Dieksekusi, Mantan Bupati Winasa Protes
Kejaksaan Negeri (Kejari) Jembrana eksekusi putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) terhadap mantan Bupati Jembrana dua periode (2000-2005, 2005-2010), Prof Dr drg I Gede Winasa, 68, terkait kasus korupsi perjalanan dinas tahun 2009-2010, Senin (6/8) sore.
NEGARA, NusaBali
Mantan Bupati Winasa pun smpat protes, karena putusan lengkap kasasi MA belum dia terima.Sesuai petikan putusan kasasi MA, mantan Bupati Winasa dihukum 6 tahun penjara plus denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan dan bayar pengganti kerugian negara sebesar Rp 797.554.800 subsider 3 tahun kurungan. Hukuman ini lebih berat dari vonis pengadilan tiungkat pertama yang menghukum terdakwa 4 tahun penjara.
Eksekusi terhadap mantan Bupati Winasa dilaksanakan di Rutan Negara kawasan Kelurahan Baler Bale Agung, Kecamatan Negara, Senin sore pukul 15.30 Wita. Kedatangan tim jaksa yang terdiri dari Ni Wayan Mearthi dan Ni Ketut Lili Suryanti diterima oleh Kasubsi Pelayanan Tahanan (Yantah) Rutan Negara, I Nyoman Tulus. Kemudian, tim jaksa dipertemukan langsung dengan Winasa untuk melakukan eksekusi.
Awalnya, Winasa mengaku dalam keadaan sehat saat ditanya tim jaksa soal kondisi kesehatannya. Namun, ketika tim jaksa menjelaskan hendak eksekusi putusan MA terkait kasus korupsi perjalan dinas itu, Winasa langsung memotong pembicaraan. Mantan Buati penyandang 7 penghargaan Muri (Museum Rekor Indonesia) ini pun menyampaikan unek-uneknya. Winasa mengaku tidak ada menerima putusan lengkap dari MA.
Winasa juga mengaku belum terima secara lengkap putusan kasasi MA menyangkut kasus korupsi beasiswa Stitna dan Stikes Jembrana 2009-2010, yang telah dieksekusi kejaksaan pada 27 Agustus 2017 di mana dirinya dihukum 7 tahun penjara plus denda Rp 500 juta dan bayar pengganti kerugian negara Rp 2,322 miliar subsider 3 tahun 8 bulan kurungan. “Yang sekarang ini (kasus perjalan dinas), saya juga tahu belum ada putusan lengkapnya. Hanya ada petikan (putusan) saja,” protes Winasa.
Menurut Winasa, dalam pelaksanaan eksekusi, memang sudah bisa dilakukan berdasar petikan putusan. Namun, dia merasa diperlakukan tidak adil, karena tak ada menerima putusan lengkap yang seharusnya diterima terpidana untuk mengetahui secara jelas pertimbangan-pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan. Ketika ada putusan lengkap, Winasa berencana mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
“Saya juga sudah berusaha mencari putusannya, tapi putusan tidak ada. Ini republik ecek-ecek namanya. Saya paham kalau Anda (jaksa) hanya melaksanakan tugas eksekusi, dan memang sudah bisa melakukan eksekusi ketika sudah ada petikan putusan. Tapi, sampai sekarang tidak ada putusan (lenkap), tidak jelas pertimbang-pertimbangannya, ini sudah tidak benar,” ujar mantan Dekan Fakultas Kedoteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar ini.
Karena Winasa terus berusaha mempertanyakan putusan lengkap dua kasusnya, jaksa Ni Wayan Mearthi akhirnya memastikan pihaknya sudah berusaha menanyakan masalah tersebut lewat Pengadilan Tipikor Denpasar, bahkan bersurat langsung ke MA. Namun, Kejari Negara belum mendapatkannya. “Kami juga sudah berusaha bersurat ke MA. Termasuk menyangkut kasus perjalanan dinas ini, tetapi kami juga belum ada menerima putusan (lengkap),” papar Wayan Mearthi.
