Pemikiran tentang Dualisme
BAGAIMANA krama Hindu Bali memikirkan tentang suatu entitas tertentu, misalnya salah-benar, baik-buruk, dan sebagainya? Secara filosofis, ada sembilan sistem pemikiran, yang dikenal sebagai Nawa Darsana. Misalnya, krama Hindu Bali memikirkan tentang Sang Causa Prima berdasarkan atas dua sistem, yaitu Veda dan tradisi.
Memahami tentang sifat Brahman, cendekia Hindu Bali menggunakan Veda atau turunannya. Sedangkan kebanyakan krama Hindu Bali memercayai, memahami, dan menghayati tentang Ida Hyang Widhi Wasa berdasarkan atas bakti. Kedua sistem ini berimplikasi pada aktivitas keber-agama-an (reliugisitas) Hindu di Bali.
Ritual Hindu sangat banyak dan variasi banten juga sangat besar. Walau variasi besar, namun konflik yang muncul minim. Kenapa variasi yang besar tidak menimbulkan konflik?
Menurut filsafat Sankhya bahwa setiap orang dapat merealisasikan kenyataan terakhir dengan pengetahuan atau pengalaman masing-masing. Setiap orang seharusnya menghormati keyakinan dan kepercayaan orang lain dengan segala cara dan strateginya, bukan merecoki.
Bagaimana sistem pemikiran krama Hindu Bali lainnya yang tersebar di nusantara? Dalam hal ini, krama Hindu Bali dapat menggunakan prakerti, bukan purusa. Purusa cenderung bersifat statis dan eksklusif. Sedangkan prakerti lebih bersifat dinamis dan kompleks. Misalnya, pemikiran tentang soroh atau warna sebaiknya menggunakan prakerti yang bersifat dinamis, bukan purusa. Keberanian untuk memfleksibelkan tradisi diperlukan saat ini, agar tercipta kehidupan yang paras paros salulung sabayantaka.
Pemikiran tentang diri sendiri dan orang lain sangat terkait dengan hukum karma phala, konsep hukum sebab akibat. Konsep hukum sebab-akibat dalam sistem filsafat Sankhya membantu memahami dua prinsip tertinggi, yaitu purusa dan prakerti. Pertanyaan mendasar dalam konsep hukum sebab-akibat adalah: ‘Apakah efek atau akibat pra-eksis dalam penyebab materialnya?’ Mereka yang memberikan jawaban negatif berpandangan bahwa akibat adalah tidak pra-eksis dalam penyebab materialnya. Sedangkan mereka yang memberikan jawaban positif berpendapat bahwa akibat adalah pra-eksis dalam penyebab materialnya.
Menurut yang pertama, efek merupakan sebuah ciptaan baru, sebuah permulaan nyata yang secara esensial berbeda dengan penyebabnya. Efek tidak pra-eksis dalam penyebab materialnya atau tindakan dari penyebab menghasilkan akibat yang berbeda dengannya. Pada sisi lain, akibat bukanlah sebuah penciptaan baru, tetapi hanya sebuah manifestasi eksplisit, dari yang implisit terkandung dalam penyebab materialnya. Atau, efek merupakan sebuah transformasi nyata atau sebuah penampakan tidak nyata dari penyebab materialnya.
Sankhya dapat juga disebut menganut pandangan realistis. Ia mengakui adanya realitas dunia yang bebas dari roh, asas bendani berbeda dengan asas rohani. Pandangan demikian mengandaikan dua realitas yang berdiri sendiri. Sankhya menganut pandangan dualistis. Dua realitas dikatakan berdiri sendiri karena yang satu lepas dan bebas sama sekali daripada yang lain. Bukan hanya lepas dan terpisah, bahkan antara yang satu dan yang lain dinyatakan sebagai sesuatu yang saling berbeda dan bertentangan, tanpa dapat dipadukan. Dua realitas yang saling bertentangan ini disebut purusa dan prakerti. Purusa adalah asas rohani, sedangkan prakerti adalah asas bendani.
Purusa banyak jumlahnya, tetapi prakerti hanya satu. Purusa tidak berganda, tetapi keadaan prakerti kompleks. Purusa bersifat statis, tetapi prakerti dinamis. Purusa tidak mengalami perubahan tempat maupun bentuk, tetapi prakerti mengalami perubahan. Purusa bersifat pasif. Purusa adalah kesadaran murni, roh, subjek atau yang mengetahui. Ia bukan tubuh, bukan pula indera-indera; ia bukan otak bukan pula pikiran; bukan pula ego, bukan pula intelek. Purusa bukan sebuah substansi yang memiliki sifat kesadaran. Kesadaran merupakan esensinya. Purusa sendiri adalah kesadaran murni dan transendental.
