AS Tuduh Indonesia Hambat Ekspor
Apabila AS mengevaluasi fasilitas generalized system of preferences (GSP), maka 3.547 produk RI
akan lebih mahal di sana.
3.547 Komoditas Ekspor Indonesia Terancam
JAKARTA, NusaBali
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita akan bertolak ke Amerika Serikat untuk melobi agar fasilitas generalized system of preferences (GSP) tidak lepas dari Indonesia. Enggar mengatakan apabila keanggotaan Indonesia dalam GSP Kategori A dicabut, maka akan memberikan dampak negatif terhadap laju ekspor kita ke AS karena bea masuknya akan lebih tinggi.
"Ada 3.547 tariff lines yang mengandung konsekuensi itu. Kalau GSP-nya itu dicabut, dampaknya akan seperti apa. Kita berikan gambarannya. Mereka bisa mencabut semuanya (keanggotaan kita) jadi kita tidak bisa prioritaskan satu-satu," ujar Enggar usai rapat di kantor Menko Perekonomian dikutip cnbcindonesia, Rabu (11/7).
Menurut Enggar, pada dasarnya Pemerintah AS saat ini di bawah Presiden Donald Trump tidak menginginkan adanya hambatan perdagangan (trade barrier). Dia menuturkan AS mengklaim surplus neraca perdagangan Indonesia mencapai 14 miliar dolar AS. "Jadi, mereka juga tidak mau ada barrier untuk ekspornya kesini, mengingat kita juga sudah surplus besar. Itu fair saja lah menurut saya. AS mencatat surplus perdagangan kita 14 miliar dolar AS. Mereka mengklaim kita sudah surplus kemudian menghambat produk mereka juga," jelasnya.
Menteri Enggar menambahkan, pemerintah akan melakukan pertemuan bilateral dengan Kementerian Perdagangan AS atau USTR (United States Trade Representative) pada Juli mendatang. Pertemuan ini diharapkan memberikan hasil yang memuaskan bagi kedua negara. "Jadi selama ini sebenarnya kita sudah komunikasi dengan USTR dan pak dubes kita di sana juga sudah melakukan komunikasi yang cukup intens. Hasil dari itu USTR mengundang kami untuk duduk bersama membahas tentang itu, tentang fasilitas GSP yang diberikan kepada kita," tandasnya.
Sebelumnya AS membuka juga ‘luka lama’, di mana Negeri Paman Sam itu pernah mendapat ancaman dari Indonesia. Indonesia pernah mencoba membatasi impor produk hortikultura AS seperti apel dan kedelai. Alasannya adalah terkait dengan kesehatan dan melimpahnya stok di dalam negeri.
Aksi Indonesia itu kemudian berbuntut gugatan ke World Trade Organization (WTO) oleh AS. Proses kemudian berlangsung, dan pada akhirnya WTO memutuskan Indonesia tidak berhak menghambat impor hortikultura AS. Keputusan WTO itu ditetapkan pada November 2017. "Ini adalah kemenangan signifikan bagi petani dan peternak AS," kata Perwakilan United States Trade Representative (USTR) ,Robert Lighthizer, dalam siaran pers pada November 2017.
"Melihat besarnya pasar Indonesia dan daya saing AS, kita seharusnya menjual lebih banyak produk agrikultur ke konsumen Indonesia. Pemerintahan Trump akan melanjutkan menggunakan berbagai tools, termasuk WTO dispute settlement dan mekanisme lain, untuk memastikan produk agrikultur kelas dunia dari AS bisa mendapat akses yang adil di seluruh dunia," kata Lighthizer.
