Bali Utara vs Bali Selatan
GEOGRAFIS Bali bisa saja dibagi empat: Bali Utara, Bali Barat, Bali Timur, dan Bali Selatan. Kendati sama-sama Bali, topografi di empat wilayah itu tentu tidak sama.
Keadaan cuaca, kesuburan tanah, vegetasinya tidak sama benar. Kendati durian ada di ke-empat wilayah itu, tapi rasanya tidak sama betul. Bali Barat, seputar Negara, banyak nyiur tumbuh, sehingga daerah itu dikenal sebagai penghasil kopra. Di Bali Timur, seputar Karangasem, bahkan ada desa bernama Nyuhtebel, yang artinya dipadati tanaman kelapa, namun kualitas minyak yang dihasilkan tidak sama dengan di Bali Barat. Dan tidak dikenal sebagai produsen kopra.
Di Bali Timur, seperti di Seraya, dikenal sebagai daerah tandus, juga di perbatasan dengan Bali Utara seperti di Kecamatan Kubu. Di wilayah itu tumbuh bermacam tanaman ternak, namun sedikit di musim kemarau, sehingga petani peternak di daerah itu mengawetkan hijauan yang melimpah di musim basah menjadi silase, dikenal sebagai tape rumput. Tentu silase jarang ditemukan di Bali bagian selatan seperti Tabanan dan Bangli, yang tanaman makanan ternak buat sapi bisa diperoleh sepanjang tahun.
Tanaman salak yang bagus di Desa Sibetan tidak ditemukan di daerah mana pun di Bali, juga tidak di Bali Utara. Di daerah-daerah basah seperti Tabanan, atau bagian selatan Buleleng, memang dicoba tanaman salak, namun kualitasnya tidak selezat salak Sibetan. Bahkan salak-salak yang tumbuh di kebun-kebun di Menanga, Rendang atau Selat, yang bertetangga dengan Sibetan, pun kualitasnya kalah jauh dibanding salak Bali yang dipanen di Desa Sibetan.
Maka Bali itu memang unik, secara keseluruhan dia punya ciri khas, dan masing-masing wiayahnya pun punya karakteristik tersendiri. Ciri-ciri tersendiri ini yang acap menjadi kebanggaan. Yang menonjol adalah pembedaan antara Bali Utara dengan Selatan. Orang-orang Buleleng, dalam banyak hal selalu merasa berbeda dengan orang-orang dari Bali Selatan. Mereka mengaku berbeda tidak hanya dalam urusan hasil kebun, tapi juga dalam seni dan budaya,
Orang Buleleng merasa lebih egaliter, lebih demokratis. Kendati mereka dikenal tidak bisa berbisik, karena sering bicara keras-keras seperti orang berkelahi, mereka bangga dengan perilaku itu. Mereka merasa lebih akrab antar-sesama. sehingga sering membanggakan bahwa orang Buleleng itu lebih tulus dan riang gembira kalau berhubungan sebagai antar-teman. Mereka mengaku lebih karib dibanding rekan-rekan mereka dari Bali Selatan, terutama dari Gianyar dan Badung, yang dinilai lebih mengutamakan ewuh pakewuh dalam bermasyarakat.
Banyak komentar muncul, orang Buleleng itu meledak-ledak, dalam penampilan dan pergaulan, tidak memperhatikan sopan santun, atau tinggi rendah kedudukan seseorang. Jika orang Bali Selatan sering mempersoalkan kasta dalam tata krama pergaulan, orang Bali Utara justru melabraknya. Mungkin itu sebabnya, muncul kesan orang-orang dari Bali Utara lebih terbuka dan jarang diberondong stres.
Di Bali belakangan ini sering terpetik kabar warga yang bunuh diri. Ada yang minum racun atau gantung diri di pohon nangka, atau di kusen pintu. Media pekabaran mewartakan, kisah-kisah gantung diri banyak terjadi di Bali Selatan. Orang-orang Bali Utara hampir terbebas dari kasus bunuh diri. Boleh jadi karena watak dan perilaku terbuka itu menyebabkan orang-orang Buleleng merasa plong, terhindar dari bunuh diri.
Perilaku bebas ini juga kentara dari cara mereka berkesenian. Jika orang-orang Bali Selatan memiliki seni tabuh yang lembut, Bali Utara justru melahirkan gong kebyar, musik rok Bali. Di mana-mana di dunia, musik rok lebih diminati dibanding musik lembut. Parade gong kebyar dalam Pesta Kesenian Bali, misalnya, jauh lebih menarik minat, dijejali penonton, dibanding gamelan slonding yang mendayu-dayu.
Seni pertunjukan yang dilakoni oleh masyarakat Bali Utara dan Bali Selatan pun tak bisa dikatakan sama. Drama gong misalnya, orang-orang Bali Utara mengklaim pagelaran mereka punya gaya tersendiri, tak bisa dikatakan sama. Seniman Bali Selatan pun menjelaskan, bahwa mereka juga punya gaya tersendiri. Bali Utara dalam berkesenian, meski itu dalam seni tradisi, menjadi lebih modern, lebih leluasa menggali, sehingga ciptaan-ciptaan dan karya pentas mereka lebih mengikuti suasana zaman dan lebih enerjik. Tari Teruna Jaya misalnya, yang diciptakan Pan Wadres, disempurnakan oleh Gede Manik, dalam bentuk kebyar legong, lebih mencerminkan gejolak menerima modernisasi gerak tabuh dan tari.
Ciri-ciri karya sebagai seniman dari Bali Utara itu juga sangat terasa ketika komunitas budaya Mahima dari Singaraja mementaskan drama panggung tentang biografi Nyoman Rai Srimben, ibu kandung Soekarno, proklamator RI, dalam Pesta Kesenian Bali, Selasa (10/7/2018) lalu. Mereka memadukan teater, gerak, tari, lagu, dengan iringan musik tradisi dan modern. Ada narasi untuk mempertegas dan memperjelas cerita seperti yang disampaikan dalang dalam sendratari. Sebuah garapan panggung yang sulit bisa dijumpai dikerjakan oleh seniman modern dari Bali Selatan. Kenapa garapan seni Bali Utara beda dengan Bali Selatan? Karena tipikal manusianya memang beda. Seni itu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perilaku para pelaku dan penikmatnya.
Semoga ada yang kelak meneliti apa saja perbedaan manusia Bali Utara dan Bali Selatan. Niscaya akan kita temukan, dalam melaksanakan upacara adat dan keagamaan pun orang-orang Bali Utara jauh lebih sederhana dibanding Bali Selatan. Pembaharuan kelak akan sering muncul dari Bali Utara. *
Aryantha Soethama
Pengarang
Komentar