Meski diberikan penjelasan bahwa kejaksaan sudah berupaya meminta putusan lengkap ke MA itu, Winasa tetap menilai jaksa tidak serius. Karena itu, Kasubsi Yantah Rutan Negara, I Nyoman Tulus, berusaha menenangkan Winasa. Setelah itu, barulah Winasa bersedia menandatangani berita acara eksekusi kasus perjalanan dinasnya itu. Winasa bahkan langsung membubuhkan tandatangannya, tanpa membaca isi berita acara eksekusi tersebut. “Eksekusi, ya silakan dieksekusi. Tapi, saya minta masalah putusan (lengkap) yang belum ada diterima ini, segera ditindaklanjuti. Harusnya jaksa juga berusaha mengejar putusan itu,” pinta Winasa.
Setelah tandatangani berita acara eksekusi, Winasa mengaku sangat kecewa dengan sistem birokrasi penegak hukum di Indonesia. Winasa mengaku sudah lama menunggu ataupun berusaha mendapat putusan lengkap dari MA menyangkut kasus korupsi beasiswa Stitna dan Stikes Jembrana 2009-2010. Namun, putusan lengkap itu tidak pernah diterimanya, hingga kembali turun petikan putusan kasasi MA menyangkut kasus perjalan dinas yang dieksekusi kemarin.
“Bagaimana mau PK? Yang ada hanya petikan berisi angka-angka saja,” ujar Winasa kepada NusaBali. Winasa juga mengaku belum ada membayar denda ataupun uang pengganti kerugian negara terkait kasus korupsi Stitna dan Stikes Jembrana, karena alasan belum menerima putusan lengkap kasasi MA tersebut.
Sebelum diminta kembali ke ruang tahanannya, Winasa sempat menegaskan bahwa dirinya tidak merasa bersalah dengan rentetan kasus korupsi yang dijatuhkan pengadilan. “Saya sampai hari ini belum merasa bersalah,” ujar Winasa sebelum diarahkan langsung kembali ke ruang tahanannya kemarin.
Sementara itu, Kasi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Jembrana, Made Pasek Budiawan, mengatakan desakan Winasa untuk meminta salinan putusan lengkap itu, sah-sah saja. Namun, pihaknya dalam melakukan tugas eksekusi tidak harus menunggu salinan putusan lengkap. Petikan putusan kasasi MA yang diterima dari pengadilan, sudah menjadi dasar yang sah untuk melakukan eksekusi. “Kalau dari prosedur sudah tidak ada masalah. Kami tidak mesti harus menunggu salinan putusan lengkap,” kata Pasek Budiawan saat dikonfirmasi NusaBali secara terpisah per telepon, Senin kemarin.
Menurut Pasek Budiawan, dalam putusan kasasi MA terkait kasus korupsi Stitna dan Stikes Jembrana sebelumnya, terpidana mantan Bupati Winasa yang juga dijatuhi denda Rp 500 juta plus mengganti kerugian negara Rp 2,322 miliar subsider total 3 tahun 8 bulan kurungan, juga tidak melakukan pembayaran. Namun, dalam usaha melakukan penjajakan terhadap putusan kasus korupsi Stina dan Stikes Jembrana itu, Winasa tetap menolak untuk menandatangani keterangan tidak membayar denda dan uang pengganti. “Saat diminta membuat pernyataan tidak membayar denda dan uang pengganti itu, Pak Winasa juga menolak,” katanya.
Sedangkan dalam putusan kasasi MA terkait kasus korupsi perjalan dinas yang dieksekusi Senin kemarin, mantan Bupati Winasa juga diharuskan membayar denda Rp 200 juta dan uang pengganti kerugian negara Rp 797,56 juta subsider 3 tahun 6 bulan kurungan. Dalam putusan kasasi MA, ada klausul kalau pembayaran denda dan uang pengganti harus sudah dibayar 1 bulan pasca eksekusi. Jika tidak, maka harta benda Winasa dapat disita jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Ketika tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti itu, Winasa pun diharuskan menjalani tambahan hukum penjara selama 3 tahun 6 bulant.
Mantan Bupati Winasa sendiri awalnya divonis 4 tahun penjara plus denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan dan wajib mengganti kerugian negara sebesar Rp 797 juta subsider 1 tahun kurungan terkait kasus kokupsi perjalanan dinas. Vonis dijatuhkan Pengadilan Tipikor Denpasar, 9 Juni 2019. Namun, berdasarkan putusan kasasi MA, hukuman Winasa bertambah jadi 6 tahun penjara.
Bagi Winasa sendiri, ini untuk ketiga kalinya divonis bersalah dalam kasus korupsi, sejak lengser sebagai Bupati Jembarana, Oktober 2010 silam. Winasa sudah selama 4 tahun mendekam di Rutan Negara sejak 25 April 2014 silam, setelah putusan kasasi MA yang memvonisnya 2 tahun 6 bulan penjara dalam kasus korupsi pengadaan mesin pabrik kompos di Banjar Peh, Desa Kaliakah, Kecamatan Negara. Sebelum keluarnya putusan kasasi MA, Winasa sempat 3 tahun menghirup udara bebas karena divonis bebas murni oleh majelis hakim dalam sidang putusan di PN Negara, 1 Juli 2011 lalu.
Hukuman pertama selama 2,5 tahun penjara terkait kasus korupsi pabrik kompos tersebut dijalani Winasa sampai 25 Mei 2016. Namun, saat hari kebebasannya itu pula, Winasa langsung dijebloskan ke penjara lagi selaku tersangka korupsi program beasiswa Stikes dan Stitna Jembrana. Kemudian, dia divonis 3,5 tahun penjara plus denda Rp 50 juta dan wajib kembalikan kerugian negara sebesar Rp 2,3 miliar kasus korupsi program beasiswa Stikes dan Stitna dalam sidang putusan di Pengadilan Tipikor Denpasar, 12 Oktober 2016. Hanya berselang 8 bulan kemudian, mantan Bupati Winasa untuk ketiga kalinya divonis 4 tahun penjara selaku terdakwa korupsi perjalanan dinas fiktif. *ode
Eksekusi terhadap mantan Bupati Winasa dilaksanakan di Rutan Negara kawasan Kelurahan Baler Bale Agung, Kecamatan Negara, Senin sore pukul 15.30 Wita. Kedatangan tim jaksa yang terdiri dari Ni Wayan Mearthi dan Ni Ketut Lili Suryanti diterima oleh Kasubsi Pelayanan Tahanan (Yantah) Rutan Negara, I Nyoman Tulus. Kemudian, tim jaksa dipertemukan langsung dengan Winasa untuk melakukan eksekusi.
Awalnya, Winasa mengaku dalam keadaan sehat saat ditanya tim jaksa soal kondisi kesehatannya. Namun, ketika tim jaksa menjelaskan hendak eksekusi putusan MA terkait kasus korupsi perjalan dinas itu, Winasa langsung memotong pembicaraan. Mantan Buati penyandang 7 penghargaan Muri (Museum Rekor Indonesia) ini pun menyampaikan unek-uneknya. Winasa mengaku tidak ada menerima putusan lengkap dari MA.
Winasa juga mengaku belum terima secara lengkap putusan kasasi MA menyangkut kasus korupsi beasiswa Stitna dan Stikes Jembrana 2009-2010, yang telah dieksekusi kejaksaan pada 27 Agustus 2017 di mana dirinya dihukum 7 tahun penjara plus denda Rp 500 juta dan bayar pengganti kerugian negara Rp 2,322 miliar subsider 3 tahun 8 bulan kurungan. “Yang sekarang ini (kasus perjalan dinas), saya juga tahu belum ada putusan lengkapnya. Hanya ada petikan (putusan) saja,” protes Winasa.