Atas kejadian tersebut, Enggar mengaku pemerintah pernah berencana mengenakan kuota impor kedelai dari AS namun urung dilaksanakan karena industri tahu tempe dalam negeri memprotesnya. "Jadi ini sebenarnya nggak ada masalah, toh kita sudah mencabutnya karena kita sesuaikan dengan putusan WTO. Tapi ini masih ada dalam daftar mereka," pungkasnya.*
JAKARTA, NusaBali
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita akan bertolak ke Amerika Serikat untuk melobi agar fasilitas generalized system of preferences (GSP) tidak lepas dari Indonesia. Enggar mengatakan apabila keanggotaan Indonesia dalam GSP Kategori A dicabut, maka akan memberikan dampak negatif terhadap laju ekspor kita ke AS karena bea masuknya akan lebih tinggi.
"Ada 3.547 tariff lines yang mengandung konsekuensi itu. Kalau GSP-nya itu dicabut, dampaknya akan seperti apa. Kita berikan gambarannya. Mereka bisa mencabut semuanya (keanggotaan kita) jadi kita tidak bisa prioritaskan satu-satu," ujar Enggar usai rapat di kantor Menko Perekonomian dikutip cnbcindonesia, Rabu (11/7).
Menurut Enggar, pada dasarnya Pemerintah AS saat ini di bawah Presiden Donald Trump tidak menginginkan adanya hambatan perdagangan (trade barrier). Dia menuturkan AS mengklaim surplus neraca perdagangan Indonesia mencapai 14 miliar dolar AS. "Jadi, mereka juga tidak mau ada barrier untuk ekspornya kesini, mengingat kita juga sudah surplus besar. Itu fair saja lah menurut saya. AS mencatat surplus perdagangan kita 14 miliar dolar AS. Mereka mengklaim kita sudah surplus kemudian menghambat produk mereka juga," jelasnya.
Menteri Enggar menambahkan, pemerintah akan melakukan pertemuan bilateral dengan Kementerian Perdagangan AS atau USTR (United States Trade Representative) pada Juli mendatang. Pertemuan ini diharapkan memberikan hasil yang memuaskan bagi kedua negara. "Jadi selama ini sebenarnya kita sudah komunikasi dengan USTR dan pak dubes kita di sana juga sudah melakukan komunikasi yang cukup intens. Hasil dari itu USTR mengundang kami untuk duduk bersama membahas tentang itu, tentang fasilitas GSP yang diberikan kepada kita," tandasnya.
Sebelumnya AS membuka juga ‘luka lama’, di mana Negeri Paman Sam itu pernah mendapat ancaman dari Indonesia. Indonesia pernah mencoba membatasi impor produk hortikultura AS seperti apel dan kedelai. Alasannya adalah terkait dengan kesehatan dan melimpahnya stok di dalam negeri.
Aksi Indonesia itu kemudian berbuntut gugatan ke World Trade Organization (WTO) oleh AS. Proses kemudian berlangsung, dan pada akhirnya WTO memutuskan Indonesia tidak berhak menghambat impor hortikultura AS. Keputusan WTO itu ditetapkan pada November 2017. "Ini adalah kemenangan signifikan bagi petani dan peternak AS," kata Perwakilan United States Trade Representative (USTR) ,Robert Lighthizer, dalam siaran pers pada November 2017.
"Melihat besarnya pasar Indonesia dan daya saing AS, kita seharusnya menjual lebih banyak produk agrikultur ke konsumen Indonesia. Pemerintahan Trump akan melanjutkan menggunakan berbagai tools, termasuk WTO dispute settlement dan mekanisme lain, untuk memastikan produk agrikultur kelas dunia dari AS bisa mendapat akses yang adil di seluruh dunia," kata Lighthizer.
Atas kejadian tersebut, Enggar mengaku pemerintah pernah berencana mengenakan kuota impor kedelai dari AS namun urung dilaksanakan karena industri tahu tempe dalam negeri memprotesnya. "Jadi ini sebenarnya nggak ada masalah, toh kita sudah mencabutnya karena kita sesuaikan dengan putusan WTO. Tapi ini masih ada dalam daftar mereka," pungkasnya.*
1
Komentar