Rupiah Terus Melemah
Tekanan terhadap rupiah cenderung lebih besar, karena tidak hanya satu. Yakni, suku bunga AS, harga minyak dan trade war
Terpukul Suku Bunga AS, Minyak dan Trade War
JAKARTA, NusaBali
Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Selasa (24/7) bergerak melemah 64 poin menjadi Rp14.546 dibanding posisi sebelumnya Rp 14.482 per dolar AS. Analis senior CSA Research Institute Reza Priyambada mengatakan, dari sisi tren terlihat masih adanya peluang bagi Rupiah untuk kembali melemah seiring minimnya sentimen positif dari dalam negeri.
"Diharapkan laju rupiah dapat menyerap sentimen pelemahan dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama global lainnya untuk menahan pelemahan lebih lanjut," ujar Reza, di Jakarta, Selasa.
Rupiah diperkirakan bergerak di kisaran Rp 14.492 per dolar AS hingga Rp14.477 per dolar AS. Sebelumnya, meski laju Dolar AS melemah terhadap sejumlah mata uang utama dunia, namun tidak banyak berimbas pada mata uang rupiah yang masih dalam pelemahannya.
Pergerakan tersebut sesuai dengan perkiraan sebelumnya dimana belum adanya sejumlah sentimen positif yang signifikan mengangkat rupiah membuat pergerakannya cenderung masih dalam tren pelemahannya.
Rupiah kembali melemah setelah Badan Anggaran DPR RI melakukan Rapat Panja Perumus Kesimpulan dengan Pemerintah mengenai pembahasan kesimpulan laporan realisasi Semester I dan Prognosis Semester II APBN TA dimana menyangsikan pertumbuhan ekonomi 2018 sebesar 5,4 persen.
Sementara itu, ekonom senior dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menilai melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak hanya disebabkan rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral AS The Fed.
“Tekanan terhadap rupiah cenderung lebih besar dibandingkan emerging market lain, karena tekanannya tidak hanya satu. Yakni, suku bunga AS, tapi juga harga minyak dan juga trade war," ujar Tony di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (24/7).
Menurut Tony, kenaikan harga minyak yang mencapai 77 dolar AS per barel mengganggu kredibilitas fiskal Indonesia. Sebagai negara pengimpor minyak, lanjutnya, kenaikan harga minyak yang signifikan dapat mengganggu kondisi fiskal APBN. Sedangkan perang dagang antara AS dan Cina serta sejumlah negara lain, disebut akan menekan neraca perdagangan Indonesia. Dampaknya negatif dan akan memberikan tekanan terhadap rupiah. *ant
JAKARTA, NusaBali
Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Selasa (24/7) bergerak melemah 64 poin menjadi Rp14.546 dibanding posisi sebelumnya Rp 14.482 per dolar AS. Analis senior CSA Research Institute Reza Priyambada mengatakan, dari sisi tren terlihat masih adanya peluang bagi Rupiah untuk kembali melemah seiring minimnya sentimen positif dari dalam negeri.
"Diharapkan laju rupiah dapat menyerap sentimen pelemahan dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama global lainnya untuk menahan pelemahan lebih lanjut," ujar Reza, di Jakarta, Selasa.
Rupiah diperkirakan bergerak di kisaran Rp 14.492 per dolar AS hingga Rp14.477 per dolar AS. Sebelumnya, meski laju Dolar AS melemah terhadap sejumlah mata uang utama dunia, namun tidak banyak berimbas pada mata uang rupiah yang masih dalam pelemahannya.
Pergerakan tersebut sesuai dengan perkiraan sebelumnya dimana belum adanya sejumlah sentimen positif yang signifikan mengangkat rupiah membuat pergerakannya cenderung masih dalam tren pelemahannya.
Rupiah kembali melemah setelah Badan Anggaran DPR RI melakukan Rapat Panja Perumus Kesimpulan dengan Pemerintah mengenai pembahasan kesimpulan laporan realisasi Semester I dan Prognosis Semester II APBN TA dimana menyangsikan pertumbuhan ekonomi 2018 sebesar 5,4 persen.
Sementara itu, ekonom senior dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menilai melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak hanya disebabkan rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral AS The Fed.
“Tekanan terhadap rupiah cenderung lebih besar dibandingkan emerging market lain, karena tekanannya tidak hanya satu. Yakni, suku bunga AS, tapi juga harga minyak dan juga trade war," ujar Tony di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (24/7).
Menurut Tony, kenaikan harga minyak yang mencapai 77 dolar AS per barel mengganggu kredibilitas fiskal Indonesia. Sebagai negara pengimpor minyak, lanjutnya, kenaikan harga minyak yang signifikan dapat mengganggu kondisi fiskal APBN. Sedangkan perang dagang antara AS dan Cina serta sejumlah negara lain, disebut akan menekan neraca perdagangan Indonesia. Dampaknya negatif dan akan memberikan tekanan terhadap rupiah. *ant
Komentar