Menurut Winasa, dalam pelaksanaan eksekusi, memang sudah bisa dilakukan berdasar petikan putusan. Namun, dia merasa diperlakukan tidak adil, karena tak ada menerima putusan lengkap yang seharusnya diterima terpidana untuk mengetahui secara jelas pertimbangan-pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan. Ketika ada putusan lengkap, Winasa berencana mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
“Saya juga sudah berusaha mencari putusannya, tapi putusan tidak ada. Ini republik ecek-ecek namanya. Saya paham kalau Anda (jaksa) hanya melaksanakan tugas eksekusi, dan memang sudah bisa melakukan eksekusi ketika sudah ada petikan putusan. Tapi, sampai sekarang tidak ada putusan (lenkap), tidak jelas pertimbang-pertimbangannya, ini sudah tidak benar,” ujar mantan Dekan Fakultas Kedoteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar ini.
Karena Winasa terus berusaha mempertanyakan putusan lengkap dua kasusnya, jaksa Ni Wayan Mearthi akhirnya memastikan pihaknya sudah berusaha menanyakan masalah tersebut lewat Pengadilan Tipikor Denpasar, bahkan bersurat langsung ke MA. Namun, Kejari Negara belum mendapatkannya. “Kami juga sudah berusaha bersurat ke MA. Termasuk menyangkut kasus perjalanan dinas ini, tetapi kami juga belum ada menerima putusan (lengkap),” papar Wayan Mearthi.
Meski diberikan penjelasan bahwa kejaksaan sudah berupaya meminta putusan lengkap ke MA itu, Winasa tetap menilai jaksa tidak serius. Karena itu, Kasubsi Yantah Rutan Negara, I Nyoman Tulus, berusaha menenangkan Winasa. Setelah itu, barulah Winasa bersedia menandatangani berita acara eksekusi kasus perjalanan dinasnya itu. Winasa bahkan langsung membubuhkan tandatangannya, tanpa membaca isi berita acara eksekusi tersebut. “Eksekusi, ya silakan dieksekusi. Tapi, saya minta masalah putusan (lengkap) yang belum ada diterima ini, segera ditindaklanjuti. Harusnya jaksa juga berusaha mengejar putusan itu,” pinta Winasa.
Setelah tandatangani berita acara eksekusi, Winasa mengaku sangat kecewa dengan sistem birokrasi penegak hukum di Indonesia. Winasa mengaku sudah lama menunggu ataupun berusaha mendapat putusan lengkap dari MA menyangkut kasus korupsi beasiswa Stitna dan Stikes Jembrana 2009-2010. Namun, putusan lengkap itu tidak pernah diterimanya, hingga kembali turun petikan putusan kasasi MA menyangkut kasus perjalan dinas yang dieksekusi kemarin.
“Bagaimana mau PK? Yang ada hanya petikan berisi angka-angka saja,” ujar Winasa kepada NusaBali. Winasa juga mengaku belum ada membayar denda ataupun uang pengganti kerugian negara terkait kasus korupsi Stitna dan Stikes Jembrana, karena alasan belum menerima putusan lengkap kasasi MA tersebut.
Sebelum diminta kembali ke ruang tahanannya, Winasa sempat menegaskan bahwa dirinya tidak merasa bersalah dengan rentetan kasus korupsi yang dijatuhkan pengadilan. “Saya sampai hari ini belum merasa bersalah,” ujar Winasa sebelum diarahkan langsung kembali ke ruang tahanannya kemarin.
