang kaya. Kapan pun sepanjang ia mau akan bisa melaksanakan Tirtha Yatra. Tirtha Yatra artinya perjalanan suci. Oleh karena buana alit adalah representasi buana agung, maka segala kelengkapan yang ada di buana agung akan ada di buana alit. Jika tempat suci yang dijadikan tujuan Tirtha Yatra ada banyak di buana agung, maka tempat suci yang sama akan ada di buana alit. Sehingga dengan demikian, ia bisa melaksanakan perjalanan suci di dalam diri dan akan menemukan tempat suci yang sama. Jika perjalanan suci yang dilakukan di dalam diri, tentu semua perjalanan itu tidak memerlukan biaya tiket. Semua perjalanan di dalam diri gratis, hanya saja tidak gampang. Orang yang mau melakukan perjalanan ke tempat suci yang ada di buana alit atau ke dalam diri memerlukan buku petunjuk yang mampu menunjukkan jalan yang benar sehingga tempatnya bisa dicapai dengan tepat. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Lwih sakeng kapawananing yajna, wenang ulahkena ring daridra.
(Sarasamuccaya, 279)
Teks Sarasamuccaya adalah teks yang dibuat di masa lalu. Maka dari itu, uraian praktis yang ada di dalamnya sepenuhnya menggambarkan kehidupan pada masanya. Contoh-contoh praktis menyesuaikan dengan kondisi saat itu. Konteksnya senantiasa berada pada zamannya. Seperti misalnya teks di atas mengatakan bahwa Tirtha Yatra lebih utama dibandingkan yadnya. Salah satu alasannya adalah karena orang miskin juga bisa melakukannya. Mungkin pada saat itu, upacara yadnya bisa dilakukan oleh orang kaya saja karena biaya dan regulasinya mahal, sehingga konsekuensinya, orang yang tidak punya uang tidak mampu melakukannya. Sementara itu Tirtha Yatra bisa diikuti oleh siapapun baik orang kaya maupun orang miskin. Itulah mengapa Tirtha Yatra lebih diutamakan dari upacara yadnya pada zaman itu.
Dalam konteks sekarang, mungkin contoh di atas tidak begitu relevan, walaupun itu masih memungkinkan. Biaya untuk Tirtha Yatra saat ini sangat mahal, sehingga hanya orang kaya yang mampu melakukannya. Tirtha Yatra memerlukan biaya transport yang lumayan tinggi, baik kendaraan bermotor maupun pesawat terbang. Tirtha Yatra ke India misalnya, orang miskin dipastikan tidak mampu. Kecil kemungkinannya Yatra ke India dengan jalan kaki, walaupun itu bisa dilakukan. Di masa lalu orang melakukan Tirtha Yatra sepenuhnya dengan jalan kaki walaupun itu jauh, sementara tendensi saat ini berkebalikan, artinya meskipun jarak Pura yang dituju hanya 200 meter, orang ogah jalan kaki. Mereka memilih naik sepeda motor dan bahkan mobil.
Maka dari itu, membaca teks di atas hendaknya disesuaikan dengan konteks saat ini. Tulisannya demikian, bacaannya demikian, tetapi makna yang diberikan boleh berbeda, sebab, makna per se teks itu konteksnya di masa lalu. Zaman yang berbeda akan memiliki nilai yang berbeda pula, sebab masing-masing zaman memiliki nilainya masing-masing yang tidak bisa disamaratakan. Bisa saja teksnya berbunyi sama, tetapi makna yang diberikan sangat berbeda. Seperti halnya Bhagavad-gita, teksnya sama, tetapi ketika diinterpretasi oleh guru yang berbeda, makna yang diberikan berbeda-beda, bahkan tidak sedikit dari mereka bertentangan. Teks di atas jika dimaknai di masa lalu bisa saja bertentangan dengan makna yang diberikan saat ini.
Umpamanya, jika teks di atas dimaknai apa adanya, mungkin saja bermakna bahwa Tirtha Yatra itu lebih utama dibandingkan upacara Yadnya karena bisa diikuti oleh semua orang, baik yang kaya maupun yang miskin. Oleh karena itu, melakukan Tirtha Yatra mesti harus diutamakan dalam pelaksanaan agama. Jika orang telah mampu melakukan Tirtha Yatra, maka boleh saja ia tidak melakukan upacara yadnya, oleh karena tindakan yang lebih tinggi sudah dikerjakan. Tetapi, saat ini mungkin maknanya jauh berbeda. Mungkin saja pernyataan tentang ‘orang miskin bisa melaksanakannya’ akan bermakna berbeda, karena konteksnya saat ini adalah hanya orang yang telah mapan secara ekonomi yang mampu melakukan Tirtha Yatra.
Jika pernyataan ‘orang miskin bisa melaksanakannya’ harus dimaknai berbeda, maka makna Tirtha Yatra juga harus dimaknai berbeda. Artinya, untuk bisa melaksanakan Tirtha Yatra tidak mesti harus menunggu menjadi orang kaya. Kapan pun sepanjang ia mau akan bisa melaksanakan Tirtha Yatra. Tirtha Yatra artinya perjalanan suci. Oleh karena buana alit adalah representasi buana agung, maka segala kelengkapan yang ada di buana agung akan ada di buana alit. Jika tempat suci yang dijadikan tujuan Tirtha Yatra ada banyak di buana agung, maka tempat suci yang sama akan ada di buana alit. Sehingga dengan demikian, ia bisa melaksanakan perjalanan suci di dalam diri dan akan menemukan tempat suci yang sama. Jika perjalanan suci yang dilakukan di dalam diri, tentu semua perjalanan itu tidak memerlukan biaya tiket. Semua perjalanan di dalam diri gratis, hanya saja tidak gampang. Orang yang mau melakukan perjalanan ke tempat suci yang ada di buana alit atau ke dalam diri memerlukan buku petunjuk yang mampu menunjukkan jalan yang benar sehingga tempatnya bisa dicapai dengan tepat. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar