‘Kejutan’ Fragmentari Bali Dwipa Jaya
Fragmentari ini dikaitkan dengan masa-masa kepemimpinan Pastika selama 10 tahun melalui sejumlah program unggulan pro rakyat.
Untuk Pastika Jelang Purnatugas sebagai Gubernur Bali
DENPASAR, NusaBali
Gubernur Bali Made Mangku Pastika menerima ‘kejutan’ berupa fragmentari kolosal berjudul ‘Bali Dwipa Jaya’ yang dibawakan sekitar 325 seniman yang mayoritas berusia anak-anak dan remaja, pada peringatan Hari Jadi ke-60 Provinsi Bali.
"Bapak Gubernur kami berikan kejutan, sebagai rasa terima kasih organisasi perangkat daerah Pemprov Bali, melalui Dinas Kebudayaan, di akhir-akhir masa jabatan beliau. Kami ingin memberikan yang terbaik," kata Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Dewa Putu Beratha, disela-sela peringatan Hari Jadi ke-60 Provinsi Bali, di Lapangan Puputan Margarana, Niti Mandala, Denpasar, Selasa (14/8) pagi.
Karena menjadi kejutan, fragmentari yang mengisahkan masa-masa keemasan Bali di bawah kepemimpinan Raja Udayana dengan permaisurinya Gunapriya Dharmapatni (Mahendradatta) itu hanya disiapkan dalam waktu tiga hari.
"Mereka dari Sanggar Paripurna, Bona Gianyar, dengan didukung siswa-siswi SMAN 1 Blahbatuh, Gianyar, hanya kami berikan waktu tiga hari untuk menyiapkan garapan ini," ucap Dewa Beratha.
Fragmentari yang mengangkat masa keemasan Raja Udayana dengan kehidupan masyarakatnya yang aman, tentram, subur dan makmur itu juga dikaitkan dengan masa-masa kepemimpinan Gubernur Bali Made Mangku Pastika selama 10 tahun melalui sejumlah program unggulannya seperti Simantri, Bedah Rumah, Gerbangsadu dan sebagainya.
Namun, dalam cerita juga dikisahkan, di tengah kehidupan rakyat yang damai itu sempat muncul konflik di antara sekte-sekte yang ada. Akhirnya, dengan kebijaksanaan Raja Udayana dan Mpu Kuturan, semua kelompok kepentingan bisa disatukan untuk mewujudkan Bali yang jaya dalam pertemuan di Pura Samuan Tiga, Kabupaten Gianyar pada sekitar abad ke-11.
"Dikaitkan dengan zaman sekarang, tentu di bawah kepemimpinan Bapak Gubernur untuk mewujudkan Bali yang maju, aman, damai dan sejahtera (Mandara)," ujar Dewa Beratha didamping Kepala Bidang Kesenian dan Tenaga Kebudayaan Disbud Bali Ni Wayan Sulastriani itu.
Sementara itu, Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengatakan kejadian konflik antarsekte yang sempat terjadi saat masa Raja Udayana, jika dikaitkan dengan kondisi kekinian gejalanya pernah muncul ketika mulai ada ketegangan antardesa pakraman (desa adat) di Bali.
Menurut Pastika, Pura Samuan Tiga kembali menjadi tempat bersejarah karena pada 13 Maret 2004, di pura itu dibentuk Majelis Desa Pakraman. "Saat itu, bersama-sama membentuk Majelis Desa Pakraman. Jadi, ketika terjadi sengketa, maka Majelis Desa Pakraman yang akan mencarikan jalan keluar," ujar Pastika.
Pastika ketika peristiwa itu menjabat sebagai Kapolda Bali yang mengetok palu tanda lahirnya Majelis Desa Pakraman. "Sebagai Kapolda, saya tidak ada urusan dengan adat-istiadat, namun karena melihat kondisi keamanan kurang baik," kata Pastika yang akan memasuki masa purnatugas pada akhir Agustus 2018 ini. *ant, isu
1
Komentar