Sementara itu, Kasi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Jembrana, Made Pasek Budiawan, mengatakan desakan Winasa untuk meminta salinan putusan lengkap itu, sah-sah saja. Namun, pihaknya dalam melakukan tugas eksekusi tidak harus menunggu salinan putusan lengkap. Petikan putusan kasasi MA yang diterima dari pengadilan, sudah menjadi dasar yang sah untuk melakukan eksekusi. “Kalau dari prosedur sudah tidak ada masalah. Kami tidak mesti harus menunggu salinan putusan lengkap,” kata Pasek Budiawan saat dikonfirmasi NusaBali secara terpisah per telepon, Senin kemarin.
Menurut Pasek Budiawan, dalam putusan kasasi MA terkait kasus korupsi Stitna dan Stikes Jembrana sebelumnya, terpidana mantan Bupati Winasa yang juga dijatuhi denda Rp 500 juta plus mengganti kerugian negara Rp 2,322 miliar subsider total 3 tahun 8 bulan kurungan, juga tidak melakukan pembayaran. Namun, dalam usaha melakukan penjajakan terhadap putusan kasus korupsi Stina dan Stikes Jembrana itu, Winasa tetap menolak untuk menandatangani keterangan tidak membayar denda dan uang pengganti. “Saat diminta membuat pernyataan tidak membayar denda dan uang pengganti itu, Pak Winasa juga menolak,” katanya.
Sedangkan dalam putusan kasasi MA terkait kasus korupsi perjalan dinas yang dieksekusi Senin kemarin, mantan Bupati Winasa juga diharuskan membayar denda Rp 200 juta dan uang pengganti kerugian negara Rp 797,56 juta subsider 3 tahun 6 bulan kurungan. Dalam putusan kasasi MA, ada klausul kalau pembayaran denda dan uang pengganti harus sudah dibayar 1 bulan pasca eksekusi. Jika tidak, maka harta benda Winasa dapat disita jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Ketika tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti itu, Winasa pun diharuskan menjalani tambahan hukum penjara selama 3 tahun 6 bulant.
Mantan Bupati Winasa sendiri awalnya divonis 4 tahun penjara plus denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan dan wajib mengganti kerugian negara sebesar Rp 797 juta subsider 1 tahun kurungan terkait kasus kokupsi perjalanan dinas. Vonis dijatuhkan Pengadilan Tipikor Denpasar, 9 Juni 2019. Namun, berdasarkan putusan kasasi MA, hukuman Winasa bertambah jadi 6 tahun penjara.
Bagi Winasa sendiri, ini untuk ketiga kalinya divonis bersalah dalam kasus korupsi, sejak lengser sebagai Bupati Jembarana, Oktober 2010 silam. Winasa sudah selama 4 tahun mendekam di Rutan Negara sejak 25 April 2014 silam, setelah putusan kasasi MA yang memvonisnya 2 tahun 6 bulan penjara dalam kasus korupsi pengadaan mesin pabrik kompos di Banjar Peh, Desa Kaliakah, Kecamatan Negara. Sebelum keluarnya putusan kasasi MA, Winasa sempat 3 tahun menghirup udara bebas karena divonis bebas murni oleh majelis hakim dalam sidang putusan di PN Negara, 1 Juli 2011 lalu.
Hukuman pertama selama 2,5 tahun penjara terkait kasus korupsi pabrik kompos tersebut dijalani Winasa sampai 25 Mei 2016. Namun, saat hari kebebasannya itu pula, Winasa langsung dijebloskan ke penjara lagi selaku tersangka korupsi program beasiswa Stikes dan Stitna Jembrana. Kemudian, dia divonis 3,5 tahun penjara plus denda Rp 50 juta dan wajib kembalikan kerugian negara sebesar Rp 2,3 miliar kasus korupsi program beasiswa Stikes dan Stitna dalam sidang putusan di Pengadilan Tipikor Denpasar, 12 Oktober 2016. Hanya berselang 8 bulan kemudian, mantan Bupati Winasa untuk ketiga kalinya divonis 4 tahun penjara selaku terdakwa korupsi perjalanan dinas fiktif. *ode
Komentar