Cuaca Ganggu Produksi Kopi Bali
Faktor cuaca membuat panen menyusut. Proses penanganan pasca panen, mulai dari pengeringan dan proses produksi selanjutnya hingga jadi kopi siap jual, juga terganggu.
DENPASAR, NusaBali
Produksi kopi Bali merosot tajam. Anomali cuaca dan pola budidaya tidak maksimal diklaim jadi penyebabnya. Karenanya tingginya permintaan kopi Bali, tidak bisa dipenuhi. Termasuk permintaan untuk ekspor. Produksi kopi diperkirakan menurun sampai 40 persen.
Kalangan petani kopi mengakui penurunan produksi akibat terdampak kondisi cuaca yang tidak normal tersebut. “Sekarang sudah mulai pulih, namun tahun (2017) berkurang,” ujar I Gusti Mangku Rupa, salah seorang petani kopi dari Desa Catur Kintamani, Bangli, Senin (23/7).
Gusti Mangku Rupa tak menyebut detil jumlah penurunan produksi kopi, akibat pengaruh cuaca tersebut. Namun dia memastikan, memang ada penurunan produksi atau panen. Selain panen yang menyusut, proses penanganan pasca panen, mulai dari pengeringan dan proses produksi selanjutnya hingga jadi kopi siap jual, juga terganggu. “Karena kerap hujan, waktu pengeringan lebih lama,” jelasnya.
Sementara di pasaran, harga kopi memang menggiurkan. Harga kopi Bali, dalam bentuk bubuk di kisaran Rp 60.000 - Rp 200.000 per kilogram. Sedang dalam jika masih dalam bentuk biji, harganya antara Rp 35.000 per kilo sampai Rp 90.000 per kilogram. Kabid Perkebunan, Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Bali, Lanang Haryawan, mengatakan penurunan produksi kopi akibat anomali cuaca cukup besar. Kisaran penurunan produksi 69 persen lebih.
Sebagai sample, Lanang Haryawan merujuk produksi kopi di kawasan perkebunan kopi Wanagiri di Buleleng. Produksi kopi, dalam bentuk gelondong merah hanya 345 ton. Setelah proses menjadi beras kopi (biji kopi), tak lebih dari 61 ton. Sedang jika kondisi normal, produksi kopi di kawasan seluas 3000 hektare itu, produksi kopi gelondong merah antara Rp 500-600 ton. Sedang untuk seluruh Bali, cakupan luas areal perkebunan kopi sekitar 14.000 hektare. Dalam keadaan normal, produksi rata-rata 25.000 ton, menghasilkan 4,5 ton beras kopi. Karena faktor cuaca, panen kopi hanya 15.000 ton, dengan hasil 2,5 ton beras kopi. “Sekarang buah kopi sudah habis panen,” ungkap Lanang Haryawan. Seandainya kondisi cuaca normal, produksi juga normal, masa berbuah dan panen kopi berlangsung 3 bulan. Mulai Juni dan berakhir Agustus.
Selain faktor cuaca, pemeliharaan dan proses budidaya yang tidak optimal, memperparah merosotnya produk kopi. “Tanaman kalau hanya ditaruh, tidak dipupuk hanya nunggu panen saja, tentu tidak maksimal hasilnya,” kata Lanang Haryawan.
Kata Lanang Haryawan, tanaman kopi jadi kurang sehat, kalau budidayanya tak maksimal. “Maka begitu terjadi perubahan cuaca yang agak ekstrem, bunganya jadi rontok semua,’ ujarnya. Bunga, maupun putik kopi akan relatif bertahan, jika asupan pupuk memadai. “Karenanya kita harapkan petani agar merawat dengan maksimal. Jangan hanya tinggal petik saja,” tandas Lanang Haryawan. *k17
Produksi kopi Bali merosot tajam. Anomali cuaca dan pola budidaya tidak maksimal diklaim jadi penyebabnya. Karenanya tingginya permintaan kopi Bali, tidak bisa dipenuhi. Termasuk permintaan untuk ekspor. Produksi kopi diperkirakan menurun sampai 40 persen.
Kalangan petani kopi mengakui penurunan produksi akibat terdampak kondisi cuaca yang tidak normal tersebut. “Sekarang sudah mulai pulih, namun tahun (2017) berkurang,” ujar I Gusti Mangku Rupa, salah seorang petani kopi dari Desa Catur Kintamani, Bangli, Senin (23/7).
Gusti Mangku Rupa tak menyebut detil jumlah penurunan produksi kopi, akibat pengaruh cuaca tersebut. Namun dia memastikan, memang ada penurunan produksi atau panen. Selain panen yang menyusut, proses penanganan pasca panen, mulai dari pengeringan dan proses produksi selanjutnya hingga jadi kopi siap jual, juga terganggu. “Karena kerap hujan, waktu pengeringan lebih lama,” jelasnya.
Sementara di pasaran, harga kopi memang menggiurkan. Harga kopi Bali, dalam bentuk bubuk di kisaran Rp 60.000 - Rp 200.000 per kilogram. Sedang dalam jika masih dalam bentuk biji, harganya antara Rp 35.000 per kilo sampai Rp 90.000 per kilogram. Kabid Perkebunan, Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Bali, Lanang Haryawan, mengatakan penurunan produksi kopi akibat anomali cuaca cukup besar. Kisaran penurunan produksi 69 persen lebih.
Sebagai sample, Lanang Haryawan merujuk produksi kopi di kawasan perkebunan kopi Wanagiri di Buleleng. Produksi kopi, dalam bentuk gelondong merah hanya 345 ton. Setelah proses menjadi beras kopi (biji kopi), tak lebih dari 61 ton. Sedang jika kondisi normal, produksi kopi di kawasan seluas 3000 hektare itu, produksi kopi gelondong merah antara Rp 500-600 ton. Sedang untuk seluruh Bali, cakupan luas areal perkebunan kopi sekitar 14.000 hektare. Dalam keadaan normal, produksi rata-rata 25.000 ton, menghasilkan 4,5 ton beras kopi. Karena faktor cuaca, panen kopi hanya 15.000 ton, dengan hasil 2,5 ton beras kopi. “Sekarang buah kopi sudah habis panen,” ungkap Lanang Haryawan. Seandainya kondisi cuaca normal, produksi juga normal, masa berbuah dan panen kopi berlangsung 3 bulan. Mulai Juni dan berakhir Agustus.
Selain faktor cuaca, pemeliharaan dan proses budidaya yang tidak optimal, memperparah merosotnya produk kopi. “Tanaman kalau hanya ditaruh, tidak dipupuk hanya nunggu panen saja, tentu tidak maksimal hasilnya,” kata Lanang Haryawan.
Kata Lanang Haryawan, tanaman kopi jadi kurang sehat, kalau budidayanya tak maksimal. “Maka begitu terjadi perubahan cuaca yang agak ekstrem, bunganya jadi rontok semua,’ ujarnya. Bunga, maupun putik kopi akan relatif bertahan, jika asupan pupuk memadai. “Karenanya kita harapkan petani agar merawat dengan maksimal. Jangan hanya tinggal petik saja,” tandas Lanang Haryawan. *k17
Komentar