22 KK Kembalikan Tanah Adat, Sanksi Kasepakang Dicabut
Konflik adat di Desa Pakraman Batudingding, Desa Pegadungan, Kecamatan Sukasada, Buleleng berakhir damai setelah 15 tahun bergejolak.
Kasus Adat Berakhir Setelah 15 Tahun
SINGARAJA, NusaBali
Konflik praktis berakhir, Kamis (17/3), setelah pihak-pihak yang bersengketa: 22 kepala keluarga (KK) terkucilkan vs pihak desa adat menyadari kekeliruannya. Kesepakatan damai tersebut diambil melalui pertemuan mediasi di Kantor Camat Sukasada.
Dalam pertemuan kesepakatan damai yang digelar di Kantor Camat Sukasada, Kamis pagi, kelompok warga 22 KK menyadari bahwa penguasaan lahan yang bukan haknya adalah tindakan melanggar hukum. Sebaliknya, pihak desa adat juga menyadari bahwa ‘tekanan’ yang diberikan terhadap keompok warga 22 KK sebagai bentuk sanksi selama ini adalah sebuah kekeliruan.
Karena keduabelah pihak sudah menyadari kekeluruannya dan sepakat berdamai, maka desa dinas yakni Desa Pegadungan pun berjanji bakal melayani keperluan administrasi dari kelompok warga 22 KK terkucilkan tersebut, termasuk dalam hal pembuatan akte perkawinan dan akte kelahiran anak. Dalam mediasi kemarin, pihak-pihak yang berkonflik dihadirkan langsung, yakni kelompok warga 22 KK terkucilkan dan Kelian Desa Pakraman Batudingding, I Wayan Sudarmawan. Demikian pula Kepala Desa (Perbekel) Pegadungan, I Ketut Sudiara, ikut dihadirkan dalam mediasi.
Mediasi kemarin pagi juga melibatkan Bidang Adat Dinas Kebudayaan-Pariwisata (Disbudpar) Buleleng, Dinas Kependudukan-Catatan Sipil (Disdukcapil) Buleleng, Dinas Infokom Buleleng, Majelis Alit Desa Pakraman (MADP) Kecamatan Sukasada, dan jajaran Polsek Sukasada. Pertemuan mediasi konflik adat yang telah berlangsung selama 15 tahun ini dipimpin langsung Camat Sukasada, Made Dwi Adnyana.
Kesepakatan damai pihak-pihak yang berkonflik tertuang dalam beberapa poin hasil mediasi di Kantor Camat Sukasada kemarin. Salah satu poinnya, kelompok warga 22 KK bersedia melepas penguasaan lahan perkebunan seluas 1,54 hektare di Banjar Lebah, Desa Pakraman Batudingding.
Poin lainnya, pihak Desa Pakraman Batudingding sepakat tidak memasalahkan kelompok warga 22 KK yang sempat terkucilkan tersebut menjadi bagian dari Desa Adat Pumahan, Desa Gitgit, Kecamatan Sukasada. Merekia juga bersedia menerima jika kelompok warga 22 KK ini bisa kembali masuk adat ke Desa Pakraman Batudingding. Sedangkan poin berikutnya, pihak dinas Desa Pegadungan berjanji akan melayani semua administrasi yang dibutuhkan kelompok warga 22 KK yang sempat terkucilkan.
“Kami tetap menerima dengan lapang dada kalau ada dari 22 KK itu kembali menjadi bagian dari adat Desa Pakraman Batudingding. Kami tidak akan membebani mereka dengan biaya apa puun. Silakan saja kalau ada yang kembali atau tetap menjadi bagian ddat Desa Pakraman Pumaham,” ujar Kelian Desa Pakraman Batudingding, Wayan Sudarmawan. “Nanti kami sosialisasikan keputusan ini melalui paruman adat,” imbuhnya.
Sebaliknya, kelompok warga 22 KK melalui perwakilannya, I Putu Suwela, mengakui kesalahan mereka telah mengusai lahan seluas 1,54 hektare milik desa. Mereka pun sepakat menyerahkan agar persoalan yang terjadi selama 15 tahun ini bisa diselesaikan secara damai.
