Rupiah Loyo, Investor Tunda Investasi
Investor bukan membatalkan investasi, tapi menunda karena ‘shock’ hingga situasi dianggap lebih stabil.
JAKARTA, NusaBali
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong mengatakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang melemah belakangan membuat investor menunda investasi mereka. Tom, sebagaimana ia disapa, seusai acara Investment Award 2018 di Jakarta, Kamis (12/7), mengatakan penundaan investasi karena faktor pelemahan rupiah tidak serta merta membuat investor batal menanamkan modal di Indonesia. "Saya kira kalau batal bukan karena kurs rupiah. Batal biasanya karena dia pilih negara lain, negara saingan. Kalau menunda, iya, pasti," ujarnya.
Menurut mantan Menteri Perdagangan itu, jika tren investasi melemah saat pelemahan nilai tukar rupiah, maka bisa jadi investor akan menunda hingga situasi lebih stabil. "Investasi 'slow down' (melambat), kalau itu pun terjadi biasanya karena penundaan, 'shock' (kaget) dengan gejolak rupiah, lalu menunda dulu sampai situasi lebih stabil," katanya.
Meski tidak akan berpengaruh besar terhadap investor yang melakukan penundaan, dalam catatan BKPM hal itu akan sangat mempengaruhi catatan capaian investasi nasional. Pasalnya, BKPM mencatat capaian realisasi investasi per kuartal sehingga penundaan investasi akan berdampak pada fluktuasi capaian realisasi nasional. "Kita kan mempublikasikan angka realisasi secara kuartal (per tiga bulan). Jadi kalau ada investor besar yang menunda sampai enam bulan, buat kita angka per kuartal bisa sangat besar," katanya.
Kendati demikian, Tom menuturkan tertekannya nilai tukar terhadap dolar AS tidak hanya terjadi di Indonesia melainkan juga di sejumlah negara-negara berkembang. "Sejak dimulainya perang dagang, semua mata uang negara berkembang sangat tertekan. Mulai dari Argentina, Turki, Pakistan, India, Filipina, Indonesia, semuanya sangat tertekan. Itu faktor teknis," katanya.
Ia juga mengakui kondisi ekonomi cukup berat karena gejolak rupiah ditambah perang dagang AS dan negara ekonomi besar yang semakin mengalami eskalasi. "Kami 'all out' dan mengapresiasi langkah Presiden untuk menggelar sidang kabinet membahas ini selama empat jam untuk bersama mencari solusi supaya bisa mempertahankan laju inveatasi dan arus modal masuk di tengah kondisi penuh ketidakpastian," pungkasnya. 7ant
Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, Kamis sore, ditutup melemah sebesar 5 poin menjadi Rp14.390 dibandingkan posisi sebelumnya Rp14.385 per dolar AS. Analis pasar uang Monex Investindo Futures Putu Agus Pransuamitra di Jakarta, mengatakan bahwa pelemahan rupiah masih dipengaruhi kondisi eksternal seperti hari-hari sebelumnya. "Faktor eksternal masih kuat. Dolar kembali menguat merespon data indeks harga produsen yang lebih tinggi dari ekspektasi," ujar Putu.
Sebelumnya, imbas terapresiasinya dolar AS sebelumnya masih dirasakan rupiah di mana masih cenderung melemah. Sentimen dari dalam negeri berupa disetujuinya sejumlah asumsi dasar makro RAPBN 2019 tampaknya belum menjadi sentimen yang dapat mengimbangi penguatan dolar AS. Akibatnya rupiah masih terdepresiasi.
Sejumlah asumsi RAPBN 2019 antara lain pertumbuhan ekonomi 5,2-5,5 persen, laju inflasi 2,5-4,5 persen, dan nilai tukar Rupiah di kisaran Rp13.700-14.000 per dolar AS. Di sisi lain, terapresiasinya dolar AS seiring dengan pelemahan yuan dan dolar Australia setelah pemerintahan Trump mengancam 10 persen tarif impor China senilai 200 miliar dolar AS dalam konflik perdagangan yang meningkat.
