Infrastruktur Ekonomi Desa Rendah
Kepala Badan Pusat Statistik Suryamin menyatakan infrastruktur ekonomi yang dimiliki oleh sebagian besar desa-desa di Indonesia merupakan salah satu variabel yang masih rendah.
JAKARTA, NusaBali
Kategori tersebut berdasarkan Indeks Pembangunan Desa (IPD) 2014.
"Sebagian besar desa-desa di Indonesia memiliki variabel infrastruktur ekonomi yang masih rendah, selain variabel lainnya yang merupakan dimensi kondisi infrastruktur dalam IPD 2014 ini," kata Suryamin dalam peluncuran IPD 2014 di Gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Jakarta, Selasa (20/10).
Dalam variabel ekonomi tersebut, lanjut Suryamin terdapat lima indikator, yaitu ketersediaan pertokoan, minimarket atau toko kelontong; ketersediaan pasar; ketersediaan restoran, rumah makan atau warung termasuk kedai makan; ketersediaan akomodasi hotel atau penginapan; serta ketersediaan bank. "Variabel ekonomi tersebut, jika disatukan dengan variabel lainnya yaitu energi, air dan sanitasi desa serta komunikasi dan informasi merupakan dimensi terendah yang tercatat dalam IPD 2014 dengan nilai indeks 39,08," ujar dia.
Dalam IPD 2014, tercatat masih ada sekitar 11,7 persen desa yang tidak memiliki pertokoan, minimarket maupun warung kelontong atau sekitar 8.669 desa dari 74.093 desa yang ada di Indonesia.
BPS juga mencatat ada sekitar 75,8 persen atau 56.181 desa yang sama sekali tidak terdapat pasar baik tanpa bangunan, semipermanen atau dengan bangunan permanen. Dari indikator ketersediaan restoran, rumah makan atau warung termasuk kedai makan, BPS mencatat ada 28.284 desa atau sekitar 38,2 yang belum memiliki infrastruktur tersebut.
Selain itu, BPS juga mencatat ada 71.142 desa atau 96 persen desa yang belum memiliki fasilitas akomodasi hotel atau penginapan. Serta masih ada sekitar 92,6 persen atau 68.604 desa yang belum memiliki akses perbankan karena ketiadaan bank.
Sementara itu, BPS juga mencatat, sebagian besar desa di Indonesia memiliki indeks tertinggi pada dimensi aksesibilitas serta transportasi (sarana dan prasarana transportasi serta akses) dengan nilai 73,66 dari IPD 2014.
IPD yang disusun BPS bekerja sama dengan Kementerian PPN/Bappenas, mengklasifikasikan tingkat perkembangan desa menjadi Desa Tertinggal, Desa Berkembang, dan Desa Mandiri dengan 43 indikator dalam lima dimensi yakni pelayanan dasar, infrastruktur dasar, transportasi, pelayanan publik, serta penyelenggaraan pemerintah.
Berdasarkan hasil perhitungan IPD 2014, dari 74.093 desa di Indonesia, sebanyak 20.167 desa (27,22 persen) tergolong desa tertinggal dan 51.022 desa (68,86 persen) tergolong desa berkembang. "Serta 2.904 desa (3,92 persen) tergolong desa mandiri. Desa mandiri akan bertambah dengan RPJMN 2015-2019 yang menargetkan sedikitnya 2.000 desa mandiri baru," papar Suryamin.
Dibandingkan dengan keseluruhan jumlah desa di Indonesia, desa tertinggal paling banyak berada di wilayah Papua sebanyak 6.139 desa, dan paling sedikit ada di wilayah Jawa-Bali sebanyak 694 desa. "Sedangkan untuk desa mandiri, paling banyak berada di wilayah Jawa-Bali sejumlah 2.253 desa dan paling sedikit berada di wilayah Papua sejumlah 6 desa," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Sofjan Djalil berharap data dari IPD 2014 bisa memberikan manfaat dan acuan bagi pembangunan desa.
Dia juga menekankan, ke depan perlu dilakukan perbaikan akurasi agar program pembangunan desa yang dilakukan pemerintah tidak kontraproduktif. "Saya lihat sekarang ini banyak program tidak ekonomis. Misalnya, semua kabupaten buat pelabuhan. Padahal, pelabuhan itu kalau skalanya kecil malah tidak ekonomis. Jadi yang diinvestasikan malah percuma," ucap Sofjan.
1
Komentar