“Kami hanya minta agar tidak lagi ada tekanan. Karena, selama ini kami merasa terasing, di mana setiap melaksanakan upacara Manusa Yadnya, krama lainnya tidak ada yang mau datang. Sekarang kami minta jangan ada seperti itu lagi,” harap Putu Suwela.
Sementara itu, Camat Sukasada, Made Dwi Adnyana, menegaskan kesepakatan damai ini harus disebar-luaskan kepala seluruh warga, baik krama Desa Pakraman Batudingding maupun seluruh 22 KK yang terlibat konflik. “Dengan kesepakatan damai ini, konflik harus berakhir,” katanya.
Disinggung masalah hasil perkebunan di atas lahan sengketa seluas 1,54 hektare, menurut Camat Dwi Adnyana, sudah diatur dalam kesepakatan damai. Sesuai kesepakatan, hasil panen setahun ini dibagi dua, di mana 50 persen diberikan kepada warga sebagai petani penggarap (kelompok warga 22 KK) dan 50 persen lagi masuk ke Desa Pakraman Batudingding.
Konflik adat itu sendiri sudah berlangsung selama 15 tahun, sejak 2001 ketika pihak adat dan kelompok warga 22 KK sama-sama mengklaim lahan perkebunan seluas 1,54 hektare yang berada di Banjar Lebah, Desa Pakraman Batudingding. Pihak desa mengklaim lahan tersebut sebagai aset adat, karena sudah tertuang dalam awig-awig. Sebaliknya, pihak warga 22 KK mengklaim lahan itu adalah warisan leluhur mereka, sebagai aset dari Pura Dalem.
Konflik adat ini berujung ke ranah hukum. Dalam proses hukum ini, pihak adat (Desa Pakraman Batudingding) dinyatakan menang mulai pengadilan tingkat pertama yakni PN Singaraja, tingkat banding (Pengadilan Tinggi), hingga tingkat kasasi (Mahkamah Agung).
Kendati sudah ada keputusan hukum, konflik adat justru merucing, karena kelompok warga 22 KK menghalangi eksekusi lahan sengketa 1,54 hektare. Setelah eksekusi di lakukan pun, pihak warga 22 KK terus menguasai lahan sengketa tersebut dengan mengambil hasil perkebunan kopi dan cengkih-nya.
Gara-gara konflik sengketa lahan perkebunan ini, pihak Desa Pakraman Batudingding memutuskan sanksi kasepekang (pengucilan secara adat) terhadap wearga 22 KK di Banjar Adat Lebah ini. Karena kasepekang, kelompok warga 22 KK ini lantas memilih pindah menjadi bagian dari Desa Pakraman Pumahan, Desa Gitgit, Kecamatan Sukasada sekitar tahun 2014 lalu.
Konflik adat itu berbuntut panjang dan merembet ke sanksi kedinasan. Sebab, pihak Desa Dinas Batudingding menolak layani administrasi yang dibutuhkan kelompok warga 22 KK, seperti akte perkawinan dan akte kelahiran anak. Pihak desa dinas berdalih, kelompok warga 22 KK ini masih bermasalah dengan Desa Pakraman Batudingding.
Sebagaimana disampaikan Perbekel Pegadungan, I Ketut Sudiara, beberapa waktu lalu, pihaknya tidak bisa memproses permohonan akte perkawinan dari kelompok warga 22 KK, karena ada pararem di Desa Pakraman Batudingding. Dalam perarem tersebut ditegaskan, siapa pun pejabat dinas maupun adat yang memproses permohonan administrasi kelompok warga 22 KK tersebut, bisa dikenakan sanksi adat.
“Kebetulan, saya ini berasal dari Banjar Adat Batudingding dan saya juga mantan Kelian Adat Banjar Batudingding,” beber Perbekel Sudira saat dikonfirmasi NusaBali, 7 Maret 2016 lalu.
Menurut Perbekel Sudira, sebenarnya pihak desa dinas memberikan pelayanan yang sama terhadap semua warga yang tinggal di wilayah Desa Pegadungan. Termasuk juga 22 KK terkucilkan di Banjar Batudingding itu. Hanya saja, kata dia, khusus untuk akte perkawinan, pihaknya harus menghormati juga keputusan Desa Pakraman Batudingding. Sebab, menyangkut akte perkawinan, ada kaitan dengan adat. “Sedangkan administrasi lainnya tetap kami layani.” 7 k19
1
Komentar