Kisahkan Pura Bangun Sakti
Pemilihan Pura Bangun Sakti sebagai lakon bertujuan untuk mengingatkan kembali penyadaran api dalam diri sebagai spirit kehidupan.
Sekaa Topeng Gurnita Kanti, Pemecutan, Denpasar
DENPASAR, NusaBali
Sekaa Topeng Gurnita Kanti, Kelurahan Pemecutan, Kecamatan Denpasar Barat menampilkan lakon Pura Bangun Sakti dalam parade Topeng Panca Klasik Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-40, di Kalangan Ratna Kanda, Taman Budaya-Art Center, Denpasar, Selasa (10/7). Lakon ini dinilai tepat untuk menjabarkan tema PKB ke-40, Teja Dharmaning Kahuripan, yakni api sebagai spirit penciptaan.
Lakon Pura Bangun Sakti yang terletak di Padanggalak, Denpasar ini mengisahkan bagaimana sejarah Pura tersebut sampai terbentuk. Kisah ini berawal saat masa pemerintahan Raja Dalem Waturenggong sekitar Tahun Caka 1382-1472 di Puri Gelgel. Pata tahun-tahun tersebut kondisi dan keadaan Puri sangat kacau karena terkena wabah penyakit yang disebabkan oleh Yadnya Pakelem yang bernama Yadnya Winasa Sari di Sungai Unda yang digelar oleh Ida Brahmana Anom Penida.
Setelah menggelar Yadnya tersebut, Ida Brahmana Anom Penida tidak pernah ke Puri Gelgel. Disebabkan rasa malu yang besar karena setelah sekian lama tidak pernah ke Puri menghadap Raja Dalem Waturenggong. Ida Brahmana Anom Penida pun memutuskan untuk pergi meninggalkan Puri Gelgel sampai ke Desa Urusana, Biaung-Padanggalak. Di sana beliau menetap sampai akhirnya memiliki dua orang putra bernama Brahmana Wayan Bendesa dan Brahmana Made Bendesa.
Setelah Ida Brahmana Anom Penida meninggal, kemudian putra pertama yang disebut Brahmana Wayan Bendesa melanjutkan pemerintahan bersama 40 orang penganut agama yang bernama Kayu Selem dan Kayu Putih. Pada saat itu Ida Brahmana Wayan Bendesa bertemu dengan Ida Kiai Anglurah Pinatih yang terlunta-lunta karena dikejar oleh segerombolan semut. Ida Kiai Anglurah Pinatih diajak untuk menetap di Desa Padanggalak. Setelah sekian lama menetap di sana, baik Ida Brahmana Wayan Bendesa dan Ida Kiai Anglurah Pinatih sama-sama membuat Pahyangan. Ida Kiai Anglurah Pinatih mendirikan Pura Kentel Gumi, dan Ida Brahmana Wayan Bendesa mendirikan Pura Bangun Sakti.
Menurut Pembina Tari, I Putu Adi Sujana, pemilihan Pura Bangun Sakti sebagai lakon bertujuan untuk mengingatkan kembali penyadaran api dalam diri sebagai spirit kehidupan. Selain itu, juga mengingatkan bahwa benteng kehidupan adalah agama. “Kita diingatkan kembali bahwa benteng kita adalah agama. Api dalam diri hendaknya membuat kita bangkit, berkarya, dan kreatif,” ungkapnya.
Koordinator I Komang Juni Antara mengatakan, Topeng Panca Klasik yang ditampilkan oleh 5 orang penari dan 37 orang penabuh. Masing-masing penari membawakan 2 atau 3 karakter. Selain itu, penari juga mengkolaborasikan tarian dengan lagu atau nyanyian. Mengingat karakter lagu khas yang dimiliki dalam Topeng Panca Pemecutan ini sudah hilang. Maka melalui pementasan ini ia berharap dapat menggali lagi lagu-lagu yang hilang tersebut.
Menurutnya, Topeng Panca memang jarang dipentaskan. Namun sebelum pentas di PKB, dia mengaku Topeng Panca Pemecutan cukup sering dipentaskan dibeberapa Pura yang ada di Denpasar. “Kami sering mementaskannya di banjar,” katanya. *ind
1
Komentar