LPS: Perang Dagang Strategi Ekonomi Trump
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah mengatakan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China serta negara-negara lainnya, merupakan salah satu strategi ekonomi yang diterapkan Donald Trump.
JAKARTA, NusaBali
"Perang dagang ini hanya satu dari sekian strategi ekonomi Donald Trump. Jangan hanya lihat itu, harus lihat secara keseluruhan, paket ekonomi AS mementingkan Amerika duluan," ujar Halim saat jumpa pers di Jakarta, Rabu (18/7).
Menurut Halim, pemerintahan Trump melakukan perang dagang hanya untuk membatasi impor, tidak hanya dengan China tapi juga negara lain seperti Jepang, Meksiko, dan lainnya. "Intinya mereka membatasi barang-barang impor supaya produksi dalam negerinya naik," kata Halim.
Halim mengatakan, AS tidak takut apabila terjadi defisit fiskal akibat perang dagang itu, karena surat-surat berharga di AS tetap akan ada yang beli kendati anggaran negara tersebut defisit. "Jadi mereka punya unlimited demand terhadap surat-surat berharga di AS. Itu yang ia gunakan sebagai kekuatan, sebagai negara nomor satu di dunia," ujarnya.
Selain perang dagang, pemerintah AS menerapkan tiga strategi lainnya. Yang pertama adalah dengan menurunkan tarif pajak agar investasi di AS lebih menjadi lebih menarik bagi investor. "Kedua, AS menutup kedatangan tenaga kerja yang "low skill" atau imigran. Tapi ia kamuflase itu dengan imigran, supaya tenaga kerja di AS itu lebih banyak dipakai oleh industrialis AS," ujar Halim.
Sedangkan strategi yang ketiga yaitu pemerintah AS berusaha untuk menjadi unggul di kemudian hari dengan pembatasan ekspor teknologi canggih. Halim menuturkan, karena AS mengubah kebijakan ekonominya dan juga mengubah strateginya berhadapan dengan negara lain, mengakibatkan persepsi masyarakat internasional terhadap risiko yang dihadapi mereka baik didalam AS maupun di negara lain termasuk negara berkembang, menjadi berubah.
"Akibat perubahan strategi tersebut, persepsi masyarakat terhadap kemudahan berusaha di AS itu jadi lebih positif. Sementara di negara lain terutama negara berkembang, persepsi risikonya kalah. Secara persepsi kita kurang menarik," ujar Halim.
Dampaknya, lanjut Halim, terjadi arus modal kembali ke AS. Indonesia pun termasuk negara yang terkena imbasnya. "Ini sudah sekitar Rp150 triliun keluar dari Indonesia selama Januari sampai dengan Juli," kata Halim.
Ia menambahkan, akibat kembalinya modal ke AS tersebut, nilai tukar Dolar AS pun menguat terhadap hampir seluruh mata uang di dunia. Namun Indonesia relatif masih terkendali sebab dianggap fundamental ekonominya masih baik. "Karena orang banyak pegang dolar dan itu dirasakan di Indonesia, Turki, dan Brasil. Namun kita beruntung karena Indonesia dianggap fundamentalnya masih baik. Rupiah melemah tapi tidak separah di Turki, Brasil, dan Afrika Selatan. Jadi kita masih relatif baik," ujar Halim. *ant
"Perang dagang ini hanya satu dari sekian strategi ekonomi Donald Trump. Jangan hanya lihat itu, harus lihat secara keseluruhan, paket ekonomi AS mementingkan Amerika duluan," ujar Halim saat jumpa pers di Jakarta, Rabu (18/7).
Menurut Halim, pemerintahan Trump melakukan perang dagang hanya untuk membatasi impor, tidak hanya dengan China tapi juga negara lain seperti Jepang, Meksiko, dan lainnya. "Intinya mereka membatasi barang-barang impor supaya produksi dalam negerinya naik," kata Halim.
Halim mengatakan, AS tidak takut apabila terjadi defisit fiskal akibat perang dagang itu, karena surat-surat berharga di AS tetap akan ada yang beli kendati anggaran negara tersebut defisit. "Jadi mereka punya unlimited demand terhadap surat-surat berharga di AS. Itu yang ia gunakan sebagai kekuatan, sebagai negara nomor satu di dunia," ujarnya.
Selain perang dagang, pemerintah AS menerapkan tiga strategi lainnya. Yang pertama adalah dengan menurunkan tarif pajak agar investasi di AS lebih menjadi lebih menarik bagi investor. "Kedua, AS menutup kedatangan tenaga kerja yang "low skill" atau imigran. Tapi ia kamuflase itu dengan imigran, supaya tenaga kerja di AS itu lebih banyak dipakai oleh industrialis AS," ujar Halim.
Sedangkan strategi yang ketiga yaitu pemerintah AS berusaha untuk menjadi unggul di kemudian hari dengan pembatasan ekspor teknologi canggih. Halim menuturkan, karena AS mengubah kebijakan ekonominya dan juga mengubah strateginya berhadapan dengan negara lain, mengakibatkan persepsi masyarakat internasional terhadap risiko yang dihadapi mereka baik didalam AS maupun di negara lain termasuk negara berkembang, menjadi berubah.
"Akibat perubahan strategi tersebut, persepsi masyarakat terhadap kemudahan berusaha di AS itu jadi lebih positif. Sementara di negara lain terutama negara berkembang, persepsi risikonya kalah. Secara persepsi kita kurang menarik," ujar Halim.
Dampaknya, lanjut Halim, terjadi arus modal kembali ke AS. Indonesia pun termasuk negara yang terkena imbasnya. "Ini sudah sekitar Rp150 triliun keluar dari Indonesia selama Januari sampai dengan Juli," kata Halim.
Ia menambahkan, akibat kembalinya modal ke AS tersebut, nilai tukar Dolar AS pun menguat terhadap hampir seluruh mata uang di dunia. Namun Indonesia relatif masih terkendali sebab dianggap fundamental ekonominya masih baik. "Karena orang banyak pegang dolar dan itu dirasakan di Indonesia, Turki, dan Brasil. Namun kita beruntung karena Indonesia dianggap fundamentalnya masih baik. Rupiah melemah tapi tidak separah di Turki, Brasil, dan Afrika Selatan. Jadi kita masih relatif baik," ujar Halim. *ant
1
Komentar