Pesta Kesenian Bali Ke-40
PKB ke-40 sudah dibuka secara resmi oleh Presiden Republik Indonesia dan berlangsung selama satu bulan.
Menurut Pierre Bourdieau, penggagas teori Modal Budaya berkebangsaan Prancis, PKB merupakan sebuah ‘arena’. Arena adalah ruang untuk merepresentasikan hasil karya seni, keunggulan, dan keagungan peradaban Bali khususnya. Secara etnologis, PKB berfungsi sebagai ‘modal’, yaitu relasi sosial dalam sistem pertukaran. Sebagai modal, PKB merepresentasikan dirinya sebagai sesuatu yang khas, layak dicari, dan warisan budaya leluhur yang perlu dilestarikan.
Selama PKB, berbagai ide dan perilaku manusia ditampilkan. Kesemuanya membentuk sebuah ‘habitus’, kembali meminjam istilah Bourdieau. Habitus merupakan nilai sosial yang dihayati, dan tercipta melalui proses interaksi, misalnya antarseniman, pengunjung, panitia, petugas parkir, dan aparat keamanan. Habitus yang kuat mengendap menjadi perilaku fisik yang disebut ‘Hexis’.
Namun sayang, perilaku fisik pengunjung tidak semua berfungsi sebagai modal budaya. Modal kultural merupakan representasi kemampuan intelektual yang berkaitan dengan aspek logika, etika, maupun estetika. Variasi perilaku fisik pengunjung amat beragam. PKB bagi sekelompok orang adalah menonton peristiwa budaya secara pasif. Tontonan merupakan selingan yang menyenangkan. Mereka tidak menunjukkan apresiasi intelektual. Hal ini dikarenakan keterbatasan kualifikasi intelektual yang relatif rendah. Kelompok pengunjung lain disibukkan dengan membeli oleh-oleh. Bagi mereka, PKB adalah pasar murah, ada mainan, makanan, dan minuman tradisional. Jadi, variasi modal kultural pelibat PKB amat beragam.
Kemampuan dalam mengapresiasi kepemilikan aset budaya sebagai dampak PKB belum pernah dikaji. Apakah PKB meningkatkan kemampuan intelektual yang berkaitan dengan aspek logika, etika, maupun estetika? PKB bukan sekadar pesta, tontonan, rekreasi, atau sejenisnya. Sudah saatnya, PKB dijadikan modal kultural. Modal kultural merupakan keyakinan akan nilai-nilai yang benar, dipatuhi, dan diaktualisasikan. Modal kultural seharusnya teraktualisasikan dalam ‘desa, kala, dan patra’ yang bermanfaat. Jangan sampai modal kultural terpendam sebagai mutiara. Oleh karena itu, kemampuan dan komitmen dibutuhkan untuk memelihara, melestarikan, memperbaharui, dan memanfaatkannya.
PKB juga merupakan modal sosial. Modal sosial adalah segala jenis hubungan sebagai sumber daya untuk penentuan kedudukan sosial. Modal sosial ini merupakan hubungan sosial bernilai antarorang. Selama PKB, krama Bali dapat berinteraksi antarkelas dalam lapisan sosial yang beragam. Modal sosial dapat menghindari pembiasan makna. Umumnya, modal sosial memiliki tiga fokus penting. Pertama, menyangkut institusi, norma, nilai, konvensi, konsep hidup, kode etik, dan sejenisnya. Kedua, pola pengelolaan yang bernilai produktif bagi terciptanya kepaduan sosial. Ketiga, konteks interaksi yang mendorong negosiasi dan adaptasi. Sehingga pada gilirannya menggiring individu-individu untuk melangsungkan tindakan reinterpretatif terhadap modal sosial yang dimiliki.
Perlu disadari bahwa kemanfaatan modal sosial sangat bergantung pada cara-cara pelestarian, pemeliharaan, penguatan, atau pembaharuannya. Salah urus terhadap modal sosial akan menghasilkan kerugian. Sebaliknya, pengurusan yang tepat, pengelolaan yang benar, akan menghasilkan modal simbolik. Modal simbolik merupakan sumber daya yang dioptimalkan dalam meraih ‘kekuasaan budaya’. Kekuasaan simbolik yang dimaksudkan adalah semua bentuk pengakuan lokal, nasional, dan internasional. Pada akhirnya, PKB dapat menjadi sebuah heterodoksa, yaitu pemikiran eksplisit yang mempertanyakan bentuk, fungsi, dan makna PKB yang sudah berlangsung empat puluh tahun sampai saat ini.