Dalam kurs tengah Bank Indonesia (BI) pada Kamis, tercatat nilai tukar rupiah bergerak melemah ke posisi Rp14.435 dibandingkan posisi sebelumnya Rp14.391 per dolar AS. Berbeda dengan rupiah, indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis sore ditutup menguat 14,51 poin atau 0,25 persen menjadi 5.907,87. Sementara itu kelompok 45 saham unggulan atau LQ45 bergerak naik 0,36 poin (0,04 persen) menjadi 930,34.*ant
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong mengatakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang melemah belakangan membuat investor menunda investasi mereka. Tom, sebagaimana ia disapa, seusai acara Investment Award 2018 di Jakarta, Kamis (12/7), mengatakan penundaan investasi karena faktor pelemahan rupiah tidak serta merta membuat investor batal menanamkan modal di Indonesia. "Saya kira kalau batal bukan karena kurs rupiah. Batal biasanya karena dia pilih negara lain, negara saingan. Kalau menunda, iya, pasti," ujarnya.
Menurut mantan Menteri Perdagangan itu, jika tren investasi melemah saat pelemahan nilai tukar rupiah, maka bisa jadi investor akan menunda hingga situasi lebih stabil. "Investasi 'slow down' (melambat), kalau itu pun terjadi biasanya karena penundaan, 'shock' (kaget) dengan gejolak rupiah, lalu menunda dulu sampai situasi lebih stabil," katanya.
Meski tidak akan berpengaruh besar terhadap investor yang melakukan penundaan, dalam catatan BKPM hal itu akan sangat mempengaruhi catatan capaian investasi nasional. Pasalnya, BKPM mencatat capaian realisasi investasi per kuartal sehingga penundaan investasi akan berdampak pada fluktuasi capaian realisasi nasional. "Kita kan mempublikasikan angka realisasi secara kuartal (per tiga bulan). Jadi kalau ada investor besar yang menunda sampai enam bulan, buat kita angka per kuartal bisa sangat besar," katanya.
Kendati demikian, Tom menuturkan tertekannya nilai tukar terhadap dolar AS tidak hanya terjadi di Indonesia melainkan juga di sejumlah negara-negara berkembang. "Sejak dimulainya perang dagang, semua mata uang negara berkembang sangat tertekan. Mulai dari Argentina, Turki, Pakistan, India, Filipina, Indonesia, semuanya sangat tertekan. Itu faktor teknis," katanya.
Ia juga mengakui kondisi ekonomi cukup berat karena gejolak rupiah ditambah perang dagang AS dan negara ekonomi besar yang semakin mengalami eskalasi. "Kami 'all out' dan mengapresiasi langkah Presiden untuk menggelar sidang kabinet membahas ini selama empat jam untuk bersama mencari solusi supaya bisa mempertahankan laju inveatasi dan arus modal masuk di tengah kondisi penuh ketidakpastian," pungkasnya. 7ant
Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, Kamis sore, ditutup melemah sebesar 5 poin menjadi Rp14.390 dibandingkan posisi sebelumnya Rp14.385 per dolar AS. Analis pasar uang Monex Investindo Futures Putu Agus Pransuamitra di Jakarta, mengatakan bahwa pelemahan rupiah masih dipengaruhi kondisi eksternal seperti hari-hari sebelumnya. "Faktor eksternal masih kuat. Dolar kembali menguat merespon data indeks harga produsen yang lebih tinggi dari ekspektasi," ujar Putu.
Sebelumnya, imbas terapresiasinya dolar AS sebelumnya masih dirasakan rupiah di mana masih cenderung melemah. Sentimen dari dalam negeri berupa disetujuinya sejumlah asumsi dasar makro RAPBN 2019 tampaknya belum menjadi sentimen yang dapat mengimbangi penguatan dolar AS. Akibatnya rupiah masih terdepresiasi.
Sejumlah asumsi RAPBN 2019 antara lain pertumbuhan ekonomi 5,2-5,5 persen, laju inflasi 2,5-4,5 persen, dan nilai tukar Rupiah di kisaran Rp13.700-14.000 per dolar AS. Di sisi lain, terapresiasinya dolar AS seiring dengan pelemahan yuan dan dolar Australia setelah pemerintahan Trump mengancam 10 persen tarif impor China senilai 200 miliar dolar AS dalam konflik perdagangan yang meningkat.
Dalam kurs tengah Bank Indonesia (BI) pada Kamis, tercatat nilai tukar rupiah bergerak melemah ke posisi Rp14.435 dibandingkan posisi sebelumnya Rp14.391 per dolar AS. Berbeda dengan rupiah, indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis sore ditutup menguat 14,51 poin atau 0,25 persen menjadi 5.907,87. Sementara itu kelompok 45 saham unggulan atau LQ45 bergerak naik 0,36 poin (0,04 persen) menjadi 930,34.*ant
Komentar