Tampilkan Cerita ‘Kumbakarna Antaka’
Tidak hanya melibatkan pragina yang sudah sepuh, pragina muda pun dilibatkan dalam garapan ini.
Wayang Wong Talepud di Bali Mandara Mahalango V
DENPASAR, NusaBali
Sekaa Dewa Kocala Rakhta Talepud, Banjar Pujung Kaja, Desa Sebatu, Kecamatan Tegallalang, Gianyar, dalam tema Gelar Seni Klasik Unggulan Bali Mandara Mahalango (BMM) V mempersembahkan Wayang Wong Klasik Melampahan di Kalangan Madya Mandala, Taman Budaya-Art Center, Denpasar, Senin (30/7) malam. Wayang Wong Senin malam lalu mengambil judul ‘Kumbakarna Antaka’.
Sekaa Dewa Kocala Rakhta Talepud memang tidak perlu diragukan lagi. Meski bernaung dalam sekaa yang diurus oleh desa adat, namun totalitas sekaa ini memang patut menjadi perhatian. Sekaa ini telah tampil di berbagai negara di Eropa dan Asia. Selaku konseptor garapan, Jro Mangku Pande Made Rahajeng mengaku berpikir keras untuk mempersingkat durasi garapan wayang wong yang umumnya berlangsung selama tiga sampai empat jam.
“Wayang Wong yang kami angkat memang mutlak berlandasakan ajaran sastra Hindu yakni Ramayana yang sebenarnya ada 18 parwa. Sehingga ada beberapa parwa yang menjadi topik garapan kali ini, dan ‘Kumbakarna Antaka’ adalah judul yang diambil,” terang Jro Mangku Pande Made Rahajeng.
Pementasan dimulai pukul 19.30 Wita. Tidak hanya melibatkan pragina yang sudah sepuh, melainkan pragina muda pun dilibatkan dalam garapan ini. Bagi Jro Made, regenerasi sangatlah diperlukan. Tak hanya wayang wong, kesenian di Bali lainnya pun layak memiliki generasi penerus guna keajegan budaya Bali. “Ada yang bapaknya dulu jadi pragina wayang wong kini dilanjutkan oleh anaknya,” tutur Jro Made.
Menurut pengamat seni, Prof I Made Bandem, Wayang Wong Talepud ini merupakan wayang wong professional. Wayang wong ini sudah digarap untuk seni pementasan. “Wayang wong umumnya adalah pementasan untuk wali yang sifatnya sakral. Ini pun masih punya aspek sakralnya, namun bisa diubah sedemikian rupa untuk dipertunjukkan di sini,” ujarnya.
Menurutnya, Wayang wong ini juga sudah sering keluar negeri sehingga mereka sudah biasa dengan penampilan panggung proscenium seperti pentas ini. Dari segi koreografi pun menurutnya sudah jelas dan bagus. Meskipun pementasannya untuk sekuler namun karena oleh topeng wali, tetap saja aturan berupa upacaranya tetap dilakukan.
“Wayang wong memanglah tarian sakral, sehingga mempertahankan aspek upacara adalah suatu keharusan. Jadi sebelum pementasan disini, mereka sudah punya upacara, seperti upacara mebersih bersih ya mohon taksu untuk pentas di panggung,” terangnya.
Hal yang paling membuat Prof Bandem kagum adalah adanya generasi muda yang turut tampil dalam kesenian wayang wong ini, salah satunya pemeran Hanuman. Bagi Prof Bandem, regenerasi inilah yang seharusnya dilakukan, yakni regenerasi seniman untuk mengembalikan roh wayang wong ke seni sakral lagi. *ind
DENPASAR, NusaBali
Sekaa Dewa Kocala Rakhta Talepud, Banjar Pujung Kaja, Desa Sebatu, Kecamatan Tegallalang, Gianyar, dalam tema Gelar Seni Klasik Unggulan Bali Mandara Mahalango (BMM) V mempersembahkan Wayang Wong Klasik Melampahan di Kalangan Madya Mandala, Taman Budaya-Art Center, Denpasar, Senin (30/7) malam. Wayang Wong Senin malam lalu mengambil judul ‘Kumbakarna Antaka’.
Sekaa Dewa Kocala Rakhta Talepud memang tidak perlu diragukan lagi. Meski bernaung dalam sekaa yang diurus oleh desa adat, namun totalitas sekaa ini memang patut menjadi perhatian. Sekaa ini telah tampil di berbagai negara di Eropa dan Asia. Selaku konseptor garapan, Jro Mangku Pande Made Rahajeng mengaku berpikir keras untuk mempersingkat durasi garapan wayang wong yang umumnya berlangsung selama tiga sampai empat jam.
“Wayang Wong yang kami angkat memang mutlak berlandasakan ajaran sastra Hindu yakni Ramayana yang sebenarnya ada 18 parwa. Sehingga ada beberapa parwa yang menjadi topik garapan kali ini, dan ‘Kumbakarna Antaka’ adalah judul yang diambil,” terang Jro Mangku Pande Made Rahajeng.
Pementasan dimulai pukul 19.30 Wita. Tidak hanya melibatkan pragina yang sudah sepuh, melainkan pragina muda pun dilibatkan dalam garapan ini. Bagi Jro Made, regenerasi sangatlah diperlukan. Tak hanya wayang wong, kesenian di Bali lainnya pun layak memiliki generasi penerus guna keajegan budaya Bali. “Ada yang bapaknya dulu jadi pragina wayang wong kini dilanjutkan oleh anaknya,” tutur Jro Made.
Menurut pengamat seni, Prof I Made Bandem, Wayang Wong Talepud ini merupakan wayang wong professional. Wayang wong ini sudah digarap untuk seni pementasan. “Wayang wong umumnya adalah pementasan untuk wali yang sifatnya sakral. Ini pun masih punya aspek sakralnya, namun bisa diubah sedemikian rupa untuk dipertunjukkan di sini,” ujarnya.
Menurutnya, Wayang wong ini juga sudah sering keluar negeri sehingga mereka sudah biasa dengan penampilan panggung proscenium seperti pentas ini. Dari segi koreografi pun menurutnya sudah jelas dan bagus. Meskipun pementasannya untuk sekuler namun karena oleh topeng wali, tetap saja aturan berupa upacaranya tetap dilakukan.
“Wayang wong memanglah tarian sakral, sehingga mempertahankan aspek upacara adalah suatu keharusan. Jadi sebelum pementasan disini, mereka sudah punya upacara, seperti upacara mebersih bersih ya mohon taksu untuk pentas di panggung,” terangnya.
Hal yang paling membuat Prof Bandem kagum adalah adanya generasi muda yang turut tampil dalam kesenian wayang wong ini, salah satunya pemeran Hanuman. Bagi Prof Bandem, regenerasi inilah yang seharusnya dilakukan, yakni regenerasi seniman untuk mengembalikan roh wayang wong ke seni sakral lagi. *ind
Komentar