Meskipun PKB memiliki peran penting dalam praktek, ia tidak otomatis memiliki kekuatan signifikan pada kebudayaan Bali. Nilai-nilai adiluhung yang terimplementasikan sebelum, saat, dan sesudah PKB seharusnya dihayati, tercipta, dan mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri krama Bali sebagai sebuah hexis atau perilaku fisik. Semoga. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Selama PKB, berbagai ide dan perilaku manusia ditampilkan. Kesemuanya membentuk sebuah ‘habitus’, kembali meminjam istilah Bourdieau. Habitus merupakan nilai sosial yang dihayati, dan tercipta melalui proses interaksi, misalnya antarseniman, pengunjung, panitia, petugas parkir, dan aparat keamanan. Habitus yang kuat mengendap menjadi perilaku fisik yang disebut ‘Hexis’.
Namun sayang, perilaku fisik pengunjung tidak semua berfungsi sebagai modal budaya. Modal kultural merupakan representasi kemampuan intelektual yang berkaitan dengan aspek logika, etika, maupun estetika. Variasi perilaku fisik pengunjung amat beragam. PKB bagi sekelompok orang adalah menonton peristiwa budaya secara pasif. Tontonan merupakan selingan yang menyenangkan. Mereka tidak menunjukkan apresiasi intelektual. Hal ini dikarenakan keterbatasan kualifikasi intelektual yang relatif rendah. Kelompok pengunjung lain disibukkan dengan membeli oleh-oleh. Bagi mereka, PKB adalah pasar murah, ada mainan, makanan, dan minuman tradisional. Jadi, variasi modal kultural pelibat PKB amat beragam.
Kemampuan dalam mengapresiasi kepemilikan aset budaya sebagai dampak PKB belum pernah dikaji. Apakah PKB meningkatkan kemampuan intelektual yang berkaitan dengan aspek logika, etika, maupun estetika? PKB bukan sekadar pesta, tontonan, rekreasi, atau sejenisnya. Sudah saatnya, PKB dijadikan modal kultural. Modal kultural merupakan keyakinan akan nilai-nilai yang benar, dipatuhi, dan diaktualisasikan. Modal kultural seharusnya teraktualisasikan dalam ‘desa, kala, dan patra’ yang bermanfaat. Jangan sampai modal kultural terpendam sebagai mutiara. Oleh karena itu, kemampuan dan komitmen dibutuhkan untuk memelihara, melestarikan, memperbaharui, dan memanfaatkannya.
PKB juga merupakan modal sosial. Modal sosial adalah segala jenis hubungan sebagai sumber daya untuk penentuan kedudukan sosial. Modal sosial ini merupakan hubungan sosial bernilai antarorang. Selama PKB, krama Bali dapat berinteraksi antarkelas dalam lapisan sosial yang beragam. Modal sosial dapat menghindari pembiasan makna. Umumnya, modal sosial memiliki tiga fokus penting. Pertama, menyangkut institusi, norma, nilai, konvensi, konsep hidup, kode etik, dan sejenisnya. Kedua, pola pengelolaan yang bernilai produktif bagi terciptanya kepaduan sosial. Ketiga, konteks interaksi yang mendorong negosiasi dan adaptasi. Sehingga pada gilirannya menggiring individu-individu untuk melangsungkan tindakan reinterpretatif terhadap modal sosial yang dimiliki.
Perlu disadari bahwa kemanfaatan modal sosial sangat bergantung pada cara-cara pelestarian, pemeliharaan, penguatan, atau pembaharuannya. Salah urus terhadap modal sosial akan menghasilkan kerugian. Sebaliknya, pengurusan yang tepat, pengelolaan yang benar, akan menghasilkan modal simbolik. Modal simbolik merupakan sumber daya yang dioptimalkan dalam meraih ‘kekuasaan budaya’. Kekuasaan simbolik yang dimaksudkan adalah semua bentuk pengakuan lokal, nasional, dan internasional. Pada akhirnya, PKB dapat menjadi sebuah heterodoksa, yaitu pemikiran eksplisit yang mempertanyakan bentuk, fungsi, dan makna PKB yang sudah berlangsung empat puluh tahun sampai saat ini.
Meskipun PKB memiliki peran penting dalam praktek, ia tidak otomatis memiliki kekuatan signifikan pada kebudayaan Bali. Nilai-nilai adiluhung yang terimplementasikan sebelum, saat, dan sesudah PKB seharusnya dihayati, tercipta, dan mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri krama Bali sebagai sebuah hexis atau perilaku fisik. Semoga. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Komentar