3 Warga Suku Mause Mati Kelaparan
Kondisi medan sulit dijangkau, bertahan hidup dengan makanan dari alam
MALUKU, NusaBali
Sebanyak 170 jiwa warga Komunitas Adat Terpencil (KAT) Suku Mause Ane, Seram Utara Timur Kobi, Maluku Tengah, Maluku menghadapi kesulitan makanan. Akibatnya, 3 orang mati kelaparan. Salah satu kendala memantau pergerakan mereka yaitu 170 orang itu hidup nomaden. Selain itu, posisi mereka sangat jauh dan susah dijangkau.
"Di situ kendalanya. Kalau pun logistik bisa tiba hanya sebatas Desa Sehan. Itu pun sudah berjalan dengan aspal, jalan berbatu, melintas sungai dan jalan kaki," ujar Kapendam XVI/ Pattimura, Kolonel Arm Sarkistan Sihaloho, Kamis (26/7) seperti dilansir detik. Suku Mause Ane tidak menggunakan dan memakai bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Selain itu mereka akan lari ke hutan bila melihat orang baru (warga yang bukan komunitas mereka.
"Kalau vidio yang kita dengarin kemarin meraka tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia sehingga ada masyarakat di situ yang bisa menyambungkan dengan mereka dan mereka ucapkan terima kasih telah dibantu dan selama ini mereka takut melihat orang. Jadi itu yang susah. Ketika ketemu orang lain, mereka lari," ujarnya.
Tiga daerah yang ditempati Suku Mause Ane yakni Bantaran Sungai Kobi, Laihaha dan Bantaran Sungai Tilupa. Kemarin, baru 54 jiwa yang bersedia menerima bantuan di lokasi yang disepakati. Suku Mause Ane menempati 3 daerah dengan jumlah 170 jiwa dan 45 kepala keluarga. Tiap daerah jarak tempuh dengan jalan kaki yang memakan waktu satu sampai dua hari. Lantas, bagaimana mereka bisa bertahan? Selama ini bertahan hidup dengan makanan dan minum dari alam.
"Mereka (suku Mause Ane) mengalami muntaber, karena mungkin mereka minum air yang tidak layak dikonsumsi dan kalau makan, menurut pengakuan mereka makan dari alam. Jadi selama ini bertahan hidup seperti itu," kata Kapendam XVI/Pattimura, Kolonel Arm Sarkistan Sihaloho, Kamis (26/7).
Kapendam XVI/ Pattimura menjelaskan menurut masyarakat di sana selama ini kehidupan di hutan seperti itu. Selain member bantuan bahan makanan dan obat-obatan, TNI juga mengirim tim medis dan dokter untuk mengobati suku terpencil yang terkena penyakit muntaber dan gatal-gatal. Satu unit mobil ambulance stand by di lokasi penjemputan. Untuk sementara ini posko telah didirikan untuk pengobatan kesehatan dan bantuan makanan.
"Menurut masyarakat di sana mereka kehabisan bahan makanan karena ada hama babi dan tikus. Mungkin yang biasa mereka makan jenis umbi-umbian habis sehingga mereka tidak bisa berpindah lagi. Kita dengar juga beberapa tahun pernah diimbau untuk turun," ujarnya.
Hal itu dibenarkan oleh tim Kementerian Sosial (Kemensos) yang datang ke sana. Tim menyebut musibah itu disebabkan oleh serangan hama terhadap perkebunan warga.
Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial (Dirjen Linjamsos) Harry Hikmat menuturkan tim ini sudah tiba di Suku Mausu Ane. Mereka bekerja untuk mengidentifikasi warga yang sakit, mendata korban meninggal, menyusun kronologi kejadian, menyalurkan bantuan logistik, serta mengidentifikasi kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang warga. "Tim ini diterjunkan sebagai respons cepat kejadian bencana kelaparan akibat perkebunan mereka diserang babi dan tikus," kata Harry di Jakarta, Kamis (26/7) seperti dilansir cnnindonesia. *
Sebanyak 170 jiwa warga Komunitas Adat Terpencil (KAT) Suku Mause Ane, Seram Utara Timur Kobi, Maluku Tengah, Maluku menghadapi kesulitan makanan. Akibatnya, 3 orang mati kelaparan. Salah satu kendala memantau pergerakan mereka yaitu 170 orang itu hidup nomaden. Selain itu, posisi mereka sangat jauh dan susah dijangkau.
"Di situ kendalanya. Kalau pun logistik bisa tiba hanya sebatas Desa Sehan. Itu pun sudah berjalan dengan aspal, jalan berbatu, melintas sungai dan jalan kaki," ujar Kapendam XVI/ Pattimura, Kolonel Arm Sarkistan Sihaloho, Kamis (26/7) seperti dilansir detik. Suku Mause Ane tidak menggunakan dan memakai bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Selain itu mereka akan lari ke hutan bila melihat orang baru (warga yang bukan komunitas mereka.
"Kalau vidio yang kita dengarin kemarin meraka tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia sehingga ada masyarakat di situ yang bisa menyambungkan dengan mereka dan mereka ucapkan terima kasih telah dibantu dan selama ini mereka takut melihat orang. Jadi itu yang susah. Ketika ketemu orang lain, mereka lari," ujarnya.
Tiga daerah yang ditempati Suku Mause Ane yakni Bantaran Sungai Kobi, Laihaha dan Bantaran Sungai Tilupa. Kemarin, baru 54 jiwa yang bersedia menerima bantuan di lokasi yang disepakati. Suku Mause Ane menempati 3 daerah dengan jumlah 170 jiwa dan 45 kepala keluarga. Tiap daerah jarak tempuh dengan jalan kaki yang memakan waktu satu sampai dua hari. Lantas, bagaimana mereka bisa bertahan? Selama ini bertahan hidup dengan makanan dan minum dari alam.
"Mereka (suku Mause Ane) mengalami muntaber, karena mungkin mereka minum air yang tidak layak dikonsumsi dan kalau makan, menurut pengakuan mereka makan dari alam. Jadi selama ini bertahan hidup seperti itu," kata Kapendam XVI/Pattimura, Kolonel Arm Sarkistan Sihaloho, Kamis (26/7).
Kapendam XVI/ Pattimura menjelaskan menurut masyarakat di sana selama ini kehidupan di hutan seperti itu. Selain member bantuan bahan makanan dan obat-obatan, TNI juga mengirim tim medis dan dokter untuk mengobati suku terpencil yang terkena penyakit muntaber dan gatal-gatal. Satu unit mobil ambulance stand by di lokasi penjemputan. Untuk sementara ini posko telah didirikan untuk pengobatan kesehatan dan bantuan makanan.
"Menurut masyarakat di sana mereka kehabisan bahan makanan karena ada hama babi dan tikus. Mungkin yang biasa mereka makan jenis umbi-umbian habis sehingga mereka tidak bisa berpindah lagi. Kita dengar juga beberapa tahun pernah diimbau untuk turun," ujarnya.
Hal itu dibenarkan oleh tim Kementerian Sosial (Kemensos) yang datang ke sana. Tim menyebut musibah itu disebabkan oleh serangan hama terhadap perkebunan warga.
Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial (Dirjen Linjamsos) Harry Hikmat menuturkan tim ini sudah tiba di Suku Mausu Ane. Mereka bekerja untuk mengidentifikasi warga yang sakit, mendata korban meninggal, menyusun kronologi kejadian, menyalurkan bantuan logistik, serta mengidentifikasi kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang warga. "Tim ini diterjunkan sebagai respons cepat kejadian bencana kelaparan akibat perkebunan mereka diserang babi dan tikus," kata Harry di Jakarta, Kamis (26/7) seperti dilansir cnnindonesia. *
Komentar