Bagi umat Hindu di Bali filsafat Sankya mungkin dapat dijadikan referensi alternatif dalam menjalankan keyakinan. Secara denotatif, kata Sankhya berarti pengetahuan yang benar. Secara konotatif, kata tersebut berarti pemantulan, pemantulan filsafati. Oleh karena itu, sistem filsafat Sankhya mengemukakan bahwa orang dapat merealisasikan atau mentransendenkan kenyataan terakhir dengan pengetahuan, bukan perasaan semata. Untuk itu, diperlukan keberanian mengatasi keadaan purusa yang berlawanan dan bertentangan dengan prakerti. Semoga. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Ritual Hindu sangat banyak dan variasi banten juga sangat besar. Walau variasi besar, namun konflik yang muncul minim. Kenapa variasi yang besar tidak menimbulkan konflik?
Menurut filsafat Sankhya bahwa setiap orang dapat merealisasikan kenyataan terakhir dengan pengetahuan atau pengalaman masing-masing. Setiap orang seharusnya menghormati keyakinan dan kepercayaan orang lain dengan segala cara dan strateginya, bukan merecoki.
Bagaimana sistem pemikiran krama Hindu Bali lainnya yang tersebar di nusantara? Dalam hal ini, krama Hindu Bali dapat menggunakan prakerti, bukan purusa. Purusa cenderung bersifat statis dan eksklusif. Sedangkan prakerti lebih bersifat dinamis dan kompleks. Misalnya, pemikiran tentang soroh atau warna sebaiknya menggunakan prakerti yang bersifat dinamis, bukan purusa. Keberanian untuk memfleksibelkan tradisi diperlukan saat ini, agar tercipta kehidupan yang paras paros salulung sabayantaka.
Pemikiran tentang diri sendiri dan orang lain sangat terkait dengan hukum karma phala, konsep hukum sebab akibat. Konsep hukum sebab-akibat dalam sistem filsafat Sankhya membantu memahami dua prinsip tertinggi, yaitu purusa dan prakerti. Pertanyaan mendasar dalam konsep hukum sebab-akibat adalah: ‘Apakah efek atau akibat pra-eksis dalam penyebab materialnya?’ Mereka yang memberikan jawaban negatif berpandangan bahwa akibat adalah tidak pra-eksis dalam penyebab materialnya. Sedangkan mereka yang memberikan jawaban positif berpendapat bahwa akibat adalah pra-eksis dalam penyebab materialnya.
Menurut yang pertama, efek merupakan sebuah ciptaan baru, sebuah permulaan nyata yang secara esensial berbeda dengan penyebabnya. Efek tidak pra-eksis dalam penyebab materialnya atau tindakan dari penyebab menghasilkan akibat yang berbeda dengannya. Pada sisi lain, akibat bukanlah sebuah penciptaan baru, tetapi hanya sebuah manifestasi eksplisit, dari yang implisit terkandung dalam penyebab materialnya. Atau, efek merupakan sebuah transformasi nyata atau sebuah penampakan tidak nyata dari penyebab materialnya.
Sankhya dapat juga disebut menganut pandangan realistis. Ia mengakui adanya realitas dunia yang bebas dari roh, asas bendani berbeda dengan asas rohani. Pandangan demikian mengandaikan dua realitas yang berdiri sendiri. Sankhya menganut pandangan dualistis. Dua realitas dikatakan berdiri sendiri karena yang satu lepas dan bebas sama sekali daripada yang lain. Bukan hanya lepas dan terpisah, bahkan antara yang satu dan yang lain dinyatakan sebagai sesuatu yang saling berbeda dan bertentangan, tanpa dapat dipadukan. Dua realitas yang saling bertentangan ini disebut purusa dan prakerti. Purusa adalah asas rohani, sedangkan prakerti adalah asas bendani.
Purusa banyak jumlahnya, tetapi prakerti hanya satu. Purusa tidak berganda, tetapi keadaan prakerti kompleks. Purusa bersifat statis, tetapi prakerti dinamis. Purusa tidak mengalami perubahan tempat maupun bentuk, tetapi prakerti mengalami perubahan. Purusa bersifat pasif. Purusa adalah kesadaran murni, roh, subjek atau yang mengetahui. Ia bukan tubuh, bukan pula indera-indera; ia bukan otak bukan pula pikiran; bukan pula ego, bukan pula intelek. Purusa bukan sebuah substansi yang memiliki sifat kesadaran. Kesadaran merupakan esensinya. Purusa sendiri adalah kesadaran murni dan transendental.
Bagi umat Hindu di Bali filsafat Sankya mungkin dapat dijadikan referensi alternatif dalam menjalankan keyakinan. Secara denotatif, kata Sankhya berarti pengetahuan yang benar. Secara konotatif, kata tersebut berarti pemantulan, pemantulan filsafati. Oleh karena itu, sistem filsafat Sankhya mengemukakan bahwa orang dapat merealisasikan atau mentransendenkan kenyataan terakhir dengan pengetahuan, bukan perasaan semata. Untuk itu, diperlukan keberanian mengatasi keadaan purusa yang berlawanan dan bertentangan dengan prakerti. Semoga. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
